BSM Edu

Senin, 11 Juni 2012

DISAIN KURIKULUM DIGITAL, BUKAN SEKEDAR MEMBUAT KELAS KREATIF



Mendisain content pembelajaran menggunakan TIK (Power Point/MacroMedia Flash) sudah menjadi hal yang biasa. Meskipun demikian,masih sering terjadi di kelas : guru yg sudah memanfaatkan TIK, bahkan mampu mencipta virtual class, namun guru tersebut masih menggunakan metode ceramah/diskusi/kerja kelompok. Nampaknya para guru masih berupaya memindahkan isi buku yang literer itu menjadi visual.  Maka tidak heran kalau masih ada siswa RSBI yang tak lulus UN (KOMPAS,Sabtu 26 Mei 2012,halaman 6 : POJOK)

Content pembelajaran hanya salah satu dari isi kurikulum. Masih ada metode, strategi dan model pembelajaran untuk implementasi pendidikan holistik. Oleh sebab itu, agar tidak terjebak pada pembelajaran kognitif dan metode itu-itu saja hingga guru dapat menerapkan PAIKEM GEMBROT, maka filsafat pendidikan yang sudah lama tidak diajarkan di FKIP perlu digali lagi : Untuk apa saya mengajarkan A dan bukannya mengajarkan B? Kenapa topik A harus diajarkan 4 jam dan bukannya 3 jam? dll

Berlandaskan filsafat pendidikan, maka pendidikan holistik dan kontekstual mempunyai pijakan yang sahih.  Hal ini dapat dicapai melalui DISAIN KURIKULUM DIGITAL : program Excell yg terdiri dari 23 langkah, yang mengintegrasikan Kurikulum Bimtek (Bimbingan Teknis), Kurikulum PPR (Papardigma Pendidikan Reflektif), Kurikulum Entrepreneurship, Kurikulum PKB (Pendidikan Karakter Bangsa), Kurikulum PLH (Pendidikan LIngkungan Hidup), Kurikulum Multiple Intelligence, dan Kurikulum Sekolah Alam.

Dengan Disain Kurikulum Digital, guru akan mampu membuat diktat dan modul berbasis keunggulan lokal (bukan sekedar mencipta kelas kreatif)

Rabu, 06 Juni 2012

SUMBANG SARAN UNTUK RUU PENYIARAN




I.                   ISI PASAL MENIMBANG

Butir a :   Kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi sebagai perwujudan hak azasi manusia dan hak ekonomi, sosial dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ……… dan seterusnya …..
Tambahan hak ekonomi, sosial dan budaya diperlukan mengingat Pemerintah RI sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Mengapa hak ekonomi, sosial dan budaya perlu ditambahkan? 
Implikasinya akan sangat luas dalam melindungi keluarga dan anak-anak serta remaja dari tayangan yang tidak mendidik (tayangan kekerasan atau pornografi)

Dasar hukumnya :
Pasal  10 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :
Ayat 1 : menyatakan perlunya perlindungan keluarga atas perawatan dan pendidikan anak-
               anak.
Ayat 3 : menyatakan perlunya perlindungan bagi anak dan remaja atas sesuatu yang sangat
  mungkin menghambat perkembangan mereka secara wajar

Konsekuensinya dalam Pasal Mengingat :  perlu ditambahkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
 
