BSM Edu

Senin, 17 Oktober 2011

DISAIN KURIKULUM BERNAFAS INDONESIA (ASLI)


       Sejak lama kurikulum sekolah dibuat dan disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional), sekolah/guru tinggal melaksanakan saja. Maka dari itu, dalam struktur Ditjen Pendidikan Dasar & Menengah Depdikbud (sekarang Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar & Menengah Kemdiknas), terdapat Pengawas/Penilik Sekolah yang tugasnya mengawasi pelaksanaan kurikulum yang telah dibuat dan disusun oleh Pemerintah. Sekolah/guru sama sekali tidak boleh melenceng dari kurikulum yang sudah digariskan oleh Pemerintah.  
Dengan demikian, sejak lama, tidak dirasa perlu adanya Jurusan Disain Kurikulum di FKIP/IKIP di Indonesia.  Jurusan yang ada adalah Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan yang bertujuan memecahkan masalah belajar dan pembelajaran mulai dari yang bersifat konvensional, inovatif dan berbasis sumber berteknologi,  sama sekali tak ada hubungannya dengan disain kurikulum.
          Sekonyong-konyong, pada era reformasi ini, melalui Permendiknas No.22, No.23 dan No.24 Tahun 2006, Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional membebaskan sekolah/guru untuk bisa menyusun kurikulumnya sendiri. Akibatnya banyak sekolah/guru yang kebingungan tentang bagaimana cara menyusun dan mendisain kurikulum yang sesuai dengan kondisi dan situasi lokal.
Padahal kemampuan seorang guru dalam mendisain kurikulum yang menjawab tantangan lokal merupakan tolok ukur keprofesionalan guru.  Akibat dari ketidak-mampuan mendisain kurikulum secara individual ini, maka muncul ketimpangan dalam penggajian antara guru lokal dan guru asing.  Disamping itu, karena tidak ada guru lokal yang berupaya untuk go international (agar dapat diterima mengajar di sekolah-sekolah di luar negeri), maka stigma guru-guru Indonesia adalah jago kandang makin lekat disandang oleh guru-guru lokal.  Kalaupun ada guru Indonesia yang diterima mengajar di sekolah-sekolah di luar negeri, hampir dapat dipastikan, mereka adalah guru-guru Bahasa Indonesia karena sekolah-sekolah itu membutuhkan native speaker dalam pengajaran Bahasa Indonesia di luar negeri.
         Akibat dari ketidak-mampuan mendisain kurikulum ini, banyak guru yang kemudian tidak memahami isi dan muatan kurikulum, sehingga kualitas pendidikan di Indonesia makin lama makin menurun.
Apa buktinya ?
(1). Masih sedikit sekolah Indonesia yang berhasil lolos dalam sertifikasi ISO 9001:2001
(2). Makin banyak guru yang ternyata tidak bisa mengerjakan soal-soal Olimpiade Sains Internasional.
Apa dampaknya ?
Bila kualitas guru makin merosot, maka jumlah pendaftar di sekolah tersebut akan makin berkurang.  Karena jumlah murid makin sedikit, maka biaya operasional tidak lagi tercukupi, take home pay guru akan menurun, sehingga dedikasi guru akan menurun, akibatnya kualitas pengajaran akan merosot, dan seterusnya, membentuk lingkaran setan yang ruwet.
            Apa bukti bahwa biaya operasional sekolah tidak tercukupi ?
Banyak gedung sekolah yang rusak dan tidak bisa diperbaiki.  Belum lagi sarana dan prasarana yang makin tidak memadai.
Menghadapi dilema itu, maka penulis mulai memikirkan langkah terobosan agar lingkaran setan itu dapat diputus dan dihentikan.
Penulis menghadapi dua problema besar :
(1) Lingkaran setan di atas harus diputus dan dihentikan.
(2). Di Indonesia beredar banyak sekali kurikulum :
(2.a) Kurikulum Diknas yang dikenal sebagai kurikulum BIMTEK
(2.b) Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter
(2.c) Kurikulum Berbasis Kewira-usahaan (Entrepreneurship)
(2.d) Kurikulum Berbasis Multiple Intelligence
(2.e) Kurikulum bersendikan PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif)
(2.f) Kurikulum berazaskan SAS (Sistim Administrasi Sekolah)
Para guru makin bingung dengan beban administratif yang makin banyak sehingga tujuan dan arah pendidikan makin kabur.
          Atas dasar upaya pemecahan dua problema besar di atas, maka penulis berusaha mengintegrasikan semua kurikulum yang ada (dari 2.a sampai 2.f di atas) dengan skema mengentaskan kemandirian sekolah menuju sekolah yang berkualitas, yang dapat diuji melalui sertifikasi ISO 9001.  Kurikulum terpadu ini sudah diuji-cobakan di  :
1. 3 SD dan 4 SMP di Kab. OKU Timur, Prov. Sumsel
2. 2 SMA dan 1 SMP di Kab. Lembata, Prov. NTT
3. 2 SD dan 2 SMP di Kota Bekasi, Prov Jabar
4. 1 SMP di Kab Way Kanan, Prov. Lampung
Ini adalah sumbangsih penulis agar para guru dapat berdaulat di negerinya sendiri, bukan saja dihargai setara dengan guru-guru asing, tapi dapat sungguh-sungguh meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, melalui kurikulum bercita rasa Indonesia asli.  
Semoga dengan ini para guru Indonesia dapat go international. Guru-guru Indonesia dapat mengangkat citra Indonesia sebagai negara pencetus disain kurikulum yang baik, negara pendidik dan inovator pendidikan, bukan sekedar pengekspor TKW.

Dimuat di KOMPASIANA tanggal 22 Agustus 2011 :  
http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/22/disain-kurikulum-bernafas-indonesia-asli/

