BSM Edu

Rabu, 12 Oktober 2011

DISAIN KURIKULUM, PINTU MASUK PEMBUATAN MODUL


A.  Pendahuluan :
  1. Pemerintah perumus kurikulum :
Sampai dengan tahun 2006, kurikulum selalu ditentukan dan dirumuskan sendiri oleh Pemerintah cq Depdiknas (sekarang Kemdiknas), sekolah/guru tinggal menerima dan melaksanakan saja kurikulum itu.  Sekolah/guru tidak boleh melenceng sedikitpun dari kurikulum bikinan Pemerintah itu. Oleh sebab itu dalam jajaran Depdiknas dikenal adanya jabatan PENGAWAS, yang tugasnya memelototi pelaksanaan kurikulum di lapangan agar tidak keluar dari amanat yang sudah digariskan oleh Pemerintah.
Maka dari itu, tidak satupun FKIP/IKIP di Indonesia yang mempunyai Jurusan Disain Kurikulum.  Jurusan yang ada adalah Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, yang hakekatnya jauh berbeda dengan Jurusan Disain Kurikulum di luar negeri, sebab Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan itu hanya berkutat pada PAKEM (Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) dan PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Atraktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan serta Gembira dan Berbobot), yang sebenarnya hanya merupakan satu bagian sekrup kecil dari Jurusan Disain Kurikulum yang ruang lingkup kajiannya jauh lebih luas. Implikasinya, jabatan guru tidak lebih dari administrator kurikulum dan beban mengajar dianggap sebagai beban tugas administratif keguruan saja.
Dengan demikian, para Pengawas yang tidak dibekali ilmu Disain Kurikulum itu nyaris membungkam kreativitas dan inovasi di lapangan, karena menyeragamkan kurikulum se-Indonesia sesuai dengan keinginan dan kemauan Pemerintah.  Kemerosotan kualitas pendidikan tak terelakkan lagi. Dilain pihak, pembubaran IKIP membuat kajian ilmu pendidikan menjadi kajian “anak tiri” di republik ini.  Dampaknya kualitas SDM kita makin lama makin merosot (Human Development Index Indonesia berada di posisi 108 dari 169 negara (UNDP, 2010).  Menyadari akan keterpurukan ini, mau tidak mau, reformasi pendidikan mulai dipikirkan. Pendorong utama reformasi pendidikan ini adalah dinamika liberalisasi dan arus globalisasi yang melanda Indonesia akibat keikut-sertaan Indonesia dalam WTO, ACFTA, dll. dimana  pendidikan termasuk sektor yang harus diliberalisasi (pendidikan terbuka bagi penanam modal asing).  Masuknya berbagai sekolah internasional di berbagai kota besar di Indonesia telah membuka mata para birokrat pendidikan tentang ketertinggalan pendidikan dan pengajaran di negara kita, sehingga reformasi pendidikan mulai dirasa perlu dan mendesak.
Reformasi pendidikan ini menyangkut dua isu utama yaitu perombakan kurikulum nasional dan peningkatan profesionalitas guru.  Sayangnya program peningkatan profesionalitas guru ini kemudian terpuruk menjadi ajang bagi-bagi duit yang mengerucut dalam program sertifikasi guru yang nir makna (guru hanya mengejar sertifikat seminar dan pelatihan), tanpa disertai kualifikasi penguasaan bahan ajar. (Evaluasi Guru Lolos Sertifikasi Mulai 2012, Tunjangan Sertifikasi Tidak Berlaku Selamanya, KOMPAS, Sabtu 24 September 2011 halaman 12).
Maka satu-satunya harapan untuk upaya reformasi pendidikan diletakkan kepada pemikiran perombakan kurikulum yang bertumpu pada guru sebagai disainer kurikulum (guru bukan lagi sekedar administrator kurikulum saja).  Untuk ini diperlukan serangkaian peraturan baru yang menjamin pemberlakuan otonomi sekolah dan otonomi guru.