II.                LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK
PENJELASAN
            Kalau mengacu pada definisi Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana termaktub dalam Pasal 14 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2002 : Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, maka pembuatan UU yang khusus mengatur LPP secara tersendiri tidak diperlukan
Alasannya :
  1. Semua lembaga BUMN yang mengatur hajat hidup orang banyak juga tidak diatur dalam suatu perundang-undangan khusus, misalnya bank-bank BUMN tunduk pada satu UU Perbankan, yang juga berlaku bagi perbankan swasta atau asing.  Demikian juga Pertamina dan BP Migas tunduk pada satu UU Migas yang juga berlaku bagi perusahaan migas swasta (seperti Medco) atau asing.
  2. Relay juga sudah dikerjakan oleh Lembaga penyiaran Swasta, bukan lagi monopoli LPP
Yang diperlukan bukan banyaknya dan ketatnya ketentuan dalam peraturan atau perundang-undangan, tetapi implementasi dari peraturan atau undang-undang itu (law enforcement)
IDENTIFIKASI  MASALAH
-      LPP tidak perlu diatur dalam UU tersendiri, kecuali kalau ketentuan Pasal 14 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2002 itu diubah dalam revisi (RUU Penyiaran) ini.
-        LP Komunitas : menurut ketentuan Pasal 21 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2002 LP Komunitas didirikan oleh komunitas tertentu yang non partisan (ayat 3), maka dalam revisi (RUU Penyiaran) ini, ketentuan dalam Pasal 21 ayat 2 (a) : tidak untuk mencari laba atau keuntungan, serta ketentuan dalam Pasal 23 ayat 2 : dilarang menerima iklan, supaya dihapus agar LP Komunitas dapat berkembang (tidak stagnan, tetapi sustainable) – sebab kalau stagnan akan ditinggalkan pendengar/pemirsanya alias bubar.  Mohon diingat, investasi dalam bidang teknologi siaran itu cukup mahal
-     Yang juga perlu diatur adalah pewarta warga (citizen journalist) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari LP Komunitas
Pewarta warga (citizen journalist) bukan wartawan, tetapi melakukan tugas jurnalistik untuk LP Komunitas – mereka sekarang bergabung dalam PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia)
Pewarta warga (citizen journalist) juga bekerja untuk media online yang mempunyai tayangan video
-       LP Publik non-negara lain, sudah diatur dalam Pasal 25 – 29 UU No. 32 Tahun 2002 (cukup rinci dan applicable).

III.             KOMISI PENYIARAN INDONESIA

IDENTIFIKASI MASALAH :
-          Menjawab Identifikasi Masalah : a, b, c, dan d maka kami berpendapat : Tentang silang sengketa antara wewenang Pemerintah dan KPI – kami merujuk pada Salinan Lengkap Keputusan MK soal UU Penyiaran :
-      "Terhadap dalil pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan oleh pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran" (lihat hlm. 80 Salinan Lengkap Keputusan MK tentang UU Penyiaran).
-    Jadi, jelaslah dalam jawaban tersebut, MK tidak mencabut posisi KPI sebagai lembaga negara yang independen (Pasal 7) dan kewenangannya meregulasi (Pasal 8). Tidak satu pun huruf yang ada di Pasal 8 itu diubah MK. Pasal 8 ayat (2) tetap berbunyi, "KPI mempunyai wewenang: menetapkan standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat."
Hubungan KPI Pusat dan KPID itu bersifat koordinatif, karena mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat 2 juncto Pasal 7 ayat 4  UU No. 32 Tahun 2002
Pasal 10 ayat 2 : KPI dipilih oleh DPR dan KPID dipilih oleh DPRD           
Pasal 7 ayat 4 : KPI diawasi oleh DPR dan KPID diawasi oleh DPRD              
h. Hubungan koordinatif ini membawa konsekuensi pada pembiayaan : KPI Pusat tidak menanggung biaya dari KPID – hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 9 ayat 6 UU No. 32 Tahun 2002 : KPI dibiayai dari APBN dan KPID dari APBD
i. Tanggung jawab KPI dan KPID diatur dalam ketentuan Pasal 53 : KPI bertanggung jawab kepada Presiden dan melaporkannya ke DPR, sedangkan KPID bertanggung jawab kepada Gubernur dan melaporkannya kepada DPRD

Alasannya :
-          Seusai dengan ketentuan monitoring dan evaluasi (monev) yang berlaku universal, maka pengawas berhak meminta laporan pertanggung jawaban dari yang diawasi.  Jadi dalam revisi (RUU Penyiaran) hanya perlu penegasan bahwa monev itu dikerjakan oleh lembaga legeslatif (DPR untuk KPI, dan DPRD untuk KPID)
-          Karena anggaran KPI berasal dari APBN dan anggaran KPID berasal dari APBD, maka laporan pertanggung jawaban pemakaian anggaran itu disampaikan kepada lembaga legislatif (DPR untuk KPI dan DPRD untuk KPID) sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat 3 UU No. 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011
j. Pemilihan anggota KPI dan KPID diatur dalam Pasal 10 ayat 2 : KPI dipilih oleh DPR dan KPID dipilih oleh DPRD
k. Mekanisme banding mengacu pada Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2002 yaitu mekanisme KUHAP