Rabu, 12 Oktober 2011

DISAIN KURIKULUM, PINTU MASUK PEMBUATAN MODUL


A.  Pendahuluan :
  1. Pemerintah perumus kurikulum :
Sampai dengan tahun 2006, kurikulum selalu ditentukan dan dirumuskan sendiri oleh Pemerintah cq Depdiknas (sekarang Kemdiknas), sekolah/guru tinggal menerima dan melaksanakan saja kurikulum itu.  Sekolah/guru tidak boleh melenceng sedikitpun dari kurikulum bikinan Pemerintah itu. Oleh sebab itu dalam jajaran Depdiknas dikenal adanya jabatan PENGAWAS, yang tugasnya memelototi pelaksanaan kurikulum di lapangan agar tidak keluar dari amanat yang sudah digariskan oleh Pemerintah.
Maka dari itu, tidak satupun FKIP/IKIP di Indonesia yang mempunyai Jurusan Disain Kurikulum.  Jurusan yang ada adalah Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, yang hakekatnya jauh berbeda dengan Jurusan Disain Kurikulum di luar negeri, sebab Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan itu hanya berkutat pada PAKEM (Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) dan PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Atraktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan serta Gembira dan Berbobot), yang sebenarnya hanya merupakan satu bagian sekrup kecil dari Jurusan Disain Kurikulum yang ruang lingkup kajiannya jauh lebih luas. Implikasinya, jabatan guru tidak lebih dari administrator kurikulum dan beban mengajar dianggap sebagai beban tugas administratif keguruan saja.
Dengan demikian, para Pengawas yang tidak dibekali ilmu Disain Kurikulum itu nyaris membungkam kreativitas dan inovasi di lapangan, karena menyeragamkan kurikulum se-Indonesia sesuai dengan keinginan dan kemauan Pemerintah.  Kemerosotan kualitas pendidikan tak terelakkan lagi. Dilain pihak, pembubaran IKIP membuat kajian ilmu pendidikan menjadi kajian “anak tiri” di republik ini.  Dampaknya kualitas SDM kita makin lama makin merosot (Human Development Index Indonesia berada di posisi 108 dari 169 negara (UNDP, 2010).  Menyadari akan keterpurukan ini, mau tidak mau, reformasi pendidikan mulai dipikirkan. Pendorong utama reformasi pendidikan ini adalah dinamika liberalisasi dan arus globalisasi yang melanda Indonesia akibat keikut-sertaan Indonesia dalam WTO, ACFTA, dll. dimana  pendidikan termasuk sektor yang harus diliberalisasi (pendidikan terbuka bagi penanam modal asing).  Masuknya berbagai sekolah internasional di berbagai kota besar di Indonesia telah membuka mata para birokrat pendidikan tentang ketertinggalan pendidikan dan pengajaran di negara kita, sehingga reformasi pendidikan mulai dirasa perlu dan mendesak.
Reformasi pendidikan ini menyangkut dua isu utama yaitu perombakan kurikulum nasional dan peningkatan profesionalitas guru.  Sayangnya program peningkatan profesionalitas guru ini kemudian terpuruk menjadi ajang bagi-bagi duit yang mengerucut dalam program sertifikasi guru yang nir makna (guru hanya mengejar sertifikat seminar dan pelatihan), tanpa disertai kualifikasi penguasaan bahan ajar. (Evaluasi Guru Lolos Sertifikasi Mulai 2012, Tunjangan Sertifikasi Tidak Berlaku Selamanya, KOMPAS, Sabtu 24 September 2011 halaman 12).
Maka satu-satunya harapan untuk upaya reformasi pendidikan diletakkan kepada pemikiran perombakan kurikulum yang bertumpu pada guru sebagai disainer kurikulum (guru bukan lagi sekedar administrator kurikulum saja).  Untuk ini diperlukan serangkaian peraturan baru yang menjamin pemberlakuan otonomi sekolah dan otonomi guru.
  1. Otonomi sekolah dan otonomi guru :
Reformasi pendidikan dimulai dari :
a.       Diversifikasi kurikulum (bukan penyeragaman kurikulum) yang diatur dalam Pasal 36 ayat 2 juncto Pasal 38 ayat 2 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003)
b.    Pengakuan akan Otonomi guru yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003)
c.    Pengakuan bahwa guru merupakan suatu profesi yang memerlukan profesionalitas (bukan sekedar memerlukan kompetensi) yang diatur dalam Pasal 7 UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005), sedangkan kompetensi guru diatur dalam pasal Pasal 10 UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005).
Reformasi ini dieja-wantahkan melalui Peraturan Mendiknas No.22, No.23 dan No.24 Tahun 2006, yang membebaskan sekolah/guru untuk menyusun kurikulumnya sendiri, yang dikenal sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) untuk mewujudkan ide otonomi sekolah dan otonomi guru. Reformasi pendidikan ini menempatkan sekolah sebagai satuan yang otonom dan meletakkan hakekat guru sebagai konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran.
            Sudah tentu Permendiknas No. 22, 23 dan 24 ini memicu terjadinya banyak kerancuan di lapangan. Banyak Pengawas yang masih terbelenggu oleh ide penyeragaman kurikulum yang nampak dari diterapkannya KTSP BIMTEK (KTSP Bimbingan Teknis) dimana-mana. 
KTSP yang hakekatnya merupakan kurikulum satuan pendidikan (kurikulum sekolah) diangkat menjadi kurikulum kabupaten, bahkan kurikulum propinsi, dimana sekolah/guru wajib mengikuti dan menjalankannya. Pengawas terjebak dalam pola lama dimana guru hanya diperlakukan sebagai administrator kurikulum saja. Misalnya di Prov. DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta malah memaksa semua SMA untuk mengadopsi SAS (Sistim Administrasi Sekolah) yang dibanderol seharga Rp. 40 juta per program per sekolah. 
Akibatnya, Permendiknas No.22, 23 dan 24 Tahun 2006 ini dijadikan ladang subur untuk membuat berbagai proyek baru tentang penyusunan kurikulum dengan memanfaatkan kebingungan sekolah/guru akibat dari ketidak-tahuan cara mendisain KTSP secara benar, karena vakumnya Jurusan Disain Kurikulum di Indonesia.  Dengan diluncurkannya berbagai proyek baru di lingkup Dinas Pendidikan, maka sebenarnya Dinas Pendidikan telah bermeta-morfosa menjadi Dinas Persekolahan. Akibatnya birokrat-birokrat ini terjebak dalam kealpaan yang makin dalam.
Apa buktinya?  KTSP BIMTEK dan berbagai proyek pelatihan guru yang ada ternyata hanya merupakan “baju baru” dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) tahun 2004, yang sebenarnya secara hukum sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2006 itu.
Kelemahan utama dari KTSP BIMTEK ada pada target kurikulum yang hanya berorientasi pada aspek kognitif saja serta pada bagian monitoring dan evaluasinya.  Monitoring itu bersifat kualitatif (bukan kuantitatif) dan evaluasinya hanya bertumpu pada aspek kognitif serta “kejar target” untuk kelulusan UN (Ujian Nasional). 
Malahan Kemdiknas secara resmi menyatakan bahwa pemetaan sekolah (mind mapping) secara nasional itu dilakukan melalui dan lewat pelaksanaan UN.  Nampaknya Kemdiknas tidak mempunyai tolok ukur lain untuk memetakan sekolah-sekolah di Indonesia.
B.   Problem Nyata di Lapangan :
I.  Problem pada perangkat lunak (software) pendidikan :
1.  Beredarnya KTSP BIMTEK dimana-mana (Di Prov. DKI Jakarta : beredarnya SAS dihampir semua SMA) – KTSP yang hakekatnya merupakan kurikulum satuan pendidikan (kurikulum sekolah) diangkat menjadi kurikulum kabupaten, bahkan kurikulum propinsi, (penyeragaman kurikulum merata dimana-mana) dimana sekolah/guru wajib mengikuti dan menjalankan KTSP BIMTEK itu, yang memposisikan guru agar tetap buta dalam penyusunan Modul Pemelajaran.
  1. Pendidikan Karakter bersifat kualitatif dan nilai yang diambil tidak berkorelasi langsung dengan nilai KELAKUAN dan KERAJINAN di rapor karena pendidikan karakter itu tidak didisain kuantitatif.
  2. Beredarnya bermacam-macam kurikulum hasil berbagai penataran/seminar, seperti kurikulum entrepreneurship, kurikulum Multiple Intelligence, kurikulum PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif), kurikulum berbasis keunggulan lokal, dll. yang memposisikan anak sebagai obyek didik (bukan subyek didik), yang tercermin dari pemakaian istilah “peserta didik” – akibatnya, istilah berikutnya yang dipakai adalah “pembelajaran” dimana peserta didik yang belajar dan guru yang mengajar, dan bukan  mensosialisasikan istilah “pemelajaran” (pemelajaran : kata dasar : pelajar – dimana guru dan siswa harus terus menerus belajar, karena statusnya sama yaitu sama-sama pelajar).  Apa buktinya?  Program PENGAYAAN (enrichment) tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kemdiknas dan Dinas Pendidikan setempat telah bermeta-morfosa menjadi kementerian yang mengurusi masalah persekolahan dan lupa pada fungsinya sebagai perumus policy kependidikan yang sinergis, sehingga hanya berkutat di masalah pengajaran saja.
  1. Meskipun otonomi guru diakui secara legal dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, namun jabatan PENGAWAS tetap dilestarikan, sehingga guru bukan lagi guru untuk murid, tapi guru yang mengabdi pada Dinas Pendidikan (yang telah bermeta-morfosa menjadi Dinas Persekolahan) dan guru yang mengabdi pada sistim. Guru bukan diarahkan menjadi konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, tapi tetap dibelenggu sebagai administrator kurikulum.  Apa buktinya?  Penjabaran Visi dan Misi Sekolah tidak berkorelasi dengan proses pemelajaran di kelas.  Guru mengajar menurut pola dan kemauannya sendiri yang terlepas dari penjabaran Visi dan Misi Sekolah.
  2. Akibat pemberlakuan UN (Ujian Nasional), maka pengajaran dan evaluasi hanya berkutat dalam ranah kognitif saja, dengan demikian mengabaikan proses pemelajaran psikomotor, afektif dan kecakapan hidup (life skills). 
Yang lebih parah, pemelajaran kecakapan hidup itu dianalogikan dengan kegiatan pembelajaran di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), padahal pemelajaran kecakapan hidup itu merupakan aspek tertinggi dari ketiga ranah yang lain (contoh kecakapan hidup antara lain : penelitian ilmiah, pembuatan karya tulis, musikalisasi puisi, drama musical dalam Bahasa Asing, ketrampilan menjaga keberlanjutan dan kesinambungan majalah dinding, dll)
II. Problem pada perangkat keras (hardware) pendidikan :
Sejak dihapusnya Direktorat Sekolah Swasta pada Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdiknas, maka sekolah-sekolah swasta telah kehilangan naungan karena jajaran Kemdiknas lebih sibuk dan lebih fokus serta lebih memprioritaskan pengurusan sekolah-sekolah negeri. Akibatnya, sekolah-sekolah swasta sungguh-sungguh menjadi “anak tiri” dalam dunia pendidikan di Indonesia.  Hampir seluruh sumber daya digelontorkan untuk sekolah-sekolah negeri.
Situasi bertambah runyam dengan diberlakukannya desentralisasi pendidikan, yang mengacu pada Pasal 10, Pasal 16, Pasal 41 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 5 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003).  Berdasarkan aturan itu, Pemda (dengan alasan terbatasnya alokasi anggaran) lebih memberdayakan sekolah-sekolah negeri di daerahnya, dengan mengabaikan sekolah-sekolah swasta di daerahnya.  Lebih-lebih Pemda yang sudah menerapkan Perda Syariah : sekolah-sekolah swasta sungguh-sungguh dibiarkan merana. Sekolah swasta dianggap saingan sekolah negeri, bukan mitra Pemda.
Berbagai aturan yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan setempat sungguh-sungguh “membunuh” sekolah-sekolah swasta, misalnya pendaftaran murid baru di sekolah swasta baru dapat dibuka setelah pendaftaran murid baru di sekolah negeri ditutup.  Penataran dan pelatihan guru swasta hanya dimungkinkan setelah “jatah” sekolah-sekolah negeri tercukupi. Bantuan sarana dan prasarana hampir tidak pernah mengalir ke sekolah swasta, dll.
Aturan yang paling membelenggu gerak sekolah swasta adalah pembinaan sekolah oleh Pemda, yang mengacu pada Pasal 44 ayat 1 UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003.  Pembinaan ini sungguh-sungguh telah mengintervensi “dapur” sekolah swasta, benar-benar telah membatasi ruang gerak sekolah swasta. 
Maka dari itu, Dinas Pendidikan setempat sudah bermeta-morfosa menjadi Dinas Persekolahan yang mengatur segala hal remeh temeh, seperti penyeragaman buku agenda guru, buku absensi siswa, kartu kejadian siswa, dll
Akibat supervisi kurikulum oleh para Pengawas yang mengacu pada ketentuan Pasal 38 ayat 2 juncto Pasal 44 ayat 1 UU Sisdiknas : UU No. 20 Tahun 2003, maka sekolah swasta terjebak untuk mengikuti kurikulum sekolah-sekolah negeri (KTSP BIMTEK), sehingga daya saing keilmuannya memudar.  Dengan demikian secara kualitas, sekolah swasta tidak lagi berbeda dengan sekolah-sekolah negeri.  Ditambah dengan kebijakan penggratisan sekolah-sekolah negeri, maka lengkap sudah “pukulan” yang dialami oleh sekolah-sekolah swasta.
a.    Sekolah swasta tidak berbeda kualitasnya dengan sekolah negeri, karena “supervisi” dan “pembinaan” dari Dinas Pendidikan setempat
b.   Dengan digratiskannya sekolah negeri, para pendaftar baru akan lari ke sekolah negeri, secara kualitas tidak berbeda, tetapi secara pembiayaan jelas berbeda.
c.   Karena jumlah muird sekolah swasta berkurang, maka uang masuk menjadi berkurang, akibatnya kesejahteraan guru menurun.
d.   Karena kesejahteraan guru menurun, kualitas pengajaran di sekolah swasta menjadi rendah (karena para guru swasta itu sibuk mencari penghasilan tambahan)
e.   Karena kualitas pengajarannya lebih rendah dari sekolah negeri, maka makin tahun, jumlah murid baru makin berkurang, dengan demikian : pemasukan sekolah akan makin menipis, dan seterusnya : akan menjadi lingkaran setan yang tak berujung.
f.    Guru-guru sekolah swasta yang tersisapun akan lari menjadi PNS yang menerima tunjangan yang lebih besar dari guru swasta.
g.   Sekolah swasta makin terpuruk.
Pemecahannya : Memutus lingkaran setan itu dengan perbaikan kurikulum – dengan demikian berarti memperbaiki juga kualitas SDM di sekolah swasta.