  1. Otonomi sekolah dan otonomi guru :
Reformasi pendidikan dimulai dari :
a.       Diversifikasi kurikulum (bukan penyeragaman kurikulum) yang diatur dalam Pasal 36 ayat 2 juncto Pasal 38 ayat 2 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003)
b.    Pengakuan akan Otonomi guru yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003)
c.    Pengakuan bahwa guru merupakan suatu profesi yang memerlukan profesionalitas (bukan sekedar memerlukan kompetensi) yang diatur dalam Pasal 7 UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005), sedangkan kompetensi guru diatur dalam pasal Pasal 10 UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005).
Reformasi ini dieja-wantahkan melalui Peraturan Mendiknas No.22, No.23 dan No.24 Tahun 2006, yang membebaskan sekolah/guru untuk menyusun kurikulumnya sendiri, yang dikenal sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) untuk mewujudkan ide otonomi sekolah dan otonomi guru. Reformasi pendidikan ini menempatkan sekolah sebagai satuan yang otonom dan meletakkan hakekat guru sebagai konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran.
            Sudah tentu Permendiknas No. 22, 23 dan 24 ini memicu terjadinya banyak kerancuan di lapangan. Banyak Pengawas yang masih terbelenggu oleh ide penyeragaman kurikulum yang nampak dari diterapkannya KTSP BIMTEK (KTSP Bimbingan Teknis) dimana-mana. 
KTSP yang hakekatnya merupakan kurikulum satuan pendidikan (kurikulum sekolah) diangkat menjadi kurikulum kabupaten, bahkan kurikulum propinsi, dimana sekolah/guru wajib mengikuti dan menjalankannya. Pengawas terjebak dalam pola lama dimana guru hanya diperlakukan sebagai administrator kurikulum saja. Misalnya di Prov. DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta malah memaksa semua SMA untuk mengadopsi SAS (Sistim Administrasi Sekolah) yang dibanderol seharga Rp. 40 juta per program per sekolah. 
Akibatnya, Permendiknas No.22, 23 dan 24 Tahun 2006 ini dijadikan ladang subur untuk membuat berbagai proyek baru tentang penyusunan kurikulum dengan memanfaatkan kebingungan sekolah/guru akibat dari ketidak-tahuan cara mendisain KTSP secara benar, karena vakumnya Jurusan Disain Kurikulum di Indonesia.  Dengan diluncurkannya berbagai proyek baru di lingkup Dinas Pendidikan, maka sebenarnya Dinas Pendidikan telah bermeta-morfosa menjadi Dinas Persekolahan. Akibatnya birokrat-birokrat ini terjebak dalam kealpaan yang makin dalam.
Apa buktinya?  KTSP BIMTEK dan berbagai proyek pelatihan guru yang ada ternyata hanya merupakan “baju baru” dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) tahun 2004, yang sebenarnya secara hukum sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2006 itu.
Kelemahan utama dari KTSP BIMTEK ada pada target kurikulum yang hanya berorientasi pada aspek kognitif saja serta pada bagian monitoring dan evaluasinya.  Monitoring itu bersifat kualitatif (bukan kuantitatif) dan evaluasinya hanya bertumpu pada aspek kognitif serta “kejar target” untuk kelulusan UN (Ujian Nasional). 
Malahan Kemdiknas secara resmi menyatakan bahwa pemetaan sekolah (mind mapping) secara nasional itu dilakukan melalui dan lewat pelaksanaan UN.  Nampaknya Kemdiknas tidak mempunyai tolok ukur lain untuk memetakan sekolah-sekolah di Indonesia.
B.   Problem Nyata di Lapangan :
I.  Problem pada perangkat lunak (software) pendidikan :
1.  Beredarnya KTSP BIMTEK dimana-mana (Di Prov. DKI Jakarta : beredarnya SAS dihampir semua SMA) – KTSP yang hakekatnya merupakan kurikulum satuan pendidikan (kurikulum sekolah) diangkat menjadi kurikulum kabupaten, bahkan kurikulum propinsi, (penyeragaman kurikulum merata dimana-mana) dimana sekolah/guru wajib mengikuti dan menjalankan KTSP BIMTEK itu, yang memposisikan guru agar tetap buta dalam penyusunan Modul Pemelajaran.
