BSM Edu

Kamis, 29 September 2011

YANG TERLEWATKAN DARI KTSP, Strategi bagi Sekolah-sekolah Kita


Alur Pijakan
        KTSP sudah diberlakukan mulai bulan Mei 2006 dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas (Permen) No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; Permen No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; dan Permen No. 24 tahun 2006 mengenai Pelaksanaan Permen No. 22 dan No. 23 tahun 2006.
        Pada Permen No. 24 itu dengan jelas dinyatakan bahwa BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) bertugas menyusun Panduan Penyusunan KTSP dan tugas ini telah dirampungkannya pada bulan Juni 2006.  Oleh sebab itu Pusat Kurikulum (Puskur) Depdiknas telah mengedarkan Contoh Pembuatan KTSP pada bulan Agustus 2006.  Dengan demikian rangkaian peletakan dasar untuk penyusunan kurikulum baru yang berpijak pada Otonomi Sekolah dan Otonomi Guru telah diletakkan pada dasar filosofis yang benar, karena dasar pijakannya adalah : Permen No. 22 Pasal 1 ayat 1 : Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Ketentuan ini sejalan dengan Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 : Satuan Pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan Standar yang Lebih Tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Permen No. 22 dan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana diatur dalam Permen No. 23 tahun 2006.

Apa yang Salah?
        Meskipun dalam Panduan Penyusunan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP jelas-jelas dinyatakan wewenang dan hak guru dijamin dan dengan demikian otonomi guru sungguh-sungguh ditegakkan (halaman 21 tentang Pengembangan Silabus), namun ada beberapa hal yang perlu dicermati : Para guru akan ditatar ergesa-gesa karena tahun ajaran baru sudah dimuali sejak bulan Juli 2006 dan Dinas Pendidikan di daerah belum mempunyai pegangan untuk memandu sekolah-sekolah di daerah.
        Akibatnya mereka bisa mengacaukan arti Standar Kompetensi, Dasar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.  Akan ada banyak guru salah menafsirkan apa yang dimaksud dengan Kompetensi Dasar (KD).  Kompetensi Dasar bisa menjadi acuan tertinggi sehingga para guru tidak lagi berusaha mengembangkan kurikulum yang lebih tinggi standarnya.  Hal ini sudah termonitor di banyak daerah.
        Meskipun Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa Satuan Pendidikan dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP, namun para guru bisa jadi hanya meng-copy apa yang tercantum dalam Kompetensi Dasar yang telah disusun oleh Puskur.  Para Pengawas/Penilik Sekolah juga bisa salah menafsirkan bahan yang telah disusun oleh Puskur (yang sebenarnya hanya merupakan contoh KTSP) lalu menganggap bahan ini sebagai bahan acuan.  Para Penatar bisa mencampur adukkan Jam Pembelajaran dan Beban Belajar Sekolah Kategori Standar dan Sekolah Kategori Mandiri.  Hal ini juga sudah termonitor di banyak daerah.
        Meskipun sudah dinyatakan dengan jelas pada halaman 14 Pengembangan Silabus : Pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran dapat dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap, namun kerancuan tetap terjadi pada penentuan jumlah jam belajar (beban belajar) per minggu yang dipatok harus 32 jam + maksimal 4 jam per minggu untuk SMP dan 37 jam + 4 jam per minggu untuk SMA.  Bila ketentuan ini diterapkan maka hal ini sunguh-sungguh melanggar azas otonomi sekolah dan justru bertentangandengan filosofi diterapkannya KTSP itu sendiri.
        Padahal yang seharusnya diartikan dari halaman 14 itu adalah : Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran  pada sistim paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam stgruktur kurikulum.  Satuan Pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.  Jadi bila jam pembelajaran Matematika dalam struktur kurikulum tertera 3 jam pelajaran per minggu, maka sekolah berwenang menambah maksimum 4 jam sehingga jam pelajaran Matematika itu menjadi 7 jam per minggu.  Hal ini sesuai dengan isi Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa sekolah dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP.
        Para guru bisa salah mengartikan alokasi waktu.  Alokasi waktu dainggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak boleh diubah-ubah lagi.  Meskipun dengan jelas dinyatakan dalam halaman 26 Pengembangan Silabus : Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan PERKIRAAN WAKTU RERATA untuk menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam, namun tetap saja alokasi waktu dipatok mati seperti contoh yang disusun oleh Puskur.
        Yang lebih fatal lagi, para penatar tidak menguasai prinsip dari remedial dan enrichment.  Siswa yang mengikuti program remedial bukan mereka yang berada di rangking bawah dan siswa yang mengikuti program enrichment bukan mereka yang menduduki rangking atas, karena menurut ketentuan yang tercantum pada halaman 25 Pengembangan Silabus : Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.   Dengan demikian, siswa yang telah mencapai kompetensi dasar (minimal) tidak perlu mengikuti program remedial  meskipun ia berada di rangking bawah.
        Dan yang lebih serius lagi, banyak penatar yang telah menggunakan silabus tertentu, meskipun tidak melakukan analisis Delphi.  Jadi silabus ditentukan lebih dahulu, baru kemudian disusun indikator untuk menilai pencapaian kompetensi dasar.  Akibatnya, banyak guru dan birokrat pendidikan terjebak pada pola lama yaitu hasil test/ulangan/ujian merupakan satu-satunya penentu kenaikan kelas atau kelulusan siswa.
        Padahal menurut ketentuan yang tercantum di halaman 24 Pengembangan Silabus : Penilaian dilakukan dalam bentuk tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio dan penilaian diri, sehingga mengacu pada butir 4 diatas, maka kurikulum baru ini tidak mengenal kata tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, malahan siswa yang pandai dapat loncat kelas.  Bukankah penilaian mencakup segala aspek dan holistik?
         Tengoklah ketentuan dalam halaman 25 : Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut.  Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya dibawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
       