C.  Terobosan baru yang diusulkan untuk perbaikan kualitas di bidang Pendidikan
  1. Mengingat Kementerian Pendidikan Nasional beserta jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, telah bermeta-morfosa menjadi Kementerian Persekolahan Nasional, maka perlu dicari upaya agar policy (kebijakan) pendidikan tetap utuh dipegang oleh para guru sebagai pengemban amanat otonomi guru dan profesionalitas guru.  Hakekat seorang guru adalah konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, bukan administrator kurikulum.
  2. Menimbang bahwa di masyarakat pendidikan telah beredar bermacam-macam kurikulum dan type pembelajaran, maka perlu dicari jalan agar semua hal itu dapat diintegrasikan menjadi suatu kurikulum berbasis keunggulan lokal, sehingga bermacam-macam kurikulum dan type pembelajaran itu tidak menambah beban administratif guru. Dewan Guru adalah think tank sekolah.
  3. Keputusan untuk menggunakan UN nampaknya tak akan dapat diintervensi lagi, oleh sebab itu perlu dicari cara agar para guru tetap dapat menggunakan kurikulum yang mencakup ranah kognitif, psikomotor, afektif, dan kecakapan hidup dengan tetap memetakan kondisi kelas menurut aplikasi Multiple Intelligence sehingga guru tetap dapat menjadi guru untuk murid dan bukannya guru untuk Dinas atau guru untuk sistim.  Profesi keguruan ini hendaknya tidak diturunkan menjadi administrator.
  4. Marginalisasi sekolah swasta telah terjadi secara sistemik, sehingga upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah swasta hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki kualitas pengajaran (melalui perbaikan kurikulum).
Maka dari itu, kami usulkan Disain Kurikulum berbasis Lokal yang dapat mengintegrasikan KTSP BIMTEK dengan Dokumen I dan Dokumen II KTSP dari Puskur Kemdiknas, serta dengan : (a). PKB (Pendidikan Karakter Bangsa). (b) PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif). (c). Multiple Intelligence.  (d) Entrepreneurship. (e). SAS
Sehingga profesionalitas guru tetap terjaga menuju pada komputerisasi keterpaduan kurikulum dengan tetap mengacu pada Visi dan Misi sekolah. Dengan demikian, KTSP telah dikembalikan pada hakekatnya yaitu kurikulum sekolah (bukan kurikulum kabupaten atau kurikulum propinsi).
Disain Kurikulum ini dibuat dalam Program Excell sehingga kualitas pembuatannya mudah dikontrol dan keterkaitannnya dengan Tujuan Pendidikan, Keunggulan Lokal, Penelitian Tindakan Kelas, Visi-Misi Sekolah dan EDS (Evaluasi Diri Sekolah) maupun dengan Sertifikasi Sekolah tetap dapat dimonitor.
            Disain Kurikulum berbasis Lokal ini terdiri dari 22 langkah yang terpadu dalam Program Excell sehingga monitoring (melalui PBK : Penilaian Berbasis Kelas) dan evaluasi (melalui CK : Catatan Kompetensi) dapat diukur secara simultan dan sinambung.  Upaya perbaikannya juga dapat dikontrol melalui ZPD (Zone of Proximal Development).            
Disain kurikulum ini terbukti efektif memutus mata rantai lingkaran setan keterpurukan yang dialami oleh sekolah swasta, karena ini adalah masalah pertaruhan “hidup” dan “mati” sekolah swasta.  Disain Kurikulum ini telah diuji coba dan diterapkan dengan biaya sendiri oleh Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM, tanpa membebani pihak Yayasan atau Sekolah berikut ini :
  1. SMA Don Bosco Lamahora, Kab. Lembata, Pulau Lembata, NTT
(Kepala Sekolah : Fr. Philipus CMM) : Pelatihan berlangsung 2 kali @ 9 hari
  1. SMP St. Theresia Lamahora, Kab. Lembata, Pulau Lembata, NTT
(Kepala Sekolah : Sr. Ernestine PRR) : Pelatihan berlanggsung 1 kali (9 hari)
  1. SMA Yohanes Paulus II Maumere, Kab. Sikka, Pulau Flores, NTT
(Kepala Sekolah : Romo Fidelis Dua, Pr.) : Pelatihan berlangsung 1 kali (10 hari)
  1. SD – SMP Charitas 01 Gumawang, BK 10, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. SD – SMP Charitas 02 Mojosari, BK 9, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. SD - SMP Charitas 03 Bangunsari, BK 4, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. SD – SMP Charitas 04 Karangbinangun, BK 3, Kab. OKU Timur, Sumsel
(Ketua Pelaksana Harian Yayasan : Sr. Imaculata F.Ch) : Pelatihan berjalan 1 tahun
  1. Dua guru dari Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa, Keuskupan Maumere, Kab. Sikka, NTT
(Kepala Sekolah : Romo Raymundus Minggu, Pr.) : Pelatihan berlangsung 9 hari.
  1. SMPN 1 Buay Bahuga, Kab. Way Kanan, Lampung.
(Kepala Sekolah : Raminto S.Pd., M.MPd.) : Pelatihan berlangsung 1 kali (7 hari).
Inti dari pendidikan formal adalah kurikulum yang terstruktur secara simbiotis, problem solving dan project based learning (PBL) atau problem based (PB), sehingga murid dapat terus bertumbuh kembang dalam penguasaan ilmu.  Hal ini tercermin dari alokasi kurikulum dalam akreditasi sekolah yang mencapai 40% dari keseluruhan aspek pendidikan dan tempat kurikulum yang sangat strategis dalam EDS (Evaluasi Diri Sekolah).  Dengan demikian, penggolongan sekolah menjadi SSN, RSBI atau SBI sebaiknya didasarkan pada penguasaan dan penguatan kurikulum (bukan pada penguasaan bahasa asing dan kelengkapan audio visual di kelas saja). 
Maka dari itu, pembuatan Disain Kurikulum mutlak perlu dalam memenuhi amanat Diversifikasi kurikulum (bukan penyeragaman kurikulum) yang diatur dalam Pasal 36 ayat 2 juncto Pasal 38 ayat 2 UU Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas : UU No. 2 Tahun 2003) dan  profesionalitas guru (bukan sekedar  kompetensi guru) yang diatur dalam Pasal 7 UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005)
            Disain kurikulum ini terbukti efektif memutus lingkaran setan keterpurukan sekolah swasta, seperti uji coba yang dilakukan di Belitang, Sumsel.
Setelah digembleng selama satu tahun dalam pembuatan Disain Kurikulum, jumlah pendaftar baru di sekolah-sekolah Charitas Belitang naik, bahkan TK dan SD Charitas Karangbinangun berhasil dibuka lagi, setelah bertahun-tahun ditutup karena dulu merugi.
            Resistensi dari para Pengawas dan Dinas Pendidikan setempat sudah tentu juga timbul, namun setelah pendekatan pribadi dan setelah melihat hasil EDS dan Akreditasi Sekolah, biasanya mereka memaklumi terobosan baru yang dibuat oleh Yayasan/sekolah.

Kesimpulan :
-     Keteguhan Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM dalam mensosialisasikan Disain Kurikulum (bahkan dengan biaya sendiri) patut diapresiasi ditengah kebuntuan dari : (1) implementasi berbagai proyek pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemdiknas. (2) Pola penyeragaman baru yang dikemas sebagai KTSP BIMTEK atau SAS.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini hendaknya dipatenkan sebagai temuan integrasi berbagai kurikulum yang beredar di dunia pendidikan Indonesia dengan pendidikan karakter.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum berbasis Lokal ini dapat mengembalikan hakekat Kementerian Pendidikan Nasional cq Dinas Pendidikan untuk fokus memikirkan kemajuan pendidikan di Indonesia dan tidak terjebak menjadi Kementerian Persekolahan Nasional cq Dinas Persekolahan daerah.  Sehingga azas otonomi sekolah yang dijamin oleh UU tidak dilanggar oleh para birokrat pendidikan itu sendiri.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini telah mengembalikan hakekat guru sebagai konseptor, inisiator, desainer kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, sesuai dengan azas otonomi guru yang dijamin oleh UU
-     Program Excell dari Desain Kurikulum ini akan mudah diaplikasikan bila para guru rajin membimbing siswa untuk mengembangkan minat dan bakatnya (membimbing murid dalam berbagai lomba yang sesuai dengan minat dan bakat murid) – kemampuan memberi stimulus dan men-challenge para murid merupakan nilai plus dari para guru, yang tercermin dari Analisis Esensi Materi (AEM) dan Strategi Penyelesaian Masalah (SPM) dari rangkaian Disain Kurikulum berbasis Lokal ini.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini terbukti efektif memutus lingkaran setan keterpurukan sekolah-sekolah swasta dalam menghadapi : (1) “supervisi” dan “pembinaan” dari Pengawas dan Dinas Pendidikan setempat. (2) penggratisan sekolah-sekolah negeri. (3) pemberian tunjangan PNS yang jauh lebih besar dari pegawai swasta.
-    Program Excell dari Disain Kurikulum ini menjadi pintu masuk untuk pembuatan diktat dan modul pembelajaran sehingga sekolah tidak usah terikat dengan penerbit untuk selalu menggunakan buku-buku dari penerbit.


Kegiatan ini di daerah antara lain dimuat di Harian Pos Kupang, Jumat tanggal 2 September 2011 halaman 1 : 36 GURU IKUT PELATIHAN KTSP (http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/69204)






Senin, 10 Oktober 2011

IOV - Indonesia Youth Section


        Siswa dari Jurusan IPA dan IPS mempunyai Olimpiade Sains (Olimpiade Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi & Akuntansi, Sosiologi, Antropolgi, dll) sebagai ajang siswa berprestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.   Untuk siswa dari Jurusan Bahasa atau siswa dari SMKI, adakah ajang unjuk prestasi di tingkat nasional dan internasional?  Ada. Lewat IOV Indonesia Youth Section.   

          "Recognizing that the youth today are the leaders of tomorrow, UNESCO has encourage Non-Govermental Organizations (NGOs) to form programs in order to prepare young people for the work that lies ahead"

                                                                                                            IOV World

        Ingin melihat Acropolis di Yunani, berfoto di Volendam Belanda atau menyusuri Sungai Seine di Paris?  Hal itu mungkin saja terwujud.  Terlebih dahulu mari kita mengenal IOV untuk mewujudkan mimpi kamu.  International Organization Volkentrust (IOV) merupakan Organisasi Seni Rakyat Internasional yang bekerja sama dengan UNESCO dan menjadi wadah bagi para anak muda di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam proyek pengembangan kesenian dan kebudayaan rakyat.  Sejak tahun 2007, IOV telah mensponsori festival seni rakyat nasional dan internasional serta pertukaran budaya, seni pertunjukan dan seni visual.
        Dirilis pada tanggal 1 Maret 2011, IOV Indonesia Youth Section telah resmi menjadi anggota IOV International dan menjadi tempat bagi kaum muda untuk berbagi ide mereka tentang seni, tradisi dan warisan budaya.
Baru-baru ini IOV Indonesia telah mengirim delegasinya untuk bertukar budaya ke berbagai negara.   Antara lain SMA Labschool Rawamangun dalam acara International Folklore Festival of Naoussa dan Beylikduzu Municipality International Culture & Art Festival Juli kemarin di Yunani-Turki, untuk ke Belanda-Jerman : delegasi Indonesia diwakili oleh "Sivanataradja" Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan pada bulan Agustus ini, tim Kencana Pradipa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia akan bertandang ke Amerika mengunjungi Houston dan New York untuk memeriahkan festival dan acara seni (cultural mission) di sana.
        Seperti yang disampaikan oleh Carmen Padilla - Presiden IOV International, IOV hidup dan terus mengejar tujuan untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, pengertian antar masyarakat dunia melalui bahasa seni dan budaya tradisional.  Mereka berkomitmen untuk mempertahankan warisan budaya tidak berwujud sehingga bangsa kita memiliki kestabilan dan kekuatan dalam bekerja sama untuk kebaikan bersama.
        Jadi tidak ada salhnya kita mulai mengenal dan memperlajari budaya Indonesia yang beragam dari sekarang, karena berawal dari itu kita bisa bergabung menjadi anggota IOV dan siapa tahu kamu yang akan menjadi delegasi berikutnya yang dikirim ke luar negeri.  Masih penasaran dengan IOV Indonesia Youth Section?  Klik http://www.iovindonesiayouth.blogspot.com

Dimuat di Majalah HangOut Jakarta, Edisi 05 - Agustus 2011 halaman 69

Senin, 03 Oktober 2011

Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta, Apa Bedanya?

1. Sekolah swasta mengalami diskriminasi struktural :
- Diskriminasi pada penerimaan siswa baru (Pendaftaran siswa baru di sekolah swasta harus menunggu selesainya pendaftaran siswa baru di sekolah negeri, sehingga sekolah swasta dikondisikan menjadi “buangan”  anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri).
- Diskriminasi bagi keberlanjutan studi alumninya (Quota terbatas yang diberikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bagi lulusan sekolah swasta (lihat http://www.snmptn.ac.id)
- Diskriminasi pada pengembangan SDM-nya (Quota terbatas pada program sertifikasi dan diklat – hal itupun harus menunggu jatah setelah sebagian besar SDM di sekolah negeri selesai merampungkan progam sertifikasi dan diklatnya)
2. Sekolah swasta menjadi “anak tiri” karena kucuran dana dan fasilitasnya berbeda dari sekolah negeri – hanya sekolah negeri yang mendapat kelimpahan dana 20% APBN (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 44 ayat 1 juncto Pasal 49 ayat 3 dan ayat 4)
3. Pengembangan sekolah swasta terhambat dan kreativitasnya terpasung karena Permendiknas No.22, No.23, No.24 Tahun 2006 yang memungkinkan semua sekolah menerapkan kurikulumnya sendiri, dikebiri menjadi : semua sekolah wajib menerapkan kurikulum (KTSP) yang sudah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat.  Di Prov. DKI Jaya, semua SMA wajib menggunakan kurikulum SAS (Sistim Administrasi Sekolah) yang dibandrol seharga Rp. 40 juta per SMA, dan di Prov. Jabar, semua sekolah wajib mengadopsi KTSP BIMTEK (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bimbingan Teknis) lengkap dengan Pengawas/Penilik Sekolah yang akan “memelototi” penyimpangannya.

Apa efek berikutnya?
1. Reputasi sekolah swasta menjadi terpuruk.  Sekolah swasta dianggap tidak “pro poor“, stagnan dan ketinggalan jaman.  Padahal hal ini memang “di-setting” karena sekolah negeri mendapat kucuran dana berlimpah untuk meningkatkan diri menjadi RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional), sedangkan sekolah swasta harus hidup dari dirinya sendiri (swadana dan swakelola hingga swasembada).
2. Kontribusi sekolah swasta di masyarakat mulai dipertanyakan karena lingkupnya yang eksklusif dan soliter, padahal hal ini ditimbulkan oleh dikotomi payung hukum, yang memungkinkan Pemkab/Pemkot menggratiskan sekolah negeri, tanpa mau mensubsidi sekolah swasta.
Dengan demikian, eksistensi sekolah swasta terancam – banyak sekolah swasta yang tutup, termasuk sekolah-sekolah perintis, seperti Perguruan Taman Siswa dan sekolah swasta berbasis keagamaan.

        Lalu kenapa masih ada sekolah negeri yang reot dan kumuh?  Karena Pemkab/Pemkot terlambat menganggarkannya atau Pemkab/Pemkot dengan sengaja mau melikuidasinya demi penghematan APBD, sebab penyelenggaraan pendidikan di lokasi itu mau diserahkan ke sekolah swasta (Pondok Pesantren, Madrasah, sekolah PGRI, atau prakarsa masyarakat yang lain) .

        Perbedaan kedua antara sekolah negeri dan sekolah swasta adalah pada branding dan segmen pasarnya.    Sekolah negeri sejak dulu menyandang beban sebagai produk unjuk keberhasilan paradigma Pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga branding sekolah negeri adalah sekolah unggulan serta segmen pasarnya adalah “siswa unggulan” (siswa yang pandai secara kognitif).  Sedangkan sekolah swasta digempur dari dua arah, pertama : dari paradigma Pemerintah dalam memperlakukan sekolah negeri, dan kedua : melalui menjamurnya sekolah-sekolah internasional yang mengusung branding globalisasi dengan segmen pasar the haves yang mampu menunjang keberlanjutan sistimnya yang mahal.  Padahal dengan pola segmentasi ini, sekolah swasta hanya kebagian remah-remah yang menyulitkan positioning-nya dalam persaingan pencitraan yang berujung pada kesulitan menopang sisi humanis dari wajah sekolah swasta.  Akibatnya, sekolah swasta terpojok dalam stereotype bisnis dan eksklusif.
Dengan demikian, sekolah swasta tidak lagi berdaya tarik dan berdaya pikat, karena tidak didukung oleh sumber daya yang memadai.

Jadi apa beda antara sekolah negeri dan sekolah swasta?
- Sekolah swasta dianggap sebagai pesaing sekolah negeri, bukan mitra sekolah negeri.
- Maka sekolah negeri diarahkan menjadi “sekolah profesional” dengan dukungan sumber daya yang hampir tak terbatas, sedangkan sekolah swasta didorong untuk “jatuh bangun” sendirian, menjadi sekolah yang mencoba survive di era globalisasi ini, mencari terobosan baru agar tetap eksis dan “terhormat” di mata publik.

Dimuat di Majalah Intisari On-line, 11 Mei 2011 (http://blog.intisari-online.com/2011/05/sekolah-negeri-dan-sekolah-swasta-apa-bedanya-3/)

1. Uji Materi di MK (Mahkamah Konstitusi) :

Pasal 55 ayat 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah direvisi oleh MK pada Sidang MK, Kamis 29 September 2011 (berita dapat dilihat di Kompas, Jumat tanggal 30 September 2011 halaman 12  : "PEMERINTAH WAJIB BANTU SEKOLAH SWASTA" ) (http://edukasi.kompas.com/read/2011/09/30/03592933/Pemerintah.Wajib.Bantu.Sekolah.Swasta)

Dengan demikian bunyi Pasal 55 ayat 4 UU No. 20 Tahun 2003 : Lembaga pendidikan berbasis masyarakat DAPAT memperoleh bantuan tehnis, subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. 


Direvisi oleh MK menjadi : 
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah WAJIB memberi bantuan tehnis, subsidi dana dan sumber daya lain kepada lembaga pendidikan berbasis masyarakat.

 2. Upaya Penghapusan Diskriminasi Guru Swasta :
KOMPAS, Senin 10 Oktober 2011 halaman 24 : DISKRIMINASI GURU SWASTA HARUS DIHAPUS


Minggu, 02 Oktober 2011

INTISARI MEMBUAT PELAJARAN SAINS MEMBUMI


Penggunaan zat-zat kimia dalam kehidupan sehari-hari sering kali menjadi ajang penebar racun yang sangat masif tanpa kita sadari.  Misalnya penggunaan zat pewarna tekstil dalam jajanan anak-anak atau penggunaan formalin dalam pengawetan tahu atau penggunaan eternit dari asbes untuk plafond (langit-langit) rumah, dll.  Nampaknya ada kesenjangan yang tajam antara teori Kimia yang dipelajari di kelas dengan terapan Kimia dalam kehidupan sehari-hari.  Reaksi kimia kelihatannya dipahami sebagai reaksi antar zat yang terjadi di laboratorium, yang terpisah sama sekali dengan reaksi badan dan tubuh manusia.  Sampai INTISARI memuat bahaya penggunaan siklamat pada bulan Oktober 1982, masyarakat tidak juga sadar akan dampak racun dari zat yang dipakai secara massal itu.  Masyarakat kita tenang-tenang terus, memakainya dalam industri makanan dan minuman.  Kita tidak ribut tentang gula siklamat, tetapi ramai membicarakan tentang gula singkong, apakah layak konsumsi menggantikan gula tebu yang sudah beredar luas itu atau apakah harganya akan terjangkau atau tidak.  
Pada artikel GULA FRUKTOSA DARI SINGKONG, yang dimuat di INTISARI bulan Februari 1983 sudah dijelaskan secara populer oleh Slamet Soeseno tentang reaksi kimia terbentuknya gula dari pati (singkong), tetapi upaya untuk “membumikan” Ilmu Kimia dalam pembelajaran di kelas masih terasa di awang-awang, pelajaran Kimia masih terasa sebagai salah satu momok di sekolah. 
Artikel yang mengubah kehidupan saya sebagai guru Kimia adalah tulisan yang sangat sulit tapi disajikan secara bersahaja oleh Slamet Soeseno tanpa kehilangan nilai ilmiahnya, yaitu TEMULAWAK PARA PELAWAK, yang dimuat di INTISARI bulan September 1990.  Sejak itu secara intens, saya selalu berusaha membuat Ilmu Kimia di kelas menjadi relevan dengan kehidupan.  Upaya ini diuji melalui penampilan kajian para siswa dalam LKIR (Lomba Karya Ilmiah Remaja) yang diselenggarakan oleh LIPI-TVRI dan LPIR (Lomba Penelitian Ilmiah Remaja) yang diadakan oleh Depdiknas.  Seiring perjalanan waktu, berbagai percobaan kimia dari para siswa kemudian ditampilkan secara berkala di acara Krida Remaja di TVRI dan di ajang pameran di JCC, mulai BOM (Bursa Orang Muda) yang digagas oleh Sys NS sampai acara-acara pameran kreativitas dari Menpora dan LIPI. 
Saya beruntung karena beberapa siswa kemudian mengikuti jejak saya menjadi guru Kimia yang di kemudian hari, dikenang sebagai guru sains yang membumi, yang menghasilkan murid-murid yang kelak menjadi peneliti dan dosen yang menekuni bidang kering ini yaitu sains dan matematika.
Sekarang saya menjadi tutor untuk Disain Kurikulum bagi para guru di berbagai daerah.  Dengan demikian, “efek bola salju” dari upaya membumikan sains di kelas dapat digulirkan secara lebih intens.  Kualitas guru dapat lebih ditingkatkan (guru menjadi lebih profesional), sehingga sains dapat disajikan secara lebih populer dan siswa terbantu untuk menjadi “ilmuwan” sejak dini.   Upaya ini sekarang jadi nampak lebih mudah dengan adanya berbagai rubrik di INTISARI, seperti kuis TOLONG DONG ! yang membumikan pelajaran Matematika dan FENOMENA yang diasuh oleh Prof. Yohanes Surya, yang berupaya membumikan pelajaran Fisika.

ARTIKEL INI DIAJUKAN UNTUK LOMBA INSPIRASI MAJALAH INTISARI

Artikel ini berhasil menjadi pemenang Lomba Inspirasi Majalah INTISARI - Pengumuman pemenang dimuat dalam Majalah INTISARI, edisi September 2011 (No. 583)  halaman 159

Petikan artikel ini : "Artikel "Temulawak Para Pelawak" (Intisari, September 1990) mengubah hidup saya sebagai guru Kimia.  Materi yang sulit mampu disajikan majalah ini secara bersahaja, tanpa kehilangan nilai ilmiahnya.  Sejak itu, seperti Intisari, saya selalu berusaha membuat sains lebih membumi"
                                                                           (Wendie Razif Soetikno, Pembaca Intisari)

Petikan artikel di atas dimuat di KOMPAS, Senin 22 Agustus 2011 halaman 32 : "48th ANNIVERSARY Intisari SMART & INSPIRING"

MERENCANAKAN EKSKUL YANG MENUNJANG KTSP


        Bila kita telah menyelesaikan Dokumen II dari KTSP (yang berisi 16 langkah Penyusunan KTSP menurut Prof. J. Bloom dan juga telah melakukan PTK (penelitian tindakan kelas), maka kita dapat menentukan keunggulan lokal yang sesuai dengan Visi dan Misi sekolah di Dokumen I dari KTSP.  Keunggulan lokal ini harus bisa diimplementasikan (jadi bukan hanya sekdar wacana), yang dioperasionalkan dalam bentuk aneka kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) yang bertujuan :
(1). Menambah pengetahuan dan wawasan siswa (mempunyai fungsi  pengayaan atau  enrichment ) - siswa tidak dapat memperolehnya di luar sekolah (Prof. J. Bloom)
(2). Mendukung kegiatan pemelajaran sehari-hari (memfasilitasi program link and match) sehingga kegiatan di kelas tidak terlepas dari konteksnya (kegiatan pemelajaran mempunyai kesinambungan dengan situasi dan kebutuhan lokal) - sekolah dapat menerapkan satu siklus KTSP : Plan, Do, Check dan Action (Prof. Drukheim)
(3). Melatih kepemimpinan (leadership), kewirausahaan (entrepreneurship), dan megembangkan kreativitas guru dan siswa - sekolah menerapkan manajemen kolaborasi yang sangat berguna dalam membina pembelajaran kontinu (Prof. Pakasi)

Oleh sebab itu, kegiatan ekskul ini sedapat mungkin mendekati kriteria sebagai berikut :
(1).  Ekskul harus lintas ilmu, misalnya ekskul hidroponik adalah kegiatan pengayaan yang merangkum Kimia (ilmu pemupukan dan kimia anorganik, termasuk pH), Biologi (ekologi dan tanaman semusim, termasuk hama tanaman), Fisika ( Fisika fluida, tekanan osmosis dan prinsip-prinsip kapilaritas), Ekonomi (perhitungan laba rugi penanaman semusim dengan hidroponik) dan Matematika (perhitungan kadar dan persamaan linier antara konsentrat pupuk dan tingkat pertumbuhan tanaman), dll.
Contoh kegiatan ekskul lintas ilmu yang lain adalah Mading (majalah Dinding) yang merupakan kegiatan pengayaan yang merangkum pengetahuan bahasa (mengarang, membuat puisi dll), psikologi massa (Mading bisa bagus secara visual, tetapi tetap tidak menarik bagi siswa karena ilmu psikologi massa tidak dilibatkan dalam proses pembuatannya), disain grafis termasuk pembuatan komik dan animasi, seni ilustrasi dan seni lukis, serta ketrampilan TIK (page maker, adobe photoshop, dll).
Contoh lain adalah drama musikal - kegiatan ini mencakup pengetahuan bahasa, seni teatrikal (termasuk seni suara dan seni musik), ekonomi (bagaimana menghasilkan laba saat drama musikal ini dipentaskan), komunikasi massa, psikologi massa (pemilihan sarana iklan, tempat, hari dan waktu untuk pentas drama musikal ini dalam upaya untuk meraih penonton sebanyak-banyaknya).

(2). Ekskul harus mendukung siswa agar fokus pada cita-citanya, misalnya kegiatan PMR (Palang Merah Remaja) mendorong siswa fokus pada masalah kesehatan, kedokteran komunitas dan gizi;  kegiatan Pencinta Alam akan mendorong siswa fokus pada isu konservasi dan ekologi.  Kalau merancang kegiatan Pramuka, harus fokus pada salah satu Saka (bisa Saka Bahari : mendorong siswa mendalami ilmu kelautan, Saka Dirgantara : mendorong siswa menekuni aerodinamika dan aeronautika, Saka Bhayangkara : mendorong siswa mengetahui kriminologi dan antropologi budaya) - kegiatan Pramuka sekedar sebagai kegiatan kepanduan saja (tanpa fokus ke salah satu Saka) tidak banyak menolong program pengayaan.

(3). Ekskul harus menampung rasa ingin tahu (curiosity) siswa yang tak mungkin diwadahi di kelas, misalnya KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) yang memadukan ilmu yang didapat di kelas dengan penelitian dan penulisan karya ilmiah, termasuk memberi nilai tambah pada berbagai produk pertanian.
Jurnalisme yang memadukan ketrampilan berbahasa dan kemampuan sosialisasi di masyarakat sehingga bisa mendapat nara sumber yang kompeten, termasuk mendorong siswa agar tergabung dalam citizen Journalism.
Film (sebagai pengganti kegiatan fotografi yang tak lagi seru setelah era kamera digital saat ini) - film melatih siswa membuat script dan seni visual, serta menyampaikan ide dalam waktu pendek tapi pesannya tertangkap pemirsanya.
Atau robotika yang menggabungkan pengetahuan fisika, mekanika, matematika dan ilmu komputer.

(4). Ekskul harus mendukung program sekolah, misalnya bila sekolah memprogramkan live-in maka sekolah dapat memilih ekskul PMR dan KIR untuk kelak dapat membantu penduduk dalam masalah kesehatan dan gizi serta memberi nilai tambah pada komoditas pertaniannya.  Misalnya siswa dapat membantu penduduk dalam membuat minyak cengkeh  dari daun cengkeh yang sudah gugur, atau membuat kripik nenas, dodol kentang, dll.

(5). Ekskul harus menghindari kegiatan ekskul yang dapat diperoleh siswa di luar sekolah, misalnya seni tari seperti tari Bali, modern dance, dll. karena diluar sana sudah banyak sanggar tari yang lebih berbobot; atau ilmu bela diri seperti taekwondo, karate, pencak silat, dll atau musik akustik, seperti gitar, piano, olah vokal, dll.  Sebab bila kita memaksakan untuk melakukan duplikasi dengan apa yang sudah ada di masyarakat, ada bahaya : kita akan mendapat guru yang kurang kompeten dan teralineasi dari induknya.

(6). Kewgiatan ekskul juga harus sinkrin dengan kegiatan field trip yang diprogramkan sekolah.  Bila sekolah merencanakan karya wisata, maka kegiatan ekskul yang dipilih adalah Pramuka Saka Bhayangkara (untuk menjamin keamanan siswa di tempat-tempat umum), Jurnalisme (untuk menuliskan laporan perjalanan yang baik), dan PMR (untuk menjaga kesehatan siswa selama dalam perjalanan)

(7). Kegiatan ekskul harus menginduk pada organisasinya, sehingga siswa dapat terus mengikuti perkembangan ilmunya, misalnya panjat tebing mempunyai induk organisasi Federasi Panjat Tebing Indonesia, Pramuka menginduk pada Kwarcab Pramuka, KIR menginduk pada LIPI.  Hampir semua kegiatan ekskul mempunyai komunitasnya sendiri, dimana mereka dapat saling berinter-aksi mengembangkan ide-ide kreatifnya.  Apa keuntungannya?   Sekolah tidak kesulitan dalam memperoleh instruktur yang baik dan dedikatif. 

Apa yang hendak dituju?
Sekali lagi, kegiatan ekskul harus mendukung perwujudan dari keunggulan lokal dari sekolah yang bersangkutan.  Bila sekolah menentukan keunggulan lokalnya adalah keunggulan mata pelajaran tertentu, maka prestasi siswa dalam Olimpiade Sains harus diupayakan secara intens, oleh sebab itu pilihan ekskulnya adalah Science Club/KIR, robotika dan Pramuka Saka Bahari atau Saka Dirgantara.
Bila pihak sekolah menentukan keunggulan lokalnya adalah cinta kasih dan humanisme, maka humaniora harus jadi penekanan pemelajaran, oleh sebab itu pilihan ekskulnya adalah PMR, Jurnalisme dan kegiatan yang mengasah emosi bela rasa siswa, seperti SSV (Serikat Santo Vinsensius Konperensi Muda mudi) dan Sant' Egidio. 
Bila sekolah menekankan katolisisme sebagai keunggulan lokal, maka pilihan ekskulnya adalah Legio Mariae Presidium Junior atau paduan suara gerejani (pelantun Gregorian) - pilihan field trip-nya adalah ziarah dan pilihan pendidikan nilainya adalah live-in.
Sekali lagi, pilihan ekskul harus spesifik, dimana siswa tidak dapat memperolehnya diluar sekolah - jadi sungguh-sungguh memperkaya dn menambah wawasan siswa.  Kalau kegiatan ekskul sudah ada diluar sekolah, seperti Sanggar Tari Bali, Sanggar Seni Lukis, dll. serahkan saja hal itu kepada masyarakat (bukan bagian sekolah) dan pihak sekolah tidak perlu mengambil alih apa yang sudah menjadi tanggung jawab masyarakat.