  1. Pendidikan Karakter bersifat kualitatif dan nilai yang diambil tidak berkorelasi langsung dengan nilai KELAKUAN dan KERAJINAN di rapor karena pendidikan karakter itu tidak didisain kuantitatif.
  2. Beredarnya bermacam-macam kurikulum hasil berbagai penataran/seminar, seperti kurikulum entrepreneurship, kurikulum Multiple Intelligence, kurikulum PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif), kurikulum berbasis keunggulan lokal, dll. yang memposisikan anak sebagai obyek didik (bukan subyek didik), yang tercermin dari pemakaian istilah “peserta didik” – akibatnya, istilah berikutnya yang dipakai adalah “pembelajaran” dimana peserta didik yang belajar dan guru yang mengajar, dan bukan  mensosialisasikan istilah “pemelajaran” (pemelajaran : kata dasar : pelajar – dimana guru dan siswa harus terus menerus belajar, karena statusnya sama yaitu sama-sama pelajar).  Apa buktinya?  Program PENGAYAAN (enrichment) tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kemdiknas dan Dinas Pendidikan setempat telah bermeta-morfosa menjadi kementerian yang mengurusi masalah persekolahan dan lupa pada fungsinya sebagai perumus policy kependidikan yang sinergis, sehingga hanya berkutat di masalah pengajaran saja.
  1. Meskipun otonomi guru diakui secara legal dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, namun jabatan PENGAWAS tetap dilestarikan, sehingga guru bukan lagi guru untuk murid, tapi guru yang mengabdi pada Dinas Pendidikan (yang telah bermeta-morfosa menjadi Dinas Persekolahan) dan guru yang mengabdi pada sistim. Guru bukan diarahkan menjadi konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, tapi tetap dibelenggu sebagai administrator kurikulum.  Apa buktinya?  Penjabaran Visi dan Misi Sekolah tidak berkorelasi dengan proses pemelajaran di kelas.  Guru mengajar menurut pola dan kemauannya sendiri yang terlepas dari penjabaran Visi dan Misi Sekolah.
  2. Akibat pemberlakuan UN (Ujian Nasional), maka pengajaran dan evaluasi hanya berkutat dalam ranah kognitif saja, dengan demikian mengabaikan proses pemelajaran psikomotor, afektif dan kecakapan hidup (life skills). 
Yang lebih parah, pemelajaran kecakapan hidup itu dianalogikan dengan kegiatan pembelajaran di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), padahal pemelajaran kecakapan hidup itu merupakan aspek tertinggi dari ketiga ranah yang lain (contoh kecakapan hidup antara lain : penelitian ilmiah, pembuatan karya tulis, musikalisasi puisi, drama musical dalam Bahasa Asing, ketrampilan menjaga keberlanjutan dan kesinambungan majalah dinding, dll)
II. Problem pada perangkat keras (hardware) pendidikan :
Sejak dihapusnya Direktorat Sekolah Swasta pada Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdiknas, maka sekolah-sekolah swasta telah kehilangan naungan karena jajaran Kemdiknas lebih sibuk dan lebih fokus serta lebih memprioritaskan pengurusan sekolah-sekolah negeri. Akibatnya, sekolah-sekolah swasta sungguh-sungguh menjadi “anak tiri” dalam dunia pendidikan di Indonesia.  Hampir seluruh sumber daya digelontorkan untuk sekolah-sekolah negeri.
Situasi bertambah runyam dengan diberlakukannya desentralisasi pendidikan, yang mengacu pada Pasal 10, Pasal 16, Pasal 41 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 5 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003).  Berdasarkan aturan itu, Pemda (dengan alasan terbatasnya alokasi anggaran) lebih memberdayakan sekolah-sekolah negeri di daerahnya, dengan mengabaikan sekolah-sekolah swasta di daerahnya.  Lebih-lebih Pemda yang sudah menerapkan Perda Syariah : sekolah-sekolah swasta sungguh-sungguh dibiarkan merana. Sekolah swasta dianggap saingan sekolah negeri, bukan mitra Pemda.
