BSM Edu

Jumat, 30 September 2011

MANAJEMEN KURIKULUM ataukah MANAJEMEN SEKOLAH? Salah Kaprah atau Ketidak-pedulian?


        Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! , penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri.  Dalam tulisan itu, penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
        Namun amat disayangkan bahwa ada sekolah-sekolah swasta yang terkesan hanya mengikuti sepotong-sepotong sehingga terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan,  maupun terobosan dan revitalisasi, seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu.  Mengapa ini semua terjadi?  Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan.  Menskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tetapi sekolah-sekolah tetap melihatnya secara adem ayem saja.   Apa sebabnya?
        Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur.  Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit (itu sebabnya kita tidak perlu larut dalam kontroversi program uji sertifikasi guru dan UAN), begitu juga kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secra jelas dan terukur.  Program audit pendidikan ini harus kita dukung karena selama ini kta tidak punya tolok ukur kemajuan yang kita capai.  Audit memungkinkan kita tidak terjebak dalam "business as usual" (adem ayem saja, tidak neko-neko dan apatis).  Memang ada ritual audit yang diselenggarakan tiap 4 tahun sekali seperti akreditasi sekolah yang dilakukan oleh BAS (Badan Akreditasi Sekolah), tapi itu hanya audit administrasi sekolah, bukan audit manajemen sekolah.

Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan
        Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W.Airisian, Mills, dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat.  Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja, sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri.  Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan.  Orang-orangpun hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tidak membumi.  Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah.  Transparansi dan akuntabilitas hanya dpahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa. 
        Akibatnya akan muncul kesalah-pahaman massal yaitu menganggap pangadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru, seperti penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif (hard competency)  secara on-line, atau SAS (sistim administrasi sekolah) yang tidak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik.   (Namun proses pemelajaran sangat berbeda dengan proses pembelajaran - proses pemelajaran yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tidak terakomodasi dalam SAS).
        Dengan kata lain, soft competency para siswa tetap tak terpantau, atau SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) - yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data di server Yayasan (dan sifatnya tertutup) - menjadi terbuka dan dapat diakses oleh publik melalui SIMS/SIMDIKDU. Namun hal ini tidak menjawab pertanyaan : bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru).   Kalau semua data sudah bisa disatukan di bank data dan dapat diakses publik, so what gitu lho?   Apakah sekolah lalu siap untuk maju dalam sertifikasi ISO 9000 (audit manajemen berstandar internasional) ? 

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
        Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa manajemen kurikulum sangat berbeda dengan pengertiannya dengan manajemen sekolah.  Meskipun MBS pernah disosialisasikan pada tahun 1994 (bersamaan dengan sosialisasi kurikulum 1994) dan para guru pernah ditatar tentang MBS, namun penerapannya tidak pernah dimonitor.  Apa tolok ukurnya?  Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asesor.  Para Kepala Sekolah tidak pernah ditatar dalam pembuatan Analisis SWOT yang benar, akibatnya, W (weakness) tetap menjadi kekurangan sekolah, tanpa ada campur tangan Yayasan/Komite Sekolah untuk meningkatkannya menjadi S (strength) , sedangkan T (threats) tetap menjadi batu sandungan bagi sekolah, tanpa ada kemampuan untuk mengatasinya dan mengubahnya menjadi peluang emas (O : Opportunities) menghadapi persaingan regional.  Akibatnya, Analisis SWOT hanya menjadi salah satu buku yang memenuhi almari Kepala Sekolah.
        Lalu bagaimana jalan keluarnya?  Ya, kembali ke filosofi pendidikannya.  Akreditasi ditujukan untuk meningkatkan kualitas manajemen sekolah agar para guru mampu bersaing secara regional.  Untuk melangkah maju, para guru harus selalu mendokumentasikan capaiannya agar tidak terjadi duplikasi sehingga
para guru dapat terus mengevaluasi diri  dengan model portofolio (memetik pelajaran dari pengalaman proses pemelajaran sebelumnya) , yaitu mampu mengukur hard competency dan soft competency yang ada dalam diri setiap siswa.
        Untuk membuat akreditasi menjadi satu langkah pendahuluan (prerequisite) dalam menuju sertifikasi ISO 9000, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Mendiknas (Permen) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :

(1) Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu manajemen persekolahan, yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru penanggung jawab tiap bidang. Dengan demikian. guru terformulasi untuk tidak hanya terpaku mengajar, tapi juga mengaitkannya dengan Visi dan Misi sekolah (think globally, act locally).
(2). Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.
(3). Dokumen III tentang audit keinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan.

Jadi ada tiga jalan untuk memperbaiki kinerja sekolah dan memacu sekolah-sekolah agar tidak tetap adem ayem yaitu :
(1).  Menerapkan Permen No. 22, No. 23 dan No. 24 tahun 2006 tentang KTSP secara benar (membuat Dokumen I dan Dokumen II secara lengkap) serta melangkapinya dengan Permen No. 19 tahun 2007 tentang MBS dengan sasaran meraih sertifikat ISO 9000.  Bagaimana caranya?  Pihak Yayasan/Komite Sekolah harus membuat laman (website) sekolah yang bersifat inter-aktif dan memuat data guru, silabus serta PBK (penilaian berbasis kelas) seperti yang termaktub dalam PP No. 19 tahun 2005.  Bila Yayasan/Komite Sekolah kurang mampu mengusahakan laman yang membutuhkan bandwidth yang besar dan secara akademik memenuhi kriteria sekolah on-line, maka Yayasan/Komite Sekolah dapat bergabung dengan Oracle Education Foundation untuk mengisi laman Think.com - (laman komunitas pemelajaran inter-aktif internasional dimana para guru, siswa dan orang tua dapat saling berinter-aksi dengan komunitas pendidikan lain di seluruh dunia secara on-line) - yang training-nya gratis dan penyediaan data base-nya tak terbatas.
(2). Menjajaki langkah-langkah untuk memulai penerapan SKS (sistim kredit semester), sebab dengan persiapan menuju ke SKS, pihak Yayasan/Komite Sekolah dan pihak sekolah dipaksa untuk memperbaiki manajemen persekolahan menuju pada penerapan moving class dan MBS.  Dengan demikian, secara prinsipiil, cara pandang dan pola pikir (mind set) semua stakeholders akan berubah, dari menilai/menghakimi siswa (transformatif, generatif dan transmission) menjadi menghargai proses sekecil apapun partisipasi yang ditunjukkan oleh siswa (kognitivisme, behaviorisme dan kontrukstivisme). 
Sistim manajemen akan berubah dari sekedar urusan administrasi sekolah menjadi menajemen pendidikan (MBS).

Tentang Panduan SKS ini dapat dilihat di Kompas, Rabu 25 Agustus 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA, Panduan Sudah Disebarkan - bila anda sudah tidak menyimpan Kompas cetak ini, anda masih dapat mengunduhnya di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5

(3). Mengadopsi kurikulum internasional seperti IB, Cambridge, GAC, dll. sebab dengan diterapkannya kurikulum internasional ini, maka pola manajemennya juga harus disesuaikan dengan tuntutan pemerolehan akreditasinya yang mengacu pada pemenuhan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, bukan sekedar pengajaran yang bermutu.

Lalu bagaimana bila Yayasan/Komite Sekolah atau pihak sekolah tidak berminat untuk meraih sertifikat ISO 9000?  Ada tiga jalan, yaitu :
(1). Mengadopsi pola sekolah alternatif, seperti SD Mangunan di Yogya, yang dirintis oleh alm Romo Y.B.Mangunwijaya Pr. dan mengembangkannya sampai ke tingkat SMP dan SMA.   ...atau
(2).  Membangun sekolah komunitas, seperti yang disyaratkan dalam RUU BHP (Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) dimana semua stakeholders berperan serta dalam menentukan kemajuan dan mutu pendidikan dan pengajaran di sekolah (peran Yayasan menjadi minimalis) .... RUU BHP ini sudah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi), maka ...
(3). Meningkatkan status sekolah dari sekolah reguler menjadi SSN (sekolah standar nasional), syukur kalau bisa ke jenjang RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) dan SBI (sekolah bertaraf internasional) agar manajemen perubahan (change dan challenge) dapat diterapkan secara simultan.

Apapun jalan yang dipilih, sekolah tidak boleh berhenti melangkah atau arus penutupan sekolah-sekolah swasta yang sudah terjadi di desa-desa akan merambah ke sekolah-sekolah swasta yang selama ini dinilai bisa survive.  Mohon diingat bahwa menurut klausul WTO (World Trade Organization) , dunia pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing sehingga kemungkinan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional akan makin besar.

Dimuat di Majalah EDUCARE No. 3/V/Juni 2008 halaman 38-40

SAS, Belenggu Lain Otonomi Sekolah


        Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 22, 23 dan 24 tahun 2006, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menyusun kurikulum pada masing-masing unit pendidikan (sekolah) yang kita kenal sebagai KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan).  Dengan demikian Pemerintah telah menggaris bawahi amanat tut wuri handayani yang mensyaratkan otonomi sekolah dan otonomi guru pada porsi yang tepat.  Hal ini telah saya singgung secara panjang lebar pada tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP;  Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?.
        Maka agak aneh bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, melalui Dinas Dikmenti (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi) menganjurkan penyeragaman sistim pelaporan hasil pembelajaran (bukan proses pemelajaran yang dipentingkan) menurut versi mereka yang disosialisasikan sebagai SAS (Sistim Administrasi Sekolah) tanpa memberi alternatif lain bagi pengembangan otonomi sekolah dan guru.  Sementara BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan Puskur (Pusat Kurikulum) menghindari segala bentuk penyeragaman, justru Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta menggebu-gebu dalam memonolitikkan proses kreatif pemelajaran termasuk sistim pelaporannya yang variatif.
        Sebenarnya gejala ketidak-sinkronan kebijakan Pemda dan Pemerintah Pusat sudah terliaht pada saat Dinas Dikmenti mengabaikan sosialisasi ke-15 langkah penyusunan KTSP sehingga menimbulkan kerancuan cara pandang dan cara pemahaman orang terhadap KTSP.  KTSP lalu dipandang sebagai sekedar urusan administrasi guru dan bukan proses kreatif dalam tataran filosofi pendidikan.  Apa tolok ukurnya?  Maraknya penjualan Silabus dan pencantuman Silabus di buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Jakarta, padahal seharusnya Silabus disusun sendiri oleh guru pada langkah ke 13 dari rangkaian 15 langkah penyusunan KTSP.  Atau masih digunakannya Silabus dari hasil penataran KBK (kurikulum berbasis kompetensi) 2004 di Puncak (Jawa Barat) yang konsepnya sudah jauh berbeda dengan KTSP.  Silabus versi KBK 2004 itu tidak mencantumkan kolom Pengalaman Belajar, yang hanya dapat diperoleh bila guru sudah melakukan Analisis Esensi Materi (langkah ke-6 dari penyusunan KTSP).  Pengisian kolom ini tak bisa direkayasa, karena harus melewati 5 langkah berurut sebelum sampai ke langkah ke-6 itu. 
        Tolok ukur yang lain adalah permintaan Dinas Dikmenti agar KTSP semua SMA dikumpulkan pada bulan Mei 2007 (padahal buku Panduan KTSP yang disusun oleh BSNP baru turun bulan Agustus 2006) sehingga komunitas pendidikan tidak mempunyai kesempatan untuk memahami hakekat dan filosofi dari KTSP, yaitu adanya perubahan paradigma dari kegiatan belajar-mengajar menjadi proses pemelajaran (yang diwujudkan dalam langkah ke-4 dan ke-5 dari proses penyusunan KTSP yaitu Penyusunan Indikator Pemelajaran holistik yang meliputi aspek kognitif (C1 - C6), Psikomotor (P1 - P7), Afektif (A1 - A5) dan Kecakapan Hidup (LS1 - LS6) serta Model Pemetaan Taksonomi dengan perubahan diagnosis dari menghakimi siswa menjadi menghargai siswa (yang dieja-wantahkan dalam langkah ke-16 (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke-17 (Catatan Kompetensi).
        Akibatnya semua SMA mengumpulkan KTSP menurut versi masing-masing, bukan versi BSNP-Puskur-Ditjen Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas) yang mensyaratkan pembuatan Dokumen I KTSP (Isi Pendidikan yaitu penjabaran Visi dan Misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari, strategi untuk mewujudkan visi dan misi sekolah, serta upaya untuk mengatasi kendala yang timbul) dan Dokumen II KTSP (Struktur Kurikulum, Proses Pemelajaran dan Evaluasi serta Keunggulan Lokal) - lihat website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id/  lalu klik Dikdasmen terus klik KTSP.
        Anehnya sekolah yang tidak mengumpulkan KTSP tidak mendapat sanksi apa-apa dari Dikmenti dan sekolah yang sudah memasukkan KTSP-nya juga hanya mendapat masukan atau umpan balik sekedarnya dari Dikmenti (bukan HOT/Higher Order of Thinking dari Model Pemetaan Taksonomi), sehingga perbaikan signifikan tidak terjadi.  Business as usual.  Sekolah berjalan menurut irama dan pola yang lama.  Kalau Dikmenti berkilah bahwa tidak ada format baku KTSP mengingat adanya otonomi sekolah dan otonomi guru, lalu untuk apa Dikmenti mensosialisasikan SAS dan memaksa secara halus agar pihak sekolah mengadopsi SAS?  Dikmenti itu Dinas Pendidikan atau Dinas Persekolahan?  Kalau kepanjangan dari Dikmenti itu adalah Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, lalu untuk apa Dikmenti terjun mengurusi administrasi sekolah?  Dan kekuatiran itu terbukti sekarang, KTSP dianggap sama dengan SAS dan karena itu perumusan kurikulum dianggap hanya tugas administratif saja, sebab evaluasi HOT tidak dikenal sebagai rangkaian akhir dari KTSP.  Akibatnya Dokumen I dan Dokumen II KTSP kehilangan maknanya.  Kompetensi guru (yang akan diuji melalui sertifikasi guru) juga kehilangan rohnya.  UAN (ujian akhir nasional) yang dimaksudkan untuk audit kinerja guru dan sekolah kehilangan relevansinya dengan MBS (manajemen berbasis sekolah).

Mengapa Harus SAS?
        UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 38 ayat 2 mengemukakan azas otonomi sekolah dan otonomi guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri.   Sedangkan isi pasal 39 ayat 1 mengemukakan kewenangan guru untuk melakukan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan; Pasal 39 ayat 2 mengemukakan wewenang guru dalam merencanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran.  Dengan demikian, otonomi sekolah dan otonomi guru dijamin oleh UU dan tak boleh dilanggar oleh Pemda dan Dinas Dikmenti.  Apalgi bila mengacu pada Kep.Mendiknas No. 125/U/2002 pasal 1 disebut bahwa Dinas Provinsi adalah Dinas yang menangani bidang pendidikan di provinsi (bukan bidang persekolahan).  Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa ulangan harian dan ulangan umum merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang diselenggarakan oleh sekolah (tidak ada satu katapun yang menyebutkan bahwa proses dan hasil evaluasi harus dimasukkan dalam bank data Dinas Provinsi melalui SAS).
        Hal kedua yang menjadikan SAS amat mengacaukan hakekat dari KTSP adalah ketidak-sinkronannya dengan proses pembuatan KTSP.  Bila disadari bahwa sekolah dan guru berhak menyusun kurikulumnya sendiri, maka sebagai data base, SAS sama sekali tidak berguna karena setiap guru akan menyusun Indikator Pemelajaran, KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal), Silabus serta item-item dalam Penilaian Berbasis Kelas yang berbeda - dengan perbedaan signifikan ini apakah data base itu dapat dianalisa?    Kalau SAS dari berbagai sekolah sudah berhasil dikumpulkan di data base Dikmenti, so what gitu lho?  Bukankah KTSP dari begitu banyak sekolah yang sudah dikumpulkan sejak Mei 2007 di Dikmenti juga tidak diproses lebih lanjut ke tingkat HOT?
        Kalau tujuan dari SAS adalah untuk pemetaan sekolah, maka hal ini juga merupakan pemborosan karena pihak Depdiknas (Pemerintah Pusat) juga sudah melakukan pemetaan sekolah di seluruh Indonesia yang dapat diakses melalui website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id  lalu klik Peringkat Sekolah dan Direktori Sekolah. 
        Kalau tujuan dari SAS adalah untuk membuat proses pemelajaran menjadi transparan dimana orang tua dan masyarakat dapat memantau kemajuan peserta didik, maka alasan ini juga kurang dapat diterima, mengingat ada begitu banyak sarana-prasaran pendidikan di dunia maya yang dapat dimanfaatkan tnpa mengganggu otonomi sekolah dan guru.  Misalnya : Dinas Dikmenti dapat memberdayakan website sekolah, atau mengoptimalkan jalannya Sekolah On-line Indonesia yang disponsori PT Telkom, atau mendorong keaktifan sekolah-sekolah yang terdaftar dalam laman (website) sch.id yang dikembangkan oleh Depkominfo atau menjalin kerja sama dengan situs pendidikan yang dikelola oleh Oracle Education Foundation yaitu Think.com (http://www.think.com) - kominitas pembelajar maya dimana publik dapat mengakses situs sekolah dimanapun juga di seluruh dunia tanpa memerlukan password.  Semua situs itu sifatnya gratis, tidak seperti SAS yang membebani sekolah sebesar Rp. 40 juta per sekolah.
Bahkan Pengawas di Jakarta Selatan berusaha menakut-nakuti para Kepala Sekolah dengan mengatakan : Kalau tidak ikut SAS, nanti tidak boleh ikut UAN, atau SAS akan diperluas penerapannya sampai ke jenjang SMP?   Lho, dasar hukumnya apa (untuk melanggar otonomi sekolah dan otonomi guru yang dijamin oleh UU Guru dan Dosen) ??
        Kalau tujuan dari SAS adalah membuat proses kreatif pemelajaran dan evaluasi menjadi inter-aktif, maka masih banyak pilihan untuk itu, misalnya SMS (Sistim Manajemen Sekolah) yang diperkenalkan oleh MXL Australia (Maximizing eXcellence in Learning), atau SKS (sistim kredit semester) atau membuat laman (website) Dikmenti sendiri menjadi inter-aktif.  Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan dengan SAS di Dikmenti tidak mematikan proses demokrasi di jantungnya sendiri.   Biarlah sekolah memilih apa yang terbaik menurut mereka sendiri.  Segala bentuk otoritarian harus ditentang di jaman reformasi ini. 

Apa yang harus dilakukan?
        Sebaiknya Dikmenti Provinsi DKI Jakarta kembali ke jati dirinya sebagai Dinas Pendidikan dan bukan Dinas Persekolahan.  Sebagai Dinas Pendidikan, fungsinya adalah mendorong terwujudnya MBS (manajemen berbasis sekolah) dan Sekolah Mandiri.  MBS ini dikukuhkan melalui Permen No. 19 bulan Mei 2007 tapi sampai sekarang tak pernah disosialisasikan. 
        Prinsip dari MBS adalah audit kinerja sekolah yang dewasa ini justru terabaikan, bukan hanya karena adanya ketertutupan dalam pengelolaan keuangan dan adanya ketertutupan dalam proses inter-aksi guru dan siswa di kelas sehingga output atau kualitas pendidikan tak teraudit, akibatnya bimbel (bimbingan belajar) dan les privat makin marak saja di Jakarta.
        MBS juga mengukur kinerja guru sehingga guru termotivasi untuk berprestasi dan terus berinovasi karena semua stakeholders akan memantau pencapaian targetnya.  Akibatnya tidak ada guru yang akan menerapkan metode drill dalam menghadapi UAN atau mengkontrakkan bulan-bulan terakhir dari kelas XII SMA kepada Bimbel untuk mengejar nilai tinggi dalam UAN, karena cara-cara ini merupakan pengkhianatan terhadap proses memanusiakan manusia muda (proses karbitan itu hanya akan menciptakan manusia-manusia yang ingin mencapai hasil instant dan mengabaikan proses (Prof.Dr. N. Driyarkara SJ dalam Pendidikan Nilai-nilai Hidup)
        Sekolah Mandiri bukan hanya mendorong sekolah swasta supaya mandiri secara finansial, tetapi juga mewujudkan otonomi sekolah dan otonomi guru dalam arti yang seluas-luasnya.  Sehingga sekolah dapat didorong untuk mendirikan unit litbang, mempunyai bank soal dan kemampuan menganalisis soal, mempunyai bank data sendiri (mampu mengelola data base sendiri) dan merealisir website sekolah yang inter-aktif.  Dengan demikian, Dikmenti tidak usah bersusah payah mengorganisir bank data atau data base sekolah melalui SAS.
        Jadi mengutip Dr. Mochtar Buchori dalam temu darat Forum Pembaca Kompas tanggal 1 September 2007 yang lalu, sebaiknya Dikmenti berkonsentrasi mengurus difokuskannya kurikulum (KTSP) pada 6 wilayah makna, yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis sehingga KTSP tidak direduksi menjadi sekedar masalah administrasi (SAS).  Dengan demikian, mengacu pada Questioner BAS (Badan Akreditasi Sekolah) dalam butir No. 54 dari Evaluasi Diri, sekolah dapat menyebutkan berbagai alternatif penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat tidak hanya melalui SAS, tetapi juga melalui website-nya sendiri atau melalui media sekolah on-line yang lain.  Sekali lagi, penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat bukan monopoli Dikmenti Provinsi DKI Jakarta (padahal sampai sekarangpun data itu tidak pernah bisa diakses oleh para orang tua murid - tidak sesuai dengan janji Dikmenti dulu) dan data base sekolah yang sudah dipunyai Depdiknas (Pemerintah Pusat) hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal.
        Kekacauan yang ditimbulkan oleh SAS tidak cukup diredam dengan memutasikan pejabat yang bersangkutan, lalu meralatnya menjadi sekedar langkah awal menuju e-education, tapi lebih baik bila grand design Depdiknas (Pemerintah Pusat) dipahami secara benar oleh Pemda dan pihak Komite Sekolah atau Yayasan.  Apa wujud grand design itu?

Memahami grand design pendidikan kita
        Penerapan otonomi sekolah dan otonomi guru diwujudkan dalam kemandirian guru dalam menyusun kurikulum yang kita kenal sebagai KTSP.  Bila mengacu pada Bloom, maka ada 15 langkah penyusunan KTSP yang akan menghasilkan HOT (Higher Thinking Order) sesuai dengan Model Pemetaan Taksonomi.
        Untuk dapat menyusun kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan (buka silabus yang asal contek), maka guru harus benar-benar profesional (guru harus lulus program sertifikasi guru dan menjadi tenaga profesional, guru berhak mendapat tunjangan profesi per bulan).  Selama ini guru hanya mendapat tunjangan fungsional (itupun tidak semua sekolah memberikannya) dan Kepala Sekolah/Wakil Kepala Sekolah atau Wali Kelas hanya mendapat tunjangan jabatan.
        Program sertifikasi guru hendaknya tidak dipahami sebagai sekedar ujian profesi tapi lebih dari itu, yaitu uji kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan "keharusan belajar secara terus menerus" (long life education).  Banyak guru sekarang ini mandeg secara akademis.
        KTSP adalah perencanaan guru menuju HOT (Higher Order of Thinking) bukan sekedar persiapan mengajar guru di kelas.  Oleh sebab itu, manajemen sekolah harus dibenahi melalui MBS, karena KTSP menuntut perubahan-perubahan paradigma seperti yang telah saya uraikan dalam tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP;  Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?
        Audit kinerja guru diukur melalui UAN (national exam) dan audit kinerja sekolah dinilai melalui akreditasi sekolah.  Jadi tidak perlu takut dengan UAN karena menurut PP No. 19 tahun 2005 tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan, yang diuji adalah batas minimal dari target pencapaian kurikulum.  Bukankah kita telah menjalaninya secara mulus pada Kurikulum '75 dulu, yang juga mengujikan banyak mata pelajaran?   Dan tidak perlu tergopoh-gopoh bila mau diakreditasi, karena sebenarnya 184 isian Evaluasi Diri dari BAS yang dipergunakan sebagai acuan dalam akreditasi sekolah adalah pendokumentasian kegiatan sehari-hari di sekolah dan bila MBS dijalankan dengan betul, maka sekolah akan mudah memenuhi kriteria Sekolah Standar Nasional (SSN).
          Sekolah-sekolah yang gurunya telah lulus program sertifikasi guru dan berhasil membuat KTSP sampai ke tingkat pemahaman HOT, serta telah menerapkan MBS, dapat meneruskannya ke moving class, yang selanjutnya menuju pada penerapan SKS (sistim kredit semester).   Apakah ada contoh untuk hal ini?  Ada. JIS (Jakarta International School) di Narogong, Jakarta Selatan.  Tapi itu kan sekolah internasional.  Apa ada contoh dari dalam negeri?  Ada. TK Kepompong di kemang, Jakarta Selatan atau SD Kanisius Mangunan di Yogya dan Sekolah Citra Berkat di Surabaya.
         Berdasarkan pengalaman ini, lain kali pihak yayasan/Komite Sekolah harus secara tegas menolak hal apapun yang bertentangan dengan prinsip KTSP.  SAS memang telah diendapkan akibat tentangan dari SMA Kanisius, SMA St.Ursula, SMA Regina Pacis dll, pejabat yang bersangkutan telah dimutasi, tetapi kerancuan yang timbul mungkin tidak pernah dapat diperbaiki lagi.  Lebih baik, Yayasan/Komite Sekolah berkonsentrasi menghadapi persaingan global dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional dimana-mana untuk persaingan di tingkat atas (elite) dan bertumbuhnya sekolah semacam Citra Berkat di tingkat menengah ke bawah.

Dimuat di Majalah EDUCARE, No. 2/V/Mei 2008 halaman 41-44

Perdebatan panjang soal SAS ini dimuat di Wikimu : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8930



    

Kamis, 29 September 2011

SEHABIS KTSP LALU APA ? SKS ! Penguasaan Kurikulum, MBS dan Sekolah Mandiri dalam Satu Tarikan Nafas


        Dalam tulisan Yang Terlewatkan dari KTSP di EDUCARE edisi lalu, saya telah menguraikan secara panjang lebar kesalah-pahaman yang terjadi di seputar pelaksanaan KTSP.  Kesalah-pahaman itu mulai dari libur pada hari Sabtu (meskipun guru-guru selalu mengeluh kekurangan waktu untuk menyelesaikan seluruh agenda yang termaktub dalam Standar Kompetensi) sampai penjualan silabus yang marak di toko-toko buku (padahal seharusnya silabus dibuat sendiri oleh guru setelah menyelesaikan langkah ke 13 dalam penyusunan KTSP oleh guru yang bersangkutan itu sendiri).
        Kesalah-pahaman itu juga mulai dari masih diberlakukannya sistim rangking (padahal penilaian harus mencakup aspek holistik - kognitif, psikomotorik, afektif dan kecakapan hidup (life skill) - IQ dan EQ/EI - yang tidak mungkin mampu ditunjukkan performance-nya secara prima oleh seorang siswa/beberapa siswa saja - sebarannya pasti merata) sampai pada masih adanya penghakiman untuk kemampuan belajar siswa (masih ada siswa yang tidak naik kelas) - lalu untuk apa program remedial diselenggarakan dan untuk apa guru harus mengubah strategi pembelajaran pada langkah ke 7 dari penyusunan KTSP bila siswa gagal memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal)?
        Kesalah-pahaman itu juga mulai dari guru yang masih aktif memberikan ceramah (padahal model, strategi dan metode pembelajaran harus sudah dirumuskan dalam Model Pemetaan Taksonomi - langkah ke 5 dalam penyusunan KTSP) sampai pada kesalah-kaprahan fungsi BK sebagai tempat penyaluran siswa bermasalah, bukan sebagai tempat siswa untuk merencanakan studi lanjut dan menyiapkan diri untuk bekerja bila tak bisa studi lanjut melalui pendalaman materi pada kecakapan hidup (life skill).
      Bahkan yang paling fatal adalah munculnya pemahaman bahwa KTSP itu adalah mainan Menteri baru (ganti Menteri ganti kurikulum), tanpa melihat bahwa KTSP terdiri dari dua dokumen yaitu Dokumen I tentang Isi Pendidikan dan Dokumen II tentang Kurikulum, Proses Pembelajaran dan Evaluasi, Sarna dan Prasarana Sekolah dan Buku Ajar.  KTSP juga tidak berdiri sendiri, karena KTSP juga menuntut kompetensi guru yang dieja-wantahkan dalam Program Sertifikasi Guru, sehingga kualitas guru dapat terpantau (tidak semua orang yang tidak laku di pasar kerja dapat menjadi guru).
        Meskipun kesalah-pahaman di atas lazim terjadi, namun pihak Depdiknas dan Komite Sekolah nampaknya menutup mata.  Hal ini mungkin disebabkan karena banyak pihak tidak mengerti grand design dari arah pendidikan kita : "mau kemana arah pengembangan pendidikan ini?"  Banyak pihak tidak mengerti bahwa KTSP adalah revolusi dalam dunia pengajaran monoton di negara ini.
        Dengan demikian, KTSP hanya bisa diberlakukan bila Sekolah atau Yayasan : (1) sudah membentuk Tim Ahli/Litbang untuk menyusun rancangan Dokumen I dari KTSP, lalu (2) para guru sudah menyerahkan kelima belas langkah penyusunan KTSP yang disebut draft dan kemudian (3) draft ini direvisi oleh Tim Ahli/Litbang sehingga sesuai dengan Visi dan Misi Sekolah, dan dari proses ini akan dilahirkan Dokumen II dari KTSP, selanjutnya naskah final Dokumen II disandingkan dengan rancangan Dokumen I, lalu (4) diverifikasi oleh Komite Sekolah sehingga seluruh Dokumen KTSP sesuai dengan acuan tipe Sekolah Mandiri. (sumber : website Depdiknas : www.depdiknas.go.id lalu klik KTSP).  Sekolah-sekolah yang belum mencapai kriteria Sekolah Mandiri supaya merencanakan secara terprogram langkah-langkah untuk mencapai kriteria itu.
        Apa kelengkapan mutlak dari KTSP?  Pembenahan manajemen sekolah.  Pemerintah sudah mensosialisasikan MBS (manajemen berbasis sekolah) bersamaan dengan dicanangkannya kurikulum 1994, namun gaungnya tertutup hiruk pikuknya proyek penataran kurikulum 1994.  Sebagai langkah lanjut, Pemerintah juga mensosialisasikan tipe Sekolah Mandiri bersamaan dengan diluncurkannya kurikulum 2004 (KBK).  Namun banyak pihak lebih terpaku pada kurikulum baru ini dan mengabaikan pembenahan manajemen sekolah dan audit kinerja sekolah sehingga upaya untuk menuju ke tipe Sekolah Mandiri terlewatkan.

Memahami grand design pendidikan
        Setelah pencanangan audit kirnerja sekolah melalui MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) pada tahun 1994, yang diikuti sosialisasi tipe Sekolah Mandiri pada tahun 2004, lalu disusul dengan ide mengenai lulusan yang kompeten atau lebih berkualitas melalui penyusunan kurikulum yang disertai dengan upaya meningkatkan kompetensi guru melalui Program Sertifikasi Guru (yang dilandasi UU Guru dan Dosen), sebenarnya kemana arah pendidikan kita? SKS

(Lihat di Kompas, Rabu 25 Agusuts 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA - Panduan Sudah Disebarkan) Bila anda sudah tidak mempunyai Kompas cetaknya, artikel itu dapat diunduh di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5
(Artikel di Kompas ini muncul dua tahun setelah tulisan saya ini, artinya prediksi saya dua tahun sebelumnya adalah tepat)

        Dalam SKS (Sistim Kredit Semester) dibutuhkan :
(1) Kemampuan guru untuk menyusun kurikulum sendiri yang sudah diawali dengan KTSP
(2) Kompetensi guru yang akan diuji melalui program sertifikasi guru (tidak semua bisa menjadi guru - guru adalah profesi dan oleh karena itu dituntut untuk bersikap profesional)
(3) Kinerja sekolah harus dapat diukur sehingga audit persekolahan dapat termonitor.  Hal ini merujuk pada pembenahan seluruh aspek persekolahan, bukan saja pada perbaikan sistim administrasi dan manajemen keuangan sekolah tapi juga pada penerapan merit sistim dan pengembangan atmosfer ilmiah di lingkungan sekolah.
(4) Infrastruktur sekolah yang mengacu pada tipe Sekolah Mandiri, bukan saja pada kelengkapan sarana dan prasarana fisik dan non fisik, tapi juga pada proses pembelajaran mandiri sehingga sekolah dimungkinkan untuk menjadi sekolah pembelajar (moving class).

Yang Tak Tersentuh
        Konsep moving class nampaknya tak pernah dilirik oleh kebanyakan sekolah swasta.  Mungkin karena penerapan konsep ini secara infrastruktur jauh lebih mahal dari sekolah konvensional.  Dalam sekolah konvensional, pihak Yayasan cukup menyediakan ruang kelas, satu lab komputer, dan tiga lab sains (fisika, kimia dan biologi), tapi dalam moving class, setiap kelas harus dilengkapi dengan fasilitas keilmuan yang diampu guru bidang studi. Bayangkan berapa banyak fasilitas yang harus disediakan per ruang.  Belum lagi kalau dihitung banyaknya ruang kelas yang harus disediakan.  Bila satu hari sekolah terdiri dari 8 jam pembelajaran, maka dalam satu hari hanya dimungkinkan 4 kali pergantian siswa per ruang.  Itu berarti dibutuhkan dua kali jumlah ruang kelas konvensional.
        Masalah lainnya adalah kerumitan pengaturan manajemen pergerakan siswa dan pembagian tanggung jawab ruang kelas serta ketersediaan almari siswa (locker) yang aman.  Dari segi fasilitas, moving class memang lebih mahal.  Belum lagi dari segi konsep, penerapan moving class harus dilandasi kefasihan penguasaan MBS (manajemen berbasis sekolah) sehingga kinerja sekolah bisa teraudit secara tranparan dan visi Sekolah Mandiri dapat terwujud dengan elegan.
        Dari segi pedagogis, moving class membutuhkan rekam jejak kemajuan proses pembelajaran siswa (portofolio), sesuatu hal yang diabaikan dalam kelas konvensional, yang misalnya tercermin dalam kesalah-pahaman guru konvensional tentang program remedial.  Remedial hanya diberlakukan bagi siswa-siswi yang kurang pandai secara kognitif - penilaian beraspek holistik hanya slogan di kelas-kelas konvensional.  Padahal dalam moving class, penilaian tidak boleh hanya menyangkut aspek kognitif, sebab PBK (Penilaian Berbasis Kelas) mempunyai tolok ukur yang menyentuh seluruh aspek kemampuan dan kepribadian siswa.
         Dengan kata lain, moving class memang sangat merepotkan pihak Yayasan dan para guru di lapangan, ditambah dengan kosnep : "Dengan begini saja (tanpa perlu neko-neko) sudah banyak yang mendaftar.  Moving class?  EGP (emangnya gue pikirin)?".

Lalu Apa?
        Revitalisasi dunia pendidikan swasta.   Banyak orang tua dahulu menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah swasta Katolik karena tiga hal : kualitas, pendidikan budi pekerti dan disiplinnya.  Maka revitalisasi pendidikan swasta harus menyentuh ketiga aspek itu.
(1) Kualitas.  Bagaimana kualitas bisa terjaga bila orang yang melamar menjadi guru terus menerus menurun mutunya baik secara akademik maupun secara psikologis?  Apa tolok ukurnya?  Kebingungan guru-guru muda menghadapi soal-soal Olimpiade Sains.   Dengan kata lain, penguasaan materi sangat rendah.  Itu sebabnya program enrichment (pengayaan) tidak pernah berjalan di sekolah-sekolah swasta.  Lalu bagaimna jalan keluarnya?  Pihak Yayasan harus sungguh-sungguh menyiapkan terbentuknya Litbang yang secara khusus berupaya agar setiap guru selalu mengembangkan dirinya.  Merit sistim harus diterapkan.  Penjenjangan karier guru harus mulai dirumuskan, mulai dari guru muda (asisten guru/guru bantu), guru madya sampai ke guru koordinator/guru senior dengan kriteria kepangkatan yang jelas - tidak boleh lagi diterapkan sistim penggajian PGPS (pinter goblok penghasilan sama).
(2) Pendidikan budi pekerti.  Pendidikan Agama bukan pendidikan budi pekerti.  Bekal pendidikan Agama yang cenderung bersifat kognitif telah menghancurkan nilai-nilai humaniora itu sendiri.  Lalu mesti bagaimana?  Pendidikan nilai harus dirumuskan secara operasional - sudah banyak metode di Fak. Psikologi yang dapat diadopsi untuk membuat pendidikan nilai itu menjadi operasional, terpantau dan terukur.  Bapak Fidelis Waruwu (Fak. Psikologi Untar) beberapa kali mengulasnya di Majalah HIDUP.
(3) Disiplin.  Disiplin bukan hanya ketepatan waktu kedatangan (guru sama sekali tidak boleh terlambat karena dia adalah teladan siswa) tetapi juga cepat mengkoreksi ulangan dan cepat membagikannya ke siswa, tetpat dalam menganalisis soal (masih sering terjadi, soal-soal yang diberikan hanya copy paste dari buku-buku soal yang banyak dijual di pasaran dan kemudian setelah diujikan, tak pernah dianalisis) dan mempunyai target yang jelas dalam remedial dan pengayaan (enrichment).  Lalu bagaimana kalau kita kedodoran dalam administrasi pengajaran?  Merevitalisasi peran Komite Sekolah dan memfungsikan secara jelas peran supervisi dalam kehidupan persekolahan.  Yang berhak melakukan supervisi guru bukan hanya Kepala Sekolah dan Yayasan, tapi juga Komite Sekolah.  Dengan demikian, guru akan terpola untuk berdisiplin karena seluruh stakeholders memantau dan menilainya.

Apa yang dituju?
      Penerapan SKS ini akan membuat guru dan siswa mandiri dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat merencanakan sendiri studinya dan hal itu akan membuat kehidupan persekolahan menjadi dinamis serta menjadikan kegiatan belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan, tak menjadi beban bagi siswa.  Tak ada lagi kegiatan les dan bimbel (bimbingan belajar).  Hasilnya :
(1) Kita mengarah pada kegiatan long life education.
(2) Kita menghargai prestasi seseorang, bukan orangnya (kita menghargai ketekunan dan capaian seseorang).  Kita akan belajar mendengar apa yang dikatakan seseorang, bukan siapa yang mengatakannya.
Dengan penerapan SKS ini, kita sedang merenda bangsa ini menjadi bangsa pembelajar dan bangsa pekerja keras yang menghargai merit sistim sejak usia dini.

Dimuat di Majalah EDUCARE  No. 6/IV/September 2007  halaman 36-38

YANG TERLEWATKAN DARI KTSP, Strategi bagi Sekolah-sekolah Kita


Alur Pijakan
        KTSP sudah diberlakukan mulai bulan Mei 2006 dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas (Permen) No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; Permen No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; dan Permen No. 24 tahun 2006 mengenai Pelaksanaan Permen No. 22 dan No. 23 tahun 2006.
        Pada Permen No. 24 itu dengan jelas dinyatakan bahwa BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) bertugas menyusun Panduan Penyusunan KTSP dan tugas ini telah dirampungkannya pada bulan Juni 2006.  Oleh sebab itu Pusat Kurikulum (Puskur) Depdiknas telah mengedarkan Contoh Pembuatan KTSP pada bulan Agustus 2006.  Dengan demikian rangkaian peletakan dasar untuk penyusunan kurikulum baru yang berpijak pada Otonomi Sekolah dan Otonomi Guru telah diletakkan pada dasar filosofis yang benar, karena dasar pijakannya adalah : Permen No. 22 Pasal 1 ayat 1 : Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Ketentuan ini sejalan dengan Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 : Satuan Pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan Standar yang Lebih Tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Permen No. 22 dan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana diatur dalam Permen No. 23 tahun 2006.

Apa yang Salah?
        Meskipun dalam Panduan Penyusunan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP jelas-jelas dinyatakan wewenang dan hak guru dijamin dan dengan demikian otonomi guru sungguh-sungguh ditegakkan (halaman 21 tentang Pengembangan Silabus), namun ada beberapa hal yang perlu dicermati : Para guru akan ditatar ergesa-gesa karena tahun ajaran baru sudah dimuali sejak bulan Juli 2006 dan Dinas Pendidikan di daerah belum mempunyai pegangan untuk memandu sekolah-sekolah di daerah.
        Akibatnya mereka bisa mengacaukan arti Standar Kompetensi, Dasar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.  Akan ada banyak guru salah menafsirkan apa yang dimaksud dengan Kompetensi Dasar (KD).  Kompetensi Dasar bisa menjadi acuan tertinggi sehingga para guru tidak lagi berusaha mengembangkan kurikulum yang lebih tinggi standarnya.  Hal ini sudah termonitor di banyak daerah.
        Meskipun Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa Satuan Pendidikan dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP, namun para guru bisa jadi hanya meng-copy apa yang tercantum dalam Kompetensi Dasar yang telah disusun oleh Puskur.  Para Pengawas/Penilik Sekolah juga bisa salah menafsirkan bahan yang telah disusun oleh Puskur (yang sebenarnya hanya merupakan contoh KTSP) lalu menganggap bahan ini sebagai bahan acuan.  Para Penatar bisa mencampur adukkan Jam Pembelajaran dan Beban Belajar Sekolah Kategori Standar dan Sekolah Kategori Mandiri.  Hal ini juga sudah termonitor di banyak daerah.
        Meskipun sudah dinyatakan dengan jelas pada halaman 14 Pengembangan Silabus : Pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran dapat dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap, namun kerancuan tetap terjadi pada penentuan jumlah jam belajar (beban belajar) per minggu yang dipatok harus 32 jam + maksimal 4 jam per minggu untuk SMP dan 37 jam + 4 jam per minggu untuk SMA.  Bila ketentuan ini diterapkan maka hal ini sunguh-sungguh melanggar azas otonomi sekolah dan justru bertentangandengan filosofi diterapkannya KTSP itu sendiri.
        Padahal yang seharusnya diartikan dari halaman 14 itu adalah : Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran  pada sistim paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam stgruktur kurikulum.  Satuan Pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.  Jadi bila jam pembelajaran Matematika dalam struktur kurikulum tertera 3 jam pelajaran per minggu, maka sekolah berwenang menambah maksimum 4 jam sehingga jam pelajaran Matematika itu menjadi 7 jam per minggu.  Hal ini sesuai dengan isi Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa sekolah dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP.
        Para guru bisa salah mengartikan alokasi waktu.  Alokasi waktu dainggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak boleh diubah-ubah lagi.  Meskipun dengan jelas dinyatakan dalam halaman 26 Pengembangan Silabus : Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan PERKIRAAN WAKTU RERATA untuk menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam, namun tetap saja alokasi waktu dipatok mati seperti contoh yang disusun oleh Puskur.
        Yang lebih fatal lagi, para penatar tidak menguasai prinsip dari remedial dan enrichment.  Siswa yang mengikuti program remedial bukan mereka yang berada di rangking bawah dan siswa yang mengikuti program enrichment bukan mereka yang menduduki rangking atas, karena menurut ketentuan yang tercantum pada halaman 25 Pengembangan Silabus : Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.   Dengan demikian, siswa yang telah mencapai kompetensi dasar (minimal) tidak perlu mengikuti program remedial  meskipun ia berada di rangking bawah.
        Dan yang lebih serius lagi, banyak penatar yang telah menggunakan silabus tertentu, meskipun tidak melakukan analisis Delphi.  Jadi silabus ditentukan lebih dahulu, baru kemudian disusun indikator untuk menilai pencapaian kompetensi dasar.  Akibatnya, banyak guru dan birokrat pendidikan terjebak pada pola lama yaitu hasil test/ulangan/ujian merupakan satu-satunya penentu kenaikan kelas atau kelulusan siswa.
        Padahal menurut ketentuan yang tercantum di halaman 24 Pengembangan Silabus : Penilaian dilakukan dalam bentuk tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio dan penilaian diri, sehingga mengacu pada butir 4 diatas, maka kurikulum baru ini tidak mengenal kata tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, malahan siswa yang pandai dapat loncat kelas.  Bukankah penilaian mencakup segala aspek dan holistik?
         Tengoklah ketentuan dalam halaman 25 : Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut.  Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya dibawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
       
Mengapa Siswa Harus Naik Kelas atau Lulus Sekolah?
        Pada prinsipnya proses pendidikan merupakan proses pendampingan, meminjam istilah Prof. Dr. Driyarkara SJ : Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia muda, sehingga kegagalan dalam menuai hasil merupakan kegagalan pendidik.  Alasan lain yang menjadi dasar filosofi dari KTSP untuk menaikkan atau meluluskan siswa adalah kurikulum nasional ini sudah mengacu pada langkah-langkah desain kurikulum internasional yang menjamin kesinambungan proses pembelajaran dan sesuai dengan program Pemerintah : Wajib Belajar 9 tahun, yaitu : (1) Analisis Kurikulum; (2) Penjabaran Bahan Ajar (Materi Pelajaran); (3) Perumusan Kata Kerja Operasional; (4) Penyusunan Indikator; (5) Model Pemetaan Taksonomi (termasuk penetuan Model, Metode dan Strategi Pembelajaran); (6) Analisis Esensi Bahan Ajar (Materi Pelajaran); (7) Strategi Penyelesaian Masalah;(8) KKM; (9) Perhitungan Alokasi Waktu Riil Setahun; (10) Analisis Delphi - alokasi waktu belajar; (11)  Prota; (12) Prosem; (13) Silabus; (14) Kontrak Belajar; (15) RPP.

Penilaian Berbasis Kelas
        Apa prasyarat untuk dapat menguasai kelima belas langkah di atas?  Guru harus mampu menyusun Bahan Ajar (materi pelajaran) yang inter-aktif (PAIKEM).  Dengan kata lain, para guru harus menguasai MacroMedia Flash dan pembuatan film bahan ajar.  Untuk penguasaan MacroMedia Flash, pihk UMN (Univ. Multimedia Nusantara) Jakarta menyediakan program pelatihan gratis untuk guru-guru; begitu juga untuk penguasaan pembuatan film, pihak Datascrip (Canon) bekerja sama dengan Acer juga mengadakan road show pelatihan gratis untuk guru-guru dan siswa.  Sudah bukan jamannya lagi para guru membuat presentasi dengan Power Point.  Jadi guru juga harus terus menerus belajar (long life education), guru adalah perwujudan dari ajaran Ki Hajar Dewantara : Tut wuri handayani.
        Bagaimana bila para guru sudah terlalu sibuk dan beban mengajarnya padat?  Pihak Yayasan atau Komite Sekolah dapat menyiapkan bahan siap pakai seperti : ensiklopedia elektronik : Encarta yang dikeluarkan oleh PT Microsoft atau membeli program IBM : EXCITE (Exploring Interest in Technology and Engineering) terutama melalui kelengkapan pembelajaran Try Science Site atau bergabung dengan sekolah on-line yang dikelola oleh Oracle Foundation : Think.com

Karier Guru
        Apapun program yang akan diambil, namun prasyarat utama adalah guru harus menjadi lebih kompeten.  Untuk ini alangkah baiknya bila pihak Yayasan atau Komite Sekolah memperhatikan karier seorang guru yang kompeten melalui penjenjangan : guru bantu (teaching assistant), guru muda (teacher), guru madya (teacher coordinator), dan guru utama (supervisor) sehingga kompetensi guru terapresiasi seperti halnya yang berlaku di dunia internasional.  Pihak Yayasan tidak dapat lagi menerapkan sistim penggajian PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) atau para guru yang kompeten ini akan dibajak oleh sekolah lain. 

Jalan Keluar (Re-code DNA sekolah-sekolah )
        Pengurus Yayasan atau Komite Sekolah, para Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, konselor dan Koordinator MGMP hendaknya diberi kesempatan untuk mengikuti program training disain kurikulum.  Program ini dapat diikuti di P3G Bandung, Sampoerna Foundation, Provisi Education atau memanggil staf Puskur Depdiknas.  Kenapa di lembaga-lembaga ini ?  Karena tidak satupun FKIP di Indonesia yang mempunyai Jurusan Disain Kurikulum.  Rupanya kurikulum tak pernah dianggap penting, bahkan oleh FKIP sekalipun.  Memang ada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, tapi yang dipelajari bukan cara mendisain kurikulum, yang dipelajari adalah PAKEM dan PAIKEM (satu bagian kecil dari cara mendesain kurikulum).
Setelah mengikuti training kurikulum, sekolah dapat merancang kurikulum yang solid dan dapat diakui secara internasional melalui sertifikasi IB, Cambridge atau GAC.  Apa tujuannya?  Bila dikelak kemudian hari, ada perubahan kurikulum lagi, sekolah tidak usah tergopoh-gopoh menyesuaikan diri, karena kurikulumnya sudah berstandar internasional.
        Pihak Yayasan atau Komite Sekolah hendaknya membentuk Badan Litbang, yang bertugas menyusun Dasar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Silabus (melalui analisis Delphi) serta melakukan analisis konteks, pengembangan silabus berkelanjutan serta pembuatan bank soal.
Para guru hanya dibebani tugas menyusun RPP saja. Dengan demikian para guru dapat terfokus pada peningkatan kompetensi siswa.
        Setelah para guru sungguh-sungguh mengerti filosofi KTSP (guru berusaha menjadi lebih kompeten), maka hendaknya mereka diajukan untuk mengikuti ujian sertifikasi guru dan ujian profesionalitas guru sesuai dengan ketentuan yang tersurat dalam UU Guru dan Dosen. Lalu merit sistim dapat diterapkan.  Dengan demikian, sekolah-sekolah dapat menjadi agen perubahan dan merevitalisasi dunia pendidikan dan pengajaran di tanah air.


Dimuat di Majalah EDUCARE No. 4/IV/Juli 2007 halaman 37-39

Rabu, 28 September 2011

GURU ITU PROFESI atau PANGGILAN?


           Menarik sekali kalau kita menelusuri alasan IKIP pada tahun 1992 dibubarkan.  Meskipun ada keputusan legal sebelumnya bahwa orang berijazah kesarjaan apapun dapat diterima menjadi guru asalkan ia mempunyai Sertifikat Mengajar (Akta IV), namun isu "menjadi guru itu sulit atau mudah" tetap menjadi perdebatan.  Guru itu profesi atau panggilan?  Guru itu sekedar mengajar atau mendidik?  Guru itu mengarahkan siswa pada pencapaian akademik atau membentuk manusia seutuhnya? 
           Pihak yang pro dengan pembubaran IKIP berargumen, kalau guru dibebani juga dengan kewajiban mendidik, lalu dimana peran orang tua, agamawan, konselor dan masyarakat dalam pendidikan?   Selain itu menjadi guru adalah tugas profesional, maka kompetensi penguasaan materi ajar menjadi prasyarat mutlak untuk dapat diangkat menjadi guru.  Kewajiban guru adalah mengajar secara profesional, dan dengan demikian menuntut para orang tua, agamawan, konselor dan masyarakat agar mereposisikan diri dalam menghadapi globalisasi ini. 
            Sedangkan pihak yang pro dengan ide menjadi guru itu adalah panggilan memprasyaratkan guru harus berdedikasi, berdisiplin dan berkesadaran diri untuk mau dan mampu menjadi panutan siswa.  Mereka mendasarkan diri pada tanggung jawab keguruan yang menyangkut tujuan holistik pendidikan yaitu membentuk manusia seutuhnya (memanusiakan manusia muda).  Menjadi guru itu tidak sekedar mengajar tetapi juga mendidik.  Maka menjadi guru dan menjalaninya secara konsisten itu cukup sulit, sehingga tidak setiap orang dapat dianggap sebagai guru.

Mengejar Angin
             Masalahnya perdebatan itu tidak menyentuh hal yang mendasar yaitu penghargaan profesi dan pemuliaan panggilan guru.  Kalau guru itu cukup kompeten sehingga cukup layak untuk lebih dihargai (sesuai UU Guru dan Dosen), guru terganjal oleh model penggajian PGPS (pinter goblok penghasilan sama).  Sedangkan kalau guru itu cukup menghayati panggilannya dalam membentuk manusia seutuhnya, tempatnya dalam masyarakat tidak ada dan tidak pernah diupayakan ada.  Tengoklah, banyak keputusan strategis pendidikan dan keguruan yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional, DPR RI dan Yayasan diambil tanpa melibatkan guru.
             Hal ini menunjukkan, hasil kerja dan dedikasi guru tidak pernah dihargai, baik secara struktural yang tercermin dari sukarnya guru merintis karier akademis di sekolah (data BPS tahun 2005, belum ada guru yang mencapai golongan IV C) maupun secara profesional yang terlihat dari tidak diakuinya ijazah siswa di jenjang menengah untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi tanpa test/ujian masuk.  Ijazah SLTA dianggap tidak pernah ada, karena PT (perguruan tinggi) secara resmi dan terbuka menyelenggarakan test/ujian masuk tersendiri.
            Yang lebih memprihatinkan, banyak PT mengabaikan proses belajar-mengajar di SLTA karena menyelenggarakan test/ujian masuk (penerimaan mahasiswa baru) pada saat siswa masih belum dinyatakan lulus SLTA. Siswa dapat berstatus "mahasiswa" meskipun belum menyelesaikan semester pertama kelas XII.  Celakanya fenomena ini menjalar pada SMP dan SMA yang berburu siswa jauh sebelum ujian akhir sekolah.  Hal ini telah mendekonstruksi seluruh sistim nilai dan misi persekolahan.
            Paradoks lain ialah pengkotakan masalah pendidikan dengan mengabaikan peran serta filsafat pendidikan sehingga membuat kening berkerut bagi para penganjur home schooling dan pendidikan berbasis masyarakat.  Mereka selalu mendengungkan : orang tua adalah pendidik utama dan pertama bagi anaknya, sehingga jangan serahkan anak-naka pada sistim pendidikan yang uniform, membelenggu kebebasan anak dan memasung kreativitas lewat indoktrinasi dan budaya paternalistik dalam sekolah.  Para pendukung "pendidikan yang membebaskan" dan "pendidikan yang mencerahkan" yang dipelopori oleh Paulo Freire ini menganggap, semua orang tua adalah pendidik (guru) bagi anak-anaknya sehingga seharusnya menjadi guru adalah panggilan semua orang tua.  Jangan menakut-nakuti mereka dengan mengatakan bahwa menjadi guru itu sulit.  Maka pertanyaannya :  "Dimana letak kesukaran untuk menjadi guru?  Mengapa profesi guru itu dipandang cukup sukar?  Apa yang membuatnya dipandang cukup sukar?"
             Untuk menjawab pertanyaan "dimana letak kesukaran untuk menjadi guru?" , marilah kita menelusuri rekam jejak (track record) dari lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) di IKIP/FKIP.  Filosofi dibalik pembubaran IKIP sudah kadaluwarsa untuk dibicarakan, karena debat itu telah terjadi 20 tahun yang lalu.  Kenyataan IKIP dibubarkan, menunjukkan bahwa profesi guru bukan lagi dipandang sebagai profesi keahlian yang memerlukan persiapan khusus, seperti perawat, notaris, pustakawan, dll. Siapa saja bisa menjadi guru asalkan mempunyai ijazah yang sesuai dengan bidan yang diajarkannya ditambah dengan sedikit pengetahuan didaktik-metodik (Akta IV).  Jadi masalah sukar tidaknya menjadi "guru yang mumpuni" terletak pada penguasaan materi yang diajarkan yang dipupuk lewat tradisi ilmiah (membaca, menulis dn meneliti) yang membuat profesi guru menjadi dinamis (guru yang bersemangat pembelajar) sehingga menjadikannya sebagai agen perubahan (agent of change).
             Sebenarnya hal ini dituntut oleh semua profesi yang harus berjuang secara ketat dalam persiangan global ini.  Misalnya, pada dunia kewartawanan.  Apakah wartawan harus lulusan pendidikan jurnalistik atau ilmu komunikasi ataukah mereka adalah sarjana dari berbagai bidang ilmu yang dibekali dengan training jurnalistik?  Sebab wartawanpun dituntut menguasai bidang ilmu yang digelutinya sehingga dapat menyajikan berita secara akurat dan mendalam kepada pembacanya dan menjadikan medianya mencerahkan masyarakat.   Para wartawanpun juga dituntut meng-update pengetahuannya atau medianya akan ditinggalkan pembacanya. 
           Jadi apa yang menjadi persoalan dengan anggapan bahwa semua orang bisa menjadi guru yang dinamis?  Apakah menjadi seorang "guru yang mumpuni" itu sukar?  Apakah semangat pembelajar itu tidak bisa dipupuk, dilatih dan diinternalkan?  Semangat inilah yang membedakan citra seorang "guru biasa" dan seorang dosen.  Melalui KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dimana guru harus merancang kurikulum sendiri, sebenarnya guru diangkat menjadi sama harkat dan martabatnya dengan seorang dosen, yaitu menguasai serta mampu mengembangkan model-model pembelajaran sendiri, bukan untuk memenuhi target kurikulum, tetapi membuat siswa menjadi lebih kompeten.  Untuk itu guru harus mencari hard competency dan soft competency dari kompetensi dasar (kompetensi minimal) yang harus sudah dikuasai siswa, menyusun indikator (dengan analisis Delphi sehingga Silabus dapat dirumuskan dengan baik), lalu menyusun sistim evaluasinya, syukur-syukur bisa menyusun kompetensi yang lebih tinggi dari yang minimal dalam KTSP, demi mendorong siswa belajar secara mandiri dan berkelanjutan (long life education) dalam pengembangan bakat dan minatnya.
             Profesi guru dipandang cukup sukar karena cara pandangnya ialah menjadikan siswa sebagai obyek dari kegiatan belajar-mengajar (obyek pembelajaran).  Oleh karenanya guru menjadi pelaku aktif (subyek didik) yang menuangkan seluruh gagasan dan pemahamannya kepada peserta didik lalu menagih apa yang telah ditanamnya melalui test/ulangan harian/ujian.  Guru yang memposisikan diri sebagai subyek (instruktur) tentu akan kehabisan energi dan kedodoran menghadapi perkembangan bidang ilmu yang diajarkannya, karena kesempatan dia menambah wawasan dan ilmu menjadi amat terbatas.  Waktunya sering tersita untuk menjadi subyek yang baik (instruktur yang kompeten).  Akibatnya profesi guru cenderung dianggap sulit (untuk menyesuaikan diri), bukan saja dalam menghadapi perkembangan Iptek, tetapi juga dalam menghadapi perubahan kurikulum dan paradigma pendidikan.
           Gagasan Paulo Freire untuk membebaskan para siswa dari sistim indoktrinasi ini rupanya sampai sekarang tidak bergema  di Indonesia.  Gagasan bahwa para guru adalah fasilitator dan bukan penceramah dan pencekok ide nampaknya tak ada gaungnya di tanah air.  Hal ini nampaknya ditimbulkan karena mandegnya pemikiran filsafat pendidikan di Indonesia, sehingga pertanyaan : Siapa yang harus mendidik, untuk apa mendidik siswa, lalu mengapa harus mendidik dan bukannya cukup mengajar saja, siapa yang harus mengevaluasi dan siapa yang menindak-lanjuti proses pendidikan ini tak pernah terjawab secara tuntas.
          Yang membuat profesi guru dipandang cukup sukar karena kesalah-kaprahan pemahaman bahwa setiap guru (bukan hanya konselor atau stakeholders yang lain) dituntut untuk mengenal lebih dalam kepribadian siswa.  Maka seolah-olah setiap guru harus menguasai ilmu psikologi dan perkembangan anak, menguasai teori-teori pedagogis, dan bertanggung jawab dalam pembentukan manusia seutuhnya.  Gagasan ini telah mengurung siswa menjadi obyek dari proses pendidikan dan menafikan siswa untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai subyek dari proses pendidikan berkelanjutan. 
         Dengan paradigