BSM Edu

Selasa, 20 November 2012

MIMPI CILIWUNG MENJADI CHAO PHRAYA RIVER


30 tahun yang lalu, Sungai Chao Phraya tidak ada bedanya dengan Sungai Ciliwung – kumuh, pengap dan bau.  Tapi sekarang Sungai Chao Phraya telah layak jual sebagai salah satu tujuan wisata di Thailand

30 tahun yang lalu, Ibu Negara : Ibu Tien Soeharto telah meluncurkan program PROKASIH (Program Kali Bersih) di Ciliwung dan sekarang Ciliwung tetap kumuh, pengap dan bau (Laporan Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 di Harian Kompas dan Kompas.com), sementara Sungai Chao Phraya sudah melaju maju sebagai tempat “dinner cruisesdanattractions along river & canal trips” 

Apa yang salah?
            Berdasarkan penelusuran internet, saya mendapatkan data bahwa perubahan yang terjadi pada Sungai Chao Phraya tidak terjadi dalam setahun dua tahun, tetapi melalui proses panjang pendekatan budaya untuk mengubah kebiasaan masyarakat di sepanjang aliran Sungai Chao Phraya melalui program pemberdayaan masyarakat dan penyadaran lingkungan yang dikenal sebagai MAGIC EYE
Melalui program MAGIC EYE ini masyarakat disadarkan bahwa kehidupannya sangat bergantung pada kualitas sungai dan oleh karenanya masyarakat disadarkan untuk ikut serta menjaga kebersihannya dan menjaga keselarasan dengan alam sekitarnya.
Sedangkan PROKASIH yang diluncurkan oleh Ibu Tien Soeharto adalah pendekatan proyek yang disusun oleh Pemerintah tanpa melibatkan peran serta aktif dari masyarakat sehingga hasil PROKASIH tidak sebanding dengan MAGIC EYE.

Apa masalahnya?
            Penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Ciliwung tidak lagi bergantung pada sungai ini, karena :
  1. Mereka bukan lagi penduduk agraris – mereka bukan petani sehingga mereka asing dengan pengertian pentingnya sungai untuk irigasi dan perikanan air tawar – Mereka adalah penduduk urban yang menggantungkan hidupnya pada sektor-sektor lain sehingga fokus perhatiannya bukan pada pelestarian alam.
  2. Karena himpitan kehidupan urban, maka penduduk yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Ciliwung juga tidak “tourist minded  - mereka tidak mengerti untuk apa sungai “dijual” dan apa keuntungan langsung yang akan mereka peroleh
  3. Budaya instant telah merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, sehingga tujuan jangka panjang dari upaya pelestarian sungai sulit ditangkap maknanya, sedangkan tujuan jangka pendek dari upaya penyelamatan sungai tidak segera kelihatan hasilnya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau program PROKASIH  itu gagal dan upaya mantan Gubernur Sutiyoso untuk mengaktifkan jalur aliran Sungai Ciliwung sebagai sarana transportasi air juga gagal total.