Berbagai aturan yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan setempat sungguh-sungguh “membunuh” sekolah-sekolah swasta, misalnya pendaftaran murid baru di sekolah swasta baru dapat dibuka setelah pendaftaran murid baru di sekolah negeri ditutup.  Penataran dan pelatihan guru swasta hanya dimungkinkan setelah “jatah” sekolah-sekolah negeri tercukupi. Bantuan sarana dan prasarana hampir tidak pernah mengalir ke sekolah swasta, dll.
Aturan yang paling membelenggu gerak sekolah swasta adalah pembinaan sekolah oleh Pemda, yang mengacu pada Pasal 44 ayat 1 UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003.  Pembinaan ini sungguh-sungguh telah mengintervensi “dapur” sekolah swasta, benar-benar telah membatasi ruang gerak sekolah swasta. 
Maka dari itu, Dinas Pendidikan setempat sudah bermeta-morfosa menjadi Dinas Persekolahan yang mengatur segala hal remeh temeh, seperti penyeragaman buku agenda guru, buku absensi siswa, kartu kejadian siswa, dll
Akibat supervisi kurikulum oleh para Pengawas yang mengacu pada ketentuan Pasal 38 ayat 2 juncto Pasal 44 ayat 1 UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003, maka sekolah swasta terjebak untuk mengikuti kurikulum sekolah-sekolah negeri (KTSP BIMTEK), sehingga daya saing keilmuannya memudar.  Dengan demikian secara kualitas, sekolah swasta tidak lagi berbeda dengan sekolah-sekolah negeri.  Ditambah dengan kebijakan penggratisan sekolah-sekolah negeri, maka lengkap sudah “pukulan” yang dialami oleh sekolah-sekolah swasta.
a.    Sekolah swasta tidak berbeda kualitasnya dengan sekolah negeri, karena “supervisi” dan “pembinaan” dari Dinas Pendidikan setempat
b.   Dengan digratiskannya sekolah negeri, para pendaftar baru akan lari ke sekolah negeri, secara kualitas tidak berbeda, tetapi secara pembiayaan jelas berbeda.
c.   Karena jumlah muird sekolah swasta berkurang, maka uang masuk menjadi berkurang, akibatnya kesejahteraan guru menurun.
d.   Karena kesejahteraan guru menurun, kualitas pengajaran di sekolah swasta menjadi rendah (karena para guru swasta itu sibuk mencari penghasilan tambahan)
e.   Karena kualitas pengajarannya lebih rendah dari sekolah negeri, maka makin tahun, jumlah murid baru makin berkurang, dengan demikian : pemasukan sekolah akan makin menipis, dan seterusnya : akan menjadi lingkaran setan yang tak berujung.
f.    Guru-guru sekolah swasta yang tersisapun akan lari menjadi PNS yang menerima tunjangan yang lebih besar dari guru swasta.
g.   Sekolah swasta makin terpuruk.
Pemecahannya : Memutus lingkaran setan itu dengan perbaikan kurikulum – dengan demikian berarti memperbaiki juga kualitas SDM di sekolah swasta.

C.  Terobosan baru yang diusulkan untuk perbaikan kualitas di bidang Pendidikan
  1. Mengingat Kementerian Pendidikan Nasional beserta jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, telah bermeta-morfosa menjadi Kementerian Persekolahan Nasional, maka perlu dicari upaya agar policy (kebijakan) pendidikan tetap utuh dipegang oleh para guru sebagai pengemban amanat otonomi guru dan profesionalitas guru.  Hakekat seorang guru adalah konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, bukan administrator kurikulum.
  2. Menimbang bahwa di masyarakat pendidikan telah beredar bermacam-macam kurikulum dan type pembelajaran, maka perlu dicari jalan agar semua hal itu dapat diintegrasikan menjadi suatu kurikulum berbasis keunggulan lokal, sehingga bermacam-macam kurikulum dan type pembelajaran itu tidak menambah beban administratif guru. Dewan Guru adalah think tank sekolah.