 IV. SISTIM SIARAN JARINGAN (SSJ)

BATASAN
Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 31 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2002 : hanya LPP yang boleh menyelenggarakan SSJ ke seluruh wilayah, maka nampaknya ketentuan ini harus direvisi, karena sekarang ini, LPS juga menyelenggarakan SSJ
IDENTIFIKASI MASALAH
-      Perlu dirumuskan revisi (RUU Penyiaran) yang mengantisipasi perkembangan teknologi yang sangat pesat, yaitu perubahan dari sistim analog ke sistim digital
-      Perlu dirumuskan revisi (RUU Penyiaran) yang mengadopsi tekonologi multiplexing, dimana beberapa sinyal pesan analog atau aliran data digital digabung menjadi satu sinyal, sehingga pembahasan mengenai kantor regional atau kantor cabang dari LP induk, serta penelusuran mengenai coprogramming dan coproduction menjadi tidak relevan lagi.
-          Mengenai ijin, sekali lagi kami kutipkan salinan keputusan MK :
"Terhadap dalil pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan oleh pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran" (lihat hlm. 80 Salinan Lengkap Keputusan MK tentang UU Penyiaran).
Jadi, jelaslah dalam jawaban tersebut, MK tidak mencabut posisi KPI sebagai lembaga negara yang independen (Pasal 7) dan kewenangannya meregulasi (Pasal 8). Tidak satu pun huruf yang ada di Pasal 8 itu diubah MK. Pasal 8 ayat (2) tetap berbunyi, "KPI mempunyai wewenang: menetapkan standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat."

 V.                KEPEMILIKAN

Kepemilikan diatur dalam Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2002
-          Ayat 1 untuk pemusatan kepemilikan, dan  Ayat 2 untuk kepemilikan silang, yang pembatasannya diserahkan kepada KPI dan Pemerintah
Apakah dalam revisi (RUU Penyiaran) kepemilikan ini akan diatur dalam UU ??
Kami berpendapat hal ini perlu diatur khusus dalam UU, mengingat
  1. Sifatnya sudah mendesak, yaitu bergabungnya Harry Tanoe ke Partai Nasdem, meskipun kelompok ini tidak terjun ke siaran radio dan media sosial (social media).
  2. Yang perlu dicermati adalah penggabungan media cetak, media online, media televisi, stasiun radio dan media social (social media) di tangan satu orang, misalnya Grup Kompas Gramedia : Harian Kompas, Penerbit Buku Kompas, Kompas.com, KompasTV, Radio Sonora, Kompasiana, Forum Kompas dan My Kompas
  3. Menjamurnya media online yang mempunyai Video Siaran menyebabkan kepemilikan silang menjadi hal yang biasa.
  4. Penggunaan teknologi multiplexing menyebabkan pemilik siaran analog dan pemilik data digital harus berbagi saluran untuk mengatasi mahalnya sumber daya. Regulasi baru harus disusun dengan cermat supaya tidak menghambat semangat penghematan ini.
  5. Kepemilikan yang didaftarkan sebagai perusahaan terbuka (Tbk) tunduk pada UU Pasar Modal (UU No. 8 Tahun 1995)
 VI.              PERIJINAN

Masalah perijinan sudah kami bahas di depan : Lihat halaman 80 Salinan Lengkap Keputusan MK tentang UU Penyiaran
Identifikasi Masalah butir f : bila terjadi transaksi yang menyebabkan perubahan pengendali saham, maka kepemilikan itu tunduk pada UU Pasar Modal (UU No. 8 Tahun 1995)
Masalah perijinan sudah dibahas cukup detail dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 32 Tahun 2002
Silang sengketa sudah diatur dalam Pasal 55 dengan pemberian sanksi administratif, sesuai dengan semangat reformasi : TIDAK ADA LAGI BREIDEL (PENCABUTAN IPP)