Usulan saya :
  1. Mengembalikan jati diri bangsa kita – bangsa kita adalah bangsa maritim yang tinggal di ribuan pulau yang dipisahkan oleh air – maka air dan kehidupan air sangat penting untuk survival bangsa kita.  Sukar?  Libatkan TNI AL + jajarannya (Korps Marinir, KOWAL, Lembaga Hidrografi AL dll), Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI (Puslit Oceanologi), SEAMEO BIOTROP dan LSM serta Pecinta Alam (di sekolah dan Perguruan Tinggi).  Kegagalan yang terjadi selama ini, menurut hemat saya, karena perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh “orang-orang darat” (birokrasi Pemerintah DKI, Pemkab Bogor dan Pemkot Depok)
  2. Galakkan upaya untuk “menjual sungai” – cara yang paling mudah adalah mewajibkan semua penduduk yang tinggal di tepi aliran Sungai Ciliwung untuk mengubah disain rumahnya – rumahnya harus menghadap ke Sungai Ciliwung – sungai bukan lagi halaman belakang rumah, tempat penduduk membuang limbah rumah tangga.  Penegakan hukum harus dijalankan dengan sungguh-sungguh sehingga tata ruang daerah bantaran sungai menjadi lebih asri dan rapih.  Sebenarnya sudah ada Perda yang melarang penduduk membangun di area bantaran sungai, tapi aturan ini tidak bisa ditegakkan karena ide untuk membuat “jalan inspeksi” di sepanjang bantaran sungai tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh – misalnya, masih ada saja fasilitas MCK di sepanjang Sungai Ciliwung.  Upaya Pemda DIY sebenarnya dapat dicontoh.  Pemda DIY membeli rumah/ruko lalu diubah menjadi ruang terbuka hijau sehingga daerah urban menjadi lebih manusiawi.
  3. Lawan budaya instant – Caranya?  Semua penduduk harus disadarkan bahwa bukan hasil yang penting, tapi proses untuk mendapatkan hasil itu, justru lebih penting.  Dalam kaitannya dengan Sungai Ciliwung, maka setiap RT harus bertanggung jawab atas kebersihan aliran sungai yang melalui wilayahnya.  Hampir semua RT masih mengenal budaya “kerja bakti” , tapi budaya “kerja bakti” ini tidak pernah diterapkan untuk sungai di wilayahnya, malahan sering terjadi, sampah yang dikumpulkan selama “kerja bakti” dibuang langsung ke sungai.  Setelah mengerti ulang “kerja bakti” - penghijauan bantaran sungai kemudian dapat menjadi tanggung jawab RT masing-masing.
  4. Dengan demikian, setiap RT yang dilalui aliran Sungai Ciliwung kemudian dapat mulai memperkenalkan olah raga air dan perairan di wilayahnya, seperti sepeda air, snorkeling (cukup bermodalkan kaca mata air), polo air dll.  Tujuannya?  Untuk dapat melakukan olah raga air dan perairan ini, penduduk akan melakukan segala upaya untuk menjaga kualitas kebersihan sungai
  5. Baru setelah ini, ide mantan Gubernur Sutiyoso untuk menjadikan aliran sungai sebagai sarana transportasi air dapat mulai dikembangkan dan investor dapat diundang untuk mengembangkan Sungai Ciliwung menjadi sekelas dengan Sungai Chao Phraya.

Apakah ada contoh keberhasilan ?
Ada, yaitu pada alih fungsi Terminal Banteng (yang kumuh dan kacau) menjadi Taman Kota Lapangan Banteng yang hijau dan asri.  Hanya sayangnya, pengelolaan Taman Kota Lapangan Banteng ini tidak diserahkan kepada Hotel Borobudur, sehingga kualitas kebersihan dan ketertiban Taman Kota Lapangan Banteng ini tidak sekelas dengan hotel di depannya itu.
Karena pengelolaan Taman Kota Lapangan Banteng ini diserahkan pada aparat birokrat (Dinas Pertamanan) maka keasriannya kurang terjaga.  Pemda tidak bisa mengurusi segala hal, peran serta masyarakat dan swasta akan sangat meringankan beban Pemda

Selasa, 13 November 2012

ANDAI AKU MENJADI KETUA KPK


Yang pertama-tama akan saya lakukan adalah menggalang opini massa agar Uji Materi Pasal 50 ayat 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ditinjau ulang.   Uji Materi yang diajukan di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 6 Agustus 2012 oleh tiga orang pengacara Habiburokhman, Maulana Bungaran, dan Munathsir Mustaman ini bertujuan menghilangkan frasa : Kepolisian dan Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan pada ketentuan Pasal 50 ayat 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi : Jika suatu perkara sudah disidik KPK, maka Kepolisian dan Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.  Sebab jika frasa : Kepolisian dan Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan ini dihilangkan, maka eksistensi Pengadilan Tipikor dapat dipertanyakan dan perkara Tipikor dapat digiring (lagi) ke Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) dengan implikasi terdakwa akan dibebaskan, sehingga terdakwa dapat diangkat kembali dalam jabatan publik di lingkungannya.   
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa berkas penyelidikan dari Kepolisian dan tuntutan dari Kejaksaan dalam kasus Tipikor di masa lalu banyak mengandung kelemahan sehingga hakim di Peradilan Umum di masa lalu banyak membebaskan terdakwa kasus Tipikor.
Maka Uji Materi Pasal 50 ayat 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang lolos dari perhatian publik ini akan saya jadikan media darling sehingga saya mengharapkan akan muncul tekanan publik untuk menolak dikabulkannya uji materi ini. 