  3. Keputusan untuk menggunakan UN nampaknya tak akan dapat diintervensi lagi, oleh sebab itu perlu dicari cara agar para guru tetap dapat menggunakan kurikulum yang mencakup ranah kognitif, psikomotor, afektif, dan kecakapan hidup dengan tetap memetakan kondisi kelas menurut aplikasi Multiple Intelligence sehingga guru tetap dapat menjadi guru untuk murid dan bukannya guru untuk Dinas atau guru untuk sistim.  Profesi keguruan ini hendaknya tidak diturunkan menjadi administrator.
  4. Marginalisasi sekolah swasta telah terjadi secara sistemik, sehingga upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah swasta hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki kualitas pengajaran (melalui perbaikan kurikulum).
Maka dari itu, kami usulkan Disain Kurikulum berbasis Lokal yang dapat mengintegrasikan KTSP BIMTEK dengan Dokumen I dan Dokumen II KTSP dari Puskur Kemdiknas, serta dengan : (a). PKB (Pendidikan Karakter Bangsa). (b) PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif). (c). Multiple Intelligence.  (d) Entrepreneurship. (e). SAS
Sehingga profesionalitas guru tetap terjaga menuju pada komputerisasi keterpaduan kurikulum dengan tetap mengacu pada Visi dan Misi sekolah. Dengan demikian, KTSP telah dikembalikan pada hakekatnya yaitu kurikulum sekolah (bukan kurikulum kabupaten atau kurikulum propinsi).
Disain Kurikulum ini dibuat dalam Program Excell sehingga kualitas pembuatannya mudah dikontrol dan keterkaitannnya dengan Tujuan Pendidikan, Keunggulan Lokal, Penelitian Tindakan Kelas, Visi-Misi Sekolah dan EDS (Evaluasi Diri Sekolah) maupun dengan Sertifikasi Sekolah tetap dapat dimonitor.
            Disain Kurikulum berbasis Lokal ini terdiri dari 22 langkah yang terpadu dalam Program Excell sehingga monitoring (melalui PBK : Penilaian Berbasis Kelas) dan evaluasi (melalui CK : Catatan Kompetensi) dapat diukur secara simultan dan sinambung.  Upaya perbaikannya juga dapat dikontrol melalui ZPD (Zone of Proximal Development).            
Disain kurikulum ini terbukti efektif memutus mata rantai lingkaran setan keterpurukan yang dialami oleh sekolah swasta, karena ini adalah masalah pertaruhan “hidup” dan “mati” sekolah swasta.  Disain Kurikulum ini telah diuji coba dan diterapkan dengan biaya sendiri oleh Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM, tanpa membebani pihak Yayasan atau Sekolah berikut ini :
  1. SMA Don Bosco Lamahora, Kab. Lembata, Pulau Lembata, NTT
(Kepala Sekolah : Fr. Philipus CMM) : Pelatihan berlangsung 2 kali @ 9 hari
  1. SMP St. Theresia Lamahora, Kab. Lembata, Pulau Lembata, NTT
(Kepala Sekolah : Sr. Ernestine PRR) : Pelatihan berlanggsung 1 kali (9 hari)
  1. SMA Yohanes Paulus II Maumere, Kab. Sikka, Pulau Flores, NTT
(Kepala Sekolah : Romo Fidelis Dua, Pr.) : Pelatihan berlangsung 1 kali (10 hari)
  1. SD – SMP Charitas 01 Gumawang, BK 10, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. SD – SMP Charitas 02 Mojosari, BK 9, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. SD - SMP Charitas 03 Bangunsari, BK 4, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. SD – SMP Charitas 04 Karangbinangun, BK 3, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. Dua guru dari Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa, Keuskupan Maumere, Kab. Sikka, NTT
(Kepala Sekolah : Romo Raymundus Minggu, Pr.) : Pelatihan berlangsung 9 hari.
  1. SMPN 1 Buay Bahuga, Kab. Way Kanan, Lampung.
(Kepala Sekolah : Raminto S.Pd., M.MPd.) : Pelatihan berlangsung 1 kali (7 hari).