VII.          ISI SIARAN

Dalam UU No. 32 Tahun 2002 : ISI SIARAN diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36, SENSOR diatur dalam Pasal 47 dan PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN  diatur dalam Pasal 48
  1. Bila PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN hendak diubah menjadi STANDAR PROGRAM SIARAN, maka acuannya harus jelas, standar itu mengacu pada apa??
  2. Muatan jurnalistik diatur dalam Kode Etik Jurnalistik
  3. Sanksi diatur dalam Pasal 55, bukan dalam bentuk pencabutan IPP karena hal ini menyalahi semangat reformasi yang menolak pembredeilan dan penutupan lembaga penyiaran.
  4. Dalam revisi (RUU Penyiaran) sebaiknya ISI SIARAN, SENSOR, PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN dan SANKSI ditempatkan dalam pasal yang berurut, sehingga logika hukumnya terlihat dengan jelas.
  5. Khusus untuk pelarangan iklan zat aditif, termasuk rokok, maka hal ini tidak mudah dilakukan mengingat aturan bakunya yaitu Pasal 113 ayat 2 UU Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009) sudah dihapus.
 VIII.       LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN

Lembaga Penyiaran Berlangganan sudah diatur cukup rinci dalam UU No. 32 Tahun 2002 pasal 25, 26, 27, 28 dan 29
Misalnya LP Berlangganan wajib menyediakan minimal 10% dari kanal yang tersedia untuk membawa siaran dari LP-LP non-berbayar dalam negeri, sudah termaktub dalam ketentuan Pasal 26 ayat 2 (b).
Seandainya LPB mempunyai program yang digemari masyarakat luas dan menjadi hak eksklusif LPB tersebut – dan kemudian LPB itu tidak membuka akses bagi masyarakat luas untuk menikmati program eksklusif tersebut, maka hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat e : yang menjamin agar siaran hanya diterima oleh pelanggan …. Kecuali kalau ketentuan ini direvisi dalam RUU Penyiaran.

 IX.             PENYIARAN DENGAN TEKNOLOGI DIGITAL

Silang sengketa :
  1. Permen Kominfo No. 12 Tahun 2011 tentang Siaran TV Digital
  2. Permen Kominfo No 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaran Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Migrasi Analog ke Digital)
  3. Permen Kominfo No. 23 Tahun 2011 tentang Frekuensi Digital (Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Keperluan TV Siaran Digital Terrestrial pada Pita Frekuensi Radio 478-649 Mhz)
  4.  Permen Kominfo No 5 Tahun 2012 tentang Standar DVB-T2
  5. Keputusan Menteri Kominfo No 95 Tahun 2012 tentang Peluang Usaha Multipleksing (MUX) Zona 4, Zona 5, Zona 6, Zona 7, dan Zona 15.
Permasalahan :
-          Memperbolehkan satu perusahaan bisa memiliki lebih dari satu infrastruktur di berbagai zona dari 15 zona yang telah terbagi
-           Terjadinya pemusatan kepemilikan, MUX hanya diisi oleh pemodal lama, monopoli MUX yang bisa membatasi Lembaga Program Siaran
-          Maka penyiaran dengan teknologi digital harus diatur dalam UU – tidak cukup dengan Permen Kominfo

       Dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi I DPR RI pada hari Rabu, 7 Maret 2012 (untuk memenuhi undangan Deputi Persidangan dan KSAP DPR RI No. LG.01/01960/DPR RI/II/ 2012 tertanggal 27 Februari 2012)
 