Hal kedua yang akan saya lakukan adalah mendorong DPR agar segera membahas dan mengesahkan UU Pembuktian Terbalik.   Dengan demikian, seseorang yang mempunyai harta kekayaan diluar kewajaran harus dapat membuktikan asal usul hartanya dan PPATK dapat langsung memeriksa keabsahan aliran dana orang tersebut tanpa diminta.   Pada UU Pembuktian Terbalik ini harus ada klausul : bila seseorang tidak dapat menunjukkan keabsahan asal usul harta kekayaannya, maka harta itu dapat disita oleh Negara. Dengan pembuktian terbalik, akan lebih mudah menjerat tersangka tindak pidana korupsi, sehingga korupsi tidak lagi menjadi sistemik.   Pemberantasan korupsi akan lebih mudah ditegakkan.

Hal ketiga yang perlu saya lakukan kalau saya menjadi Ketua KPK adalah saya akan menggunakan UN  Convention Against Corruption 2003 yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra ordinary crime) sebagai “senjata” untuk meminta ke UNODC (United Nations on Drugs and Crime) yang juga berkantor di Gedung Pengadilan Tipikor, agar dapat mengupayakan update peralatan penyadapan, seiring dengan kemajuan gadget dan android, sehingga kegiatan pembicaran transaksional dan kegiatan transaksi yang mencurigakan dapat lebih termonitor.

Hal keempat yang akan saya prioritaskan adalah penerapan azas transparansi dan akuntabilitas bagi semua lembaga publik melalui UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik sebagai konsekuensi dari good governance yang sudah dicanangkan sejak jaman Habibie, agar ketentuan hukum materiil sebagai unsur tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU No 31 tahun 1999 dapat diintensifkan. Dalam hal ini dinyatakan dalam penjelasan umum pasal itu bahwa: "Meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana."

Hal kelima yang akan saya lakukan sebagai Ketua KPK adalah mendorong masyarakat sipil agar dapat mendorong DPR untuk merevisi UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga memungkinkan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk bertindak proaktif melindungi saksi pelapor tindak pidana korupsi.   Pada kondisi sekarang, LPSK terbelenggu pada ketentuan yang menyatakan bahwa LPSK itu sifatnya pasif (menunggu permohonan dari saksi atau korban) sehingga saksi pelapor sudah terlanjur terbungkam.

Keywords : KPK, pemberantasan korupsi

Sabtu, 03 November 2012

MEKANISME KOMPLAIN UNTUK TULISAN DI MEDIA SIBER



UU No. 37 Tahun 2008 tentang ORI (Ombudsman Republik Indonesia) dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah mengatur mekanisme penanganan aduan masyarakat (complaint handling mechanism) yang wajib ditanggapi dan diselesaikan oleh lembaga yang diadukan masyarakat. Bahkan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik isinya sarat dengan kewajiban lembaga untuk transparan dan membuka akses pada keterbukaan informasi publik sehingga lembaga itu dapat dikontrol oleh masyarakat dan penyimpangannya dapat diadukan oleh masyarakat.

Pedoman Pemberitaan Media Cyber yang ditanda tangani Dewan Pers dan Komunitas Pers di Jakarta tanggal 3 Februari 2012

3. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content)
a. Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas.
b. Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut.
c. Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan:
1) Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
2) Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;
3) Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d. Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c).
e. Media siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan Pengguna yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme tersebut harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.
f. Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar ketentuan butir (c), sesegera mungkin secara proporsional selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.
g. Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b), (c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).
h. Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu sebagaimana tersebut pada butir (f).

4. Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab
a. Ralat, koreksi, dan hak jawab mengacu pada Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Hak Jawab yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab.
c. Di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan waktu pemuatan ralat, koreksi, dan atau hak jawab tersebut.
d. Bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media siber lain, maka:
1) Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di bawah otoritas teknisnya;
2) Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber, juga harus dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber yang dikoreksi itu;
3) Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu.
e. Sesuai dengan Undang-Undang Pers, media siber yang tidak melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (Lima ratus juta rupiah).

5. Pencabutan Berita
a. Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut.
c. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.

9. Sengketa
Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini diselesaikan oleh Dewan Pers.