Apa yang hendak diraih? 
        Kegiatan ekskul adalah perwujudan dari pendidikan hati - memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan sekedar memberikan instruksi atau komando (oleh sebab itu hindarilah memberi ekskul ilmu bela diri di sekolah) - bahwa setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang di masa datang (Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak pada peluncuran buku Laskar Pelangi).  Dari kegiatan ekskul yang dipilih, akan kelihatan apakah program belajar-mengajar yang disodorkan oleh pihak sekolah sungguh-sungguh berorientasi pada Visi dan Misi sekolah atau sekedar berjalan memenuhi kurikulum yang digariskan Pemerintah.
        Apa alasan pokok merencanakan kegiatan ekskul yang sinkron dengan keunggulan lokal?  Alasan utama adalah hal itu akan memberi kesempatan pada Dewan Guru untuk melakukan satu siklus KTSP : Plan, melalui pembuatan Dokumen I dan Dokumen II KTSP;  Do, melalui implementasi Kontrak Belajar; Check, melalui Catatan Kompetensi;  Action, melalui pencapaian keunggulan lokal menghadapi persaingan regional.  Dengan melakukan satu siklus KTSP : Plan, Do, Check dan Action, kita sebenarnya sudah melaksanakan manajemen kolaborasi, bukan hanya mensinkronkan seluruh isi kurikulum dengan keunggulan lokal, tapi juga mensinkronkan tujuan pemelajaran siswa dengan Visi dan Misi sekolah.  Siswa dapat menjadi lebih kreatif, yang antara lain ditandai dengan partisipasi siswa dalam pendidikan.  Misalnya dalam pendidikan kejujuran, di kantin sekolah, siswa memasukkan uang jajanannya ke kotak yang disediakan, tidak ada yang mengawasi, tapi siswa diajak berpartisipasi agar dagangan kantin tidak merugi.  Hasilnya adalah membangkitkan nilai pendidikan dengan menumbuhkan kreativitas siswa.  Lalu siswa juga bisa diajak memperbaiki serta mengisi infrastruktur sekolah yang sarat dengan kekurangan ruang publik, karena ruang publik itulah yang merangsang tumbuhnya ide-ide kreatif.  Misalnya karena lapangan sekolah sudah habis dipakai untuk membangun tempat ibadah, maka siswa dapat memanfaatkan selasar atau kelas di jam-jam kosong untuk menyalurkan energi kreatifnya.
        Dari uraian ini nampak jelas bahwa manajemen kolaborasi sangat berguna dalam membina pembelajaran kontinu dan dalam penerapan manajemen yang adaptif yang bekerja dalam skala luas (Gray, 1989), dua hal yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan pendidikan dewasa ini.  Maka dari itu, pendekatan kolaborasi dalam pengelolaan pendidikan merupakan "jembatan" untuk pengembangan ketrampilan lokal - termasuk ketrampilan untuk analisis masalah, perencanaan dan manajemen keuangan serta organisasi.
        Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa manfaat ekskul yang ditunjang oleh manajemen kolaborasi adalah :
(1). Kemampuan merespon siswa menjadi lebih beragam.
(2). Ditingkatkannya potensi siswa untuk menemukan jalan keluar baru dan inovatif
(3).  Prosesnya menjamin masing-masing kepentingan stakeholders dipertimbangkan didalam suatu kesepakatan.
(4). Memperbaiki hubungan antar stakeholders.
(5). Partisipasi meningkatkan penerimaan atas solusi (yang telah diputuskan) dan kemauan untuk melaksanakannya
(6). Mekanisme dan koordinasi tindakan di masa depan dapat ditetapkan
(7). Biaya yang terkait dengan metode lain dapat dihindari.
(8). Berguna dalam meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui pendidikan murah dan berkualitas.

        Jadi kegaitan ekskul harus direncanakan secara matang, sehingga program pengayaan (enrichment) dapat memperoleh hasil yang maksimal.  Cerminannya adalah guru dapat mendorong Indikator Pemelajaran sampai ke taraf  Kecakapan Hidup (life skill), tingkat pemahaman tertinggi yang akan membentuk kepribadian siswa (konstruktivisme), misalnya dalam pelajaran Biologi - salah satu Indikatornya adalah : Siswa dapat MENJELASKAN tentang perkembangbiakan vegetatif.   Kata MENJELASKAN bisa berarti : siswa dapat mendefinisikan pengertian dari perkembangbiakan vegetatif.  Itu berarti siswa bekerja di ranah kognitif (C2).  Atau guru dapat mendorong siswa bekerja di ranah yang lebih sulit, misalnya siswa dapat menjelaskan tentang perkembangbiakan vegetatif itu juga bisa berarti : Siswa dapat menjelaskan perbedaan antara perkembangbiakan generatif dan vegetatif - itu berarti siswa bekekrja di ranah C4, hal ini lebih sulit dari ranah C2 tadi.   Atau siswa dapat menjelaskan tentang perkembangbiakan vegetatif  itu bisa juga berarti : siswa dapat praktek melakukan cangkok tanaman mangga - itu berarti siswa bekerja di ranah psikomotor (P4), hal ini lebih sulit dari ranah C4 tadi, meskipun guru tetap menggunakan indikator yang sama (Siswa dapat menjelaskan tentang perkembangbiakan vegetatif).  Atau siswa dapat menuliskan pengalamannya pada saat mencangkok dahan mawar putih di dahan kembang sepatu merah - yang berarti siswa bekerja di ranah afektif (A3).   Atau guru dapat mendorong siswa bekerja di ranah tertinggi, yaitu ranah kecakapan hidup (life skill), bila siswa didorong untuk membuat karya tulis tentang keunggulan dan kelemahan stek batang dibandingkan dengan cangkok batang - hal ini lebih sulit dari ranah afektif (A3) tadi, meskipun indikatornya tetap.
           Kapan guru dapat mendorong siswa sampai ke ranah kecakapan hidup?  Bila sekolah menyediakan ekskul yang mendukung keunggulan lokal, misalnya dalam kasus pelajaran Biologi tadi, guru dapat mendorong siswa bekerja di ranah tersulit bila di sekolah terdapat KIR - siswa dapat diberi penugasan membuat arboretum (kebun raya mini) sehingga perkembang biakan vegetatif dan generatif tercakup dalam pembuatan arboretum ini.
Pelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang menyenangkan dan guru pembimbing ekskul juga mendapat tugas tertentu yang dapat termonitor dengan baik.  Dengan demikian pembentukan kepribadian siswa (konstruktivisme) dapat dilakukan dengan simultan - siswa yang tadinya malas ke perpustakaan menjadi lebih rajin ke perpustakaan atau browsing internet, agar tugasnya membuat karya tulis tentang cangkok antar spesies (cangkok mawar putih di dahan kembang sepatu merah) dapat diselesaikan dengan memuaskan - kegiatan ekskul mendapat bobotnya yang hakiki, yaitu sebagai program pengayaan (enrichment) , memenuhi program link and match, melatih kepemimpinan, kewirausahaan dan pengembangan kreativitas siswa.

Dimuat di Majalah EDUCARE No. 7/V/Oktober 2008 halaman 30-31 bersambung ke halaman 34

Sabtu, 01 Oktober 2011

SSN, NATIONAL PLUS, SBI - APA ITU?


        Banyak dari kita terhenyak ketika membaca KOMPAS, Jumat 11 Juli 2008 halaman 42 tentang kesan dan pesan SMAN 78 Jakarta yang sudah dua tahun melaksanakan SKS (Sistim Kredit Semester), seperti JIS (Jakarta International School) di Narogong, BIS (British International School) di Bintaro atau GMS (Gandhi Memorial School) di Kemayoran.   Ternyata sudah ada 40 SMA Negeri lain yang sudah melaksanakan SKS, dan akan lebih banyak lagi tahun depan.
        Mengapa Pemerintah mengebu-gebu mau menerapkan SKS?  Karena pintu liberalisasi akan dibuka tahun 2013, sesuai dengan kesepakatan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement), WTO (World Trade Organization) dan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), sektor pendidikan termasuk sektor yang akan dibuka bagi investor asing.  Artinya, lima tahun lagi, sekolah dan guru asing tidak perlu ijin beroperasi lagi di Indonesia, mereka bebas membuka sekolah dan mengajar di wilayah RI.
       Lalu pertanyaannya, apakah Pemerintah menyiapkan jajaran pendidikan dan persekolahan untuk menghadapi globalisasi dan ancaman persaingan global itu?  Ya, kalau kita mencermati UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas), nampak jelas semangat liberalisasi pendidikan di situ (lihat pasal 53, 54 tentang BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan pasal 65 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Negara Lain).
        Dalam pasal 51, disebutkan bahwa "pendidikan dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah".  Prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) ini memberi akses lebih besar kepada Kepala Sekolah dalam pengelolaan pendidikan di sekolah dan meminimalisir peran Yayasan dalam urusan pengelolaan sekolah (lihat Permen No. 19 Mei 2007), artinya semangat otonomi sekolah dan otonomi guru yang diadopsi dari spirit liberalisasi perdagangan (otonomi pelaku usaha), diakomodasi dalam dunia pendidikan kita.  Apa prinsip-prinsip liberalisasi itu?  Akuntabilitas, transparansi, dan good corporate governance.  Maka dalam Permen No. 19/2007 itu ada cara mengukur kinerja Yayasan dan Kepsek serta evaluasi kinerja guru - hal-hal yang selama ini tidak tersentuh dalam DP3.

Persyaratan akademis
        Bila sekolah sudah berhasil menerapkan MBS secara efektif, maka sekolah dapat menetapkan SOP (standard operation procedures) yang berlaku simultan - pada saat itu sekolah dapat mengajukan diri untuk mendapat sertifikat manajemen ISO 9000.  Mengapa hal itu perlu?  Supaya ada second opinion, apakah manajemen sekolah sudah baik atau belum, yaitu manajemen yang berorientasi pada pelayanan kepada siswa dan orang tua.
        Untuk dapat menjalankan MBS secara bermakna, maka guru harus diberdayakan.  Untuk itu Pemerintah mengeluarkan UU No. 14 tahun 2005 tanggal 17 Desember tentang Guru dan Dosen yang mengakui profesionalitas dan kompetensi guru (Pasal 7 menyebutkan tentang profesionalitas guru; Pasal 8 menyatakan, guru harus mempunyai kualifikasi akademik; Pasal 10 menyebutkan guru harus kompeten dan Pasal 11 disebutkan tata cara tentang uji kompetensi guru, Pasal 14 tentang hak dan kewajiban guru yang menjamin otonomi guru dalam ikut menentukan kebijakan pendidikan.  Dengan demikian untuk pertama kalinya, guru diakui sebagai profesi, bukan sekedar pekerjaan dan berhak mendapat tunjangan profesi, bukan sekedar tunjangan fungsional dan tunjangan jabatan (Pasal 15 ayat 1 dan Pasal 16).
        Profesionalitas guru diatur dalam pasal 20 UU Guru dan Dosen yang diukur dari kemampuan guru dalam menyusun kurikulum.  Untuk dapat membuat kurikulum yang baik, yang memenuhi standar kompleksitas pendidikan internasional, maka Pemerintah mendorong agar para guru dapat menyusun silabusnya sendiri (seperti para dosen di perguruan tinggi) yang dikukuhkan melalui Permen No. 22, 23 dan 24 tahun 2006 tentang kewajiban guru untuk dapat menyusun kurikulumnya sendiri yang dikenal sebagai KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan).  Agar kurikulum yang dibuat oleh para guru dapat bersaing dengan kurikulum sekolah-sekolah internasional, maka KTSP ini perlu dikembangkan sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking).  Apa cirinya?  Guru sudah menyusun kurikulumnya (KTSP) berdasarkan 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis.  Bila guru sudah menyusun KTSP sampai ke tingkat HOT, maka guru siap menyusun modul pemelajaran (BUKAN modul pembelajaran), dan berdasarkan modul ini, dapat dikaji bobot dan sistim penjenjangan modulnya - sekolah siap menerapkan SKS.
        Untuk membuat SKS efektif, maka diperlukan pola moving class.  Apa beda kelas konvensional dengan moving class?  Pada kelas konvensional, guru yang berpindah-pindah kelas sesuai dengan jam tugas mengajarnya, siswa tetap di kelas sampai jam pelajaran berakhir (bahan ajar dan kelengkapannya harus dicari di perpustakaan, internet atau laboratorium), sedangkan moving class : guru tetap di kelas dan siswa yang harus berpindah-pindah kelas sesuai subyek mata pelajaran yang diambilnya karena kelas telah berfungsi sebagai nara sumber (semua bahan dan kelengkapannya ada di kelas itu - buku-buku referensi, fasilitas internet, lab. dll tersedia lengkap di kelas itu).   Ada perubahan paradigma dari perubahan pola ini yaitu dari guru adalah nara sumber (dalam kelas konvensional, siswa adalah obyek didik) menjadi pendamping pengembangan bakat dan minat siswa (siswa adalah subyek).
        Jadi prasyarat untuk dapat menerapkan SKS adalah mempunyai KTSP sampai ke tingkat HOT + MBS (syukur kalau bisa meraih sertifikat manajemen ISO 9000) + moving class.  Sudah tentu ada banyak perubahan paradigma dalam penerapannya.  Prasyarat ini lazim dikenal sebagai prasyarat pendidikan atau prasyarat akademis.  Bila sekolah berhasil memenuhi prasyarat ini, maka sekolah tersebut dikategorikan dalam sekolah mandiri.

Prasyarat persekolahan
        Disamping prasyarat akademis di atas, masih ada persyaratan lapangan (operasional) yang dilandasi oleh PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan : kategorisasi sekolah formal standar (yaitu pengaturan SSN, National Plus, SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan sekolah mandiri (yang mengatur standar isi, proses, sarana-prasarana, pembiayaan, pengembangan guru dan karyawan, serta sistim evaluasi).  Sekolah mandiri sudah diuraikan di atas, sedangkan sekolah formal standar dimulai dari pemenuhan tuntutan akreditasi yang digariskan dalam 154 butir-butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah).  Berdasarkan penilaian asesor, maka ditentukan status akreditasi A atau B (sangat jarang suatu sekolah mendapat akreditasi C, karena biasanya Pengawas akan memberikan masukan untuk perbaikan suatu sekolah sebelum akreditasi dilaksanakan).
        Setelah mendapat status akreditasi A, maka pihak sekolah dapat mengajukan peningkatan status menjadi SSN (Sekolah Standar Nasional).  Inti persyaratan tambahannya adalah : sekolah itu diminati masyarakat (jumlah pendaftar dalam tiga tahun terakhir selalu meningkat) dan kualitas pendidikannya terjamin (prosentase kelulusan UAN tiga tahun berturut-turut 100%).  Setelah memperoleh status SSN, maka pihak sekolah dapat mengajukan diri untuk memperoleh peningkatan status menjadi sekolah National Plus (sekarang namanya adalah RSBI).  Inti persyaratan tambahannya adalah : penggunaan dwi bahasa dalam metode dan model pemelajarannya dan telah mengupayakan KTSP sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking) yang didukung oleh adanya perpustakaan digital.  Para guru telah berhasil menyusun modul pemelajaran yang sedapat mungkin bersifat inter-aktif (misalnya moduil dalam bentuk MacroMedia Flash).  Setelah itu, sekolah dapat maju ke tingkat SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), yaitu sekolah yang sudah berhasil melaksanakan moving class, mempunyai modul inter-aktif berbahasa asing (bukan lagi dwi bahasa) yang terpola dalam SKS (Satuan Kredit Semester) - modulnya tersusun berjenjang disertai pembobotan tertentu.
        Apa pesan yang ingin disampaikan oleh berbagai peraturan pemerintah itu ?  Tempora mutantur, et nos mutamurin in illis (waktu berubah dan kita berubah didalamnya).  Jika kita tidak cekatan, kesempatan akan hilang (untuk selalu memperbarui diri) di tengah dunia yang lari tunggang langgang ini (di tengah derasnya arus globalisasi ini).
        Apa keuntungannya kalau kita menerapkan SKS, telah saya uraikan dalam tulisan terdahulu : Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  Intinya adalah siswa merencanakan sendiri studinya dan siswa belajar menurut bakat dan minatnya.  Guru adalah pendamping dalam masa panca roba dimana siswa masih sulit menentukan pilihan dan tujuan hidupnya.  Sebab sekali siswa memilih jurusan bahasa (mayor : bahasa) maka masa depannya sudah ditentukan dari saat itu;  begitu juga siswa yang memilih mayor IPS, maka dia tidak lagi bisa memilih profesi kedokteran di kelak kemudian hari.  Ada perubahan paradigma di sini : Pendidikan adalah memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan sekedar memberikan instruksi atau komando, bahwa setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang di masa depan (Kak Seto, Ketua Komas Perlindungan Anak pada Laskar Pelangi).

Bagaimana kita menyiasatinya?
        Dalam tulisan terdahulu, telah saya uraikan bahwa sekolah Katolik itu dulu unggul dalam pendidikan budi pekerti, kedisiplinan dan humaniora.  Maka saya kira strategi yang dipilih oleh para pendahulu kita hendaknya kita lestarikan.  Sudah tentu bukan lagi pada ketiga bidang itu, karena kebanyakan sekolah kita tidak lagi berasrama, tapi melalui KTSP, kita dapat menentukan keunggulan lokal.  Caranya?  Melalui PBK (penilaian berbasis kelas) dan PTK (penelitian tindakan kelas) akan ketahuan mata pelajaran apa yang paling diminati siswa, lalu mata pelajaran itu yang diperkirakan "paling diminati siswa" itu diuji melalui "Pengalaman Belajar" (satu kolom pada langkah ke-6 KTSP : Penyelesaian Masalah).  Bila kolom ini banyak terisi, maka mata pelajaran itu dapat ditentukan sebagai keuinggulan lokal, karena mata pelajaran itu berhasil membawa siswa ke arh behaviorism (perubahan sikap), misalnya siswa yang tadinya malas membaca, menjadi bukan hanya rajin membaca bahkan rajin melakukan penelitian. 
        Apa itu bisa?  Ya, bisa!  Contohnya Matematika : Bahan Ajar Persamaan Kuadrat.  Indikatornya : Siswa dapat memahami persamaan kuadrat.  Kata MEMAHAMI, bisa berarti siswa mampu menyelesaikan soal-soal persamaan kuadrat (ranah kognitif C4) , atau siswa bisa didorong lebih maju, kata MEMAHAMI yang berarti siswa dapat membedakan apa itu deret ukur dan apa itu perhitungan luas (topik ini masih dalam ranah persamaan kuadrat) - kata MEMAHAMI ini masuk dalam ranah afektif, atau siswa dapat diminta untuk membuat alat peraga, misalnya membuat kerucut, kubus, trapezium dan menghitung luasnya (ini masuk dalam ranah psikomotor) atau siswa dapat diminta menghitung luas hutan (tidak mungkin berjalan keliling membawa meteran mengukur panjang dan lebar hutan - jadi siswa harus berpikir keras, mencari referensi dan meneliti apa yang sudah dilakukan orang lain dalam hal ini (hal ini masuk dalam ranah kecakapan hidup - hal yang paling sulit dalam belajar).
        Jadi dengan mendorong para guru bekerja di ranah kecakapan hidup, kita dapat mendorong perubahan sikap siswa (behaviorism) dan sekaligus membuat pelajaran menjadi lebih bermutu.  Bila semua indikator dari setiap mata pelajaran didorong untuk sampai pada taraf kecakapan hidup, maka keunggulan lokal dari sekolah dapat kembali diraih, meskipun sekolah itu tidak berpredikat SBI.

Dimuat di Majalah EDUCARE No. 5/V/Agustus 2008 halaman 36-38