Inti dari pendidikan formal adalah kurikulum yang terstruktur secara simbiotis, problem solving dan project based learning (PBL) atau problem based (PB), sehingga murid dapat terus bertumbuh kembang dalam penguasaan ilmu.  Hal ini tercermin dari alokasi kurikulum dalam akreditasi sekolah yang mencapai 40% dari keseluruhan aspek pendidikan dan tempat kurikulum yang sangat strategis dalam EDS (Evaluasi Diri Sekolah).  Dengan demikian, penggolongan sekolah menjadi SSN, RSBI atau SBI sebaiknya didasarkan pada penguasaan dan penguatan kurikulum (bukan pada penguasaan bahasa asing dan kelengkapan audio visual di kelas saja). 
Maka dari itu, pembuatan Disain Kurikulum mutlak perlu dalam memenuhi amanat Diversifikasi kurikulum (bukan penyeragaman kurikulum) yang diatur dalam Pasal 36 ayat 2 juncto Pasal 38 ayat 2 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 2 Tahun 2003) dan  profesionalitas guru (bukan sekedar  kompetensi guru) yang diatur dalam Pasal 7 UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005)
            Disain kurikulum ini terbukti efektif memutus lingkaran setan keterpurukan sekolah swasta, seperti uji coba yang dilakukan di Belitang, Sumsel.
Setelah digembleng selama satu tahun dalam pembuatan Disain Kurikulum, jumlah pendaftar baru di sekolah-sekolah Charitas Belitang naik, bahkan TK dan SD Charitas Karangbinangun berhasil dibuka lagi, setelah bertahun-tahun ditutup karena dulu merugi.
            Resistensi dari para Pengawas dan Dinas Pendidikan setempat sudah tentu juga timbul, namun setelah pendekatan pribadi dan setelah melihat hasil EDS dan Akreditasi Sekolah, biasanya mereka memaklumi terobosan baru yang dibuat oleh Yayasan/sekolah.

Kesimpulan :
-     Keteguhan Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM dalam mensosialisasikan Disain Kurikulum (bahkan dengan biaya sendiri) patut diapresiasi ditengah kebuntuan dari : (1) implementasi berbagai proyek pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemdiknas. (2) Pola penyeragaman baru yang dikemas sebagai KTSP BIMTEK atau SAS.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini hendaknya dipatenkan sebagai temuan integrasi berbagai kurikulum yang beredar di dunia pendidikan Indonesia dengan pendidikan karakter.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum berbasis Lokal ini dapat mengembalikan hakekat Kementerian Pendidikan Nasional cq Dinas Pendidikan untuk fokus memikirkan kemajuan pendidikan di Indonesia dan tidak terjebak menjadi Kementerian Persekolahan Nasional cq Dinas Persekolahan daerah.  Sehingga azas otonomi sekolah yang dijamin oleh UU tidak dilanggar oleh para birokrat pendidikan itu sendiri.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini telah mengembalikan hakekat guru sebagai konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, sesuai dengan azas otonomi guru yang dijamin oleh UU
-     Program Excell dari Desain Kurikulum ini akan mudah diaplikasikan bila para guru rajin membimbing siswa untuk mengembangkan minat dan bakatnya (membimbing murid dalam berbagai lomba yang sesuai dengan minat dan bakat murid) – kemampuan memberi stimulus dan men-challenge para murid merupakan nilai plus dari para guru, yang tercermin dari Analisis Esensi Materi (AEM) dan Strategi Penyelesaian Masalah (SPM) dari rangkaian Disain Kurikulum berbasis Lokal ini.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini terbukti efektif memutus lingkaran setan keterpurukan sekolah-sekolah swasta dalam menghadapi : (1) “supervisi” dan “pembinaan” dari Pengawas dan Dinas Pendidikan setempat. (2) penggratisan sekolah-sekolah negeri. (3) pemberian tunjangan PNS yang jauh lebih besar dari pegawai swasta.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini menjadi pintu masuk untuk pembuatan diktat dan modul pembelajaran sehingga sekolah tidak usah terikat dengan penerbit untuk selalu menggunakan buku-buku dari penerbit.


Kegiatan ini di daerah antara lain dimuat di Harian Pos Kupang, Jumat tanggal 2 September 2011 halaman 1 : 36 GURU IKUT PELATIHAN KTSP (http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/69204)