Mengapa Siswa Harus Naik Kelas atau Lulus Sekolah?
        Pada prinsipnya proses pendidikan merupakan proses pendampingan, meminjam istilah Prof. Dr. Driyarkara SJ : Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia muda, sehingga kegagalan dalam menuai hasil merupakan kegagalan pendidik.  Alasan lain yang menjadi dasar filosofi dari KTSP untuk menaikkan atau meluluskan siswa adalah kurikulum nasional ini sudah mengacu pada langkah-langkah desain kurikulum internasional yang menjamin kesinambungan proses pembelajaran dan sesuai dengan program Pemerintah : Wajib Belajar 9 tahun, yaitu : (1) Analisis Kurikulum; (2) Penjabaran Bahan Ajar (Materi Pelajaran); (3) Perumusan Kata Kerja Operasional; (4) Penyusunan Indikator; (5) Model Pemetaan Taksonomi (termasuk penetuan Model, Metode dan Strategi Pembelajaran); (6) Analisis Esensi Bahan Ajar (Materi Pelajaran); (7) Strategi Penyelesaian Masalah;(8) KKM; (9) Perhitungan Alokasi Waktu Riil Setahun; (10) Analisis Delphi - alokasi waktu belajar; (11)  Prota; (12) Prosem; (13) Silabus; (14) Kontrak Belajar; (15) RPP.