Selasa, 05 Juni 2012

MENGKRITISI RUU SISTIM PERADILAN ANAK



Revisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kini sedang digarap oleh Komisi III DPR RI dengan dibahasnya RUU Sistim Peradilan Anak di tingkat Panja.  Ada beberapa hal yang perlu dicermati sebelum RUU ini disahkan menjadi UU.  
 Masalah pertama adalah soal judul, karena batasan usia anak sangat beragam dalam perundang-undangan kita.  Dalam Pasal 1 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak : anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.   Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.  Mengingat rendahnya batas usia anak yang dapat dipidanakan, maka beberapa elemen masyarakat mengajukan uji materi  UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak itu ke MK.  Hasilnya, MK melalui Keputusan MK No. 1/PUU-VIII/2010  menyatakan bahwa batas usia minimum (minimum age floor) dari anak nakal (deliquent child) juga harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yakni 12 tahun.  Sedangkan Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Children Rights Convention) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, menyatakan seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.  Dalam RUU Sistim Peradilan Anak ini, rupanya Panja Komisi III DPR mengacu pada keputusan MK di atas, yaitu batas usia minimum dari anak nakal (anak yang dapat dipidanakan) adalah 12 tahun.
Namun mengingat Pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun melalui Inpres No. 1 Tahun 1994, yang menyatakan bahwa setiap anak Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar 9 tahun, maka penulis mengusulkan agar batas usia minimum dari anak nakal (anak yang dapat dipidanakan) adalah 15 tahun.  Karena pada usia 15 tahun, diharapkan seorang anak telah menuntaskan pendidikan dasarnya sehingga dapat digolongkan pada atau telah memasuki usia remaja.  Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat 3 butir (a) Konvensi Internasional Hak-hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 : Penetapan usia minimum dimana anak-anak dengan usia dibawahnya akan dianggap sebagai tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana. 
Oleh sebab itu, judul RUU ini menurut hemat saya harus diganti menjadi RUU Sistim Peradilan Remaja, karena seorang anak (mengacu pada ketentuan undang-undang apapun) tidak bisa dipidanakan, hanya remaja yang bisa dipidanakan.   Dasar hukumnya adalah Alinea ke-10 Mukadimah Konvensi Internasional Hak-hak Anak, yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, pada bagian MENGINGAT.  Mengingat ketentuan-ketentuan dari Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Sosial dan Hukum yang terkait dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Rujukan Khusus pada Pengangkatan Anak dan Adopsi secara Nasional dan Internasional, Ketentuan-ketentuan Baku Minimum PBB untuk penyelenggaraan Peradilan Remaja (Ketentuan-ketentuan Beijing atau The Beijing Rules); dan Deklarasi mengenai Perlindungan Wanita dan Anak-anak dalam Keadaan Darurat dan Sengketa Bersenjata. Maka jelaslah bahwa hanya remaja yang bisa diadili dan dipidanakan.  Pemidanaan remaja  itupun harus mengacu pada Ketentuan-ketentuan Beijing atau The Beijing Rules.   Konsekuensi hukumnya jelas, dengan diundangkannya RUU ini menjadi UU, maka kita tidak lagi mengenal istilah Peradilan Anak (istilah seharusnya adalah Peradilan Remaja) dan Lembaga Pemasyarakatan Anak (penamaan seharusnya adalah Lembaga Pemasyarakatan Remaja).  Dengan demikian tidak akan terjadi lagi salah kaprah, seperti kasus dimana 6.400 anak dibawah umur dipidanakan selama 2011  (http://www.108csr.com/home/news.php?id=5905).

Masalah kedua adalah konsekuensi lebih lanjut dari perubahan judul itu yakni soal diskresi.  Pasal 9 ayat 3 RUU Sistim Peradilan Anak ini menyatakan bahwa diskresi itu harus seijin korban.  Tetapi mengingat seorang anak tidak bisa dipidanakan (hanya seorang remaja yang dapat dipidanakan),  dan menurut Pasal 17 ayat 4 Ketentuan Beijing (The Beijing Rules) : The component authority shall have the power to discontinue the proceedings at any time, maka diskresi itu dapat diartikan sebagai : (1) bukan hanya wewenang hakim, tetapi juga wewenang Polri dan Kejaksaan. (2) diskresi tidak memerlukan ijin korban dan dapat diputuskan setiap saat dengan memandang kepentingan terbaik remaja itu.   Hal ini juga sesuai dengan bunyi Pasal 11 ayat 2 Ketentuan Beijing : The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without resource to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for that purpose in the respective legal system and also in accordance with the principles contained in these Rules.  Maka usul saya, ketentuan Pasal 9 ayat 3 RUU Sistim Peradilan Anak itu sebaiknya dihapus saja (diskresi tidak memerlukan ijin korban).
Akhirnya, untuk mengatasi kenakalan remaja, sebaiknya kita melirik butir 30 dari Resolusi Parlemen Eropa tentang Kenakalan Remaja, Peranan Perempuan, Keluarga dan Masyarakat : menekankan bahwa salah satu cara untuk mencegah dan menanggulangi kenakalan remaja adalah mengembangkan kebijakan komunikasi yang akan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah remaja, serta mengakhiri kekerasan di media massa dan media audio visual.  Promosi kekerasan di kedua media penyiaran itu dan di media cetak harus dihambat.   Kekerasan yang dimaksud di sini bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan tutur.


Dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI pada hari Selasa tanggal 21 Februari 2012 (untuk memenuhi undangan Deputi Bidang Persidangan dan KSAP DPR RI No. : LG.02/01677/DPR RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012)