Penilaian Berbasis Kelas
        Apa prasyarat untuk dapat menguasai kelima belas langkah di atas?  Guru harus mampu menyusun Bahan Ajar (materi pelajaran) yang inter-aktif (PAIKEM).  Dengan kata lain, para guru harus menguasai MacroMedia Flash dan pembuatan film bahan ajar.  Untuk penguasaan MacroMedia Flash, pihk UMN (Univ. Multimedia Nusantara) Jakarta menyediakan program pelatihan gratis untuk guru-guru; begitu juga untuk penguasaan pembuatan film, pihak Datascrip (Canon) bekerja sama dengan Acer juga mengadakan road show pelatihan gratis untuk guru-guru dan siswa.  Sudah bukan jamannya lagi para guru membuat presentasi dengan Power Point.  Jadi guru juga harus terus menerus belajar (long life education), guru adalah perwujudan dari ajaran Ki Hajar Dewantara : Tut wuri handayani.
        Bagaimana bila para guru sudah terlalu sibuk dan beban mengajarnya padat?  Pihak Yayasan atau Komite Sekolah dapat menyiapkan bahan siap pakai seperti : ensiklopedia elektronik : Encarta yang dikeluarkan oleh PT Microsoft atau membeli program IBM : EXCITE (Exploring Interest in Technology and Engineering) terutama melalui kelengkapan pembelajaran Try Science Site atau bergabung dengan sekolah on-line yang dikelola oleh Oracle Foundation : Think.com

Karier Guru
        Apapun program yang akan diambil, namun prasyarat utama adalah guru harus menjadi lebih kompeten.  Untuk ini alangkah baiknya bila pihak Yayasan atau Komite Sekolah memperhatikan karier seorang guru yang kompeten melalui penjenjangan : guru bantu (teaching assistant), guru muda (teacher), guru madya (teacher coordinator), dan guru utama (supervisor) sehingga kompetensi guru terapresiasi seperti halnya yang berlaku di dunia internasional.  Pihak Yayasan tidak dapat lagi menerapkan sistim penggajian PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) atau para guru yang kompeten ini akan dibajak oleh sekolah lain. 

Jalan Keluar (Re-code DNA sekolah-sekolah )
        Pengurus Yayasan atau Komite Sekolah, para Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, konselor dan Koordinator MGMP hendaknya diberi kesempatan untuk mengikuti program training disain kurikulum.  Program ini dapat diikuti di P3G Bandung, Sampoerna Foundation, Provisi Education atau memanggil staf Puskur Depdiknas.  Kenapa di lembaga-lembaga ini ?  Karena tidak satupun FKIP di Indonesia yang mempunyai Jurusan Disain Kurikulum.  Rupanya kurikulum tak pernah dianggap penting, bahkan oleh FKIP sekalipun.  Memang ada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, tapi yang dipelajari bukan cara mendisain kurikulum, yang dipelajari adalah PAKEM dan PAIKEM (satu bagian kecil dari cara mendesain kurikulum).
Setelah mengikuti training kurikulum, sekolah dapat merancang kurikulum yang solid dan dapat diakui secara internasional melalui sertifikasi IB, Cambridge atau GAC.  Apa tujuannya?  Bila dikelak kemudian hari, ada perubahan kurikulum lagi, sekolah tidak usah tergopoh-gopoh menyesuaikan diri, karena kurikulumnya sudah berstandar internasional.
        Pihak Yayasan atau Komite Sekolah hendaknya membentuk Badan Litbang, yang bertugas menyusun Dasar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Silabus (melalui analisis Delphi) serta melakukan analisis konteks, pengembangan silabus berkelanjutan serta pembuatan bank soal.
Para guru hanya dibebani tugas menyusun RPP saja. Dengan demikian para guru dapat terfokus pada peningkatan kompetensi siswa.
        Setelah para guru sungguh-sungguh mengerti filosofi KTSP (guru berusaha menjadi lebih kompeten), maka hendaknya mereka diajukan untuk mengikuti ujian sertifikasi guru dan ujian profesionalitas guru sesuai dengan ketentuan yang tersurat dalam UU Guru dan Dosen. Lalu merit sistim dapat diterapkan.  Dengan demikian, sekolah-sekolah dapat menjadi agen perubahan dan merevitalisasi dunia pendidikan dan pengajaran di tanah air.


Dimuat di Majalah EDUCARE No. 4/IV/Juli 2007 halaman 37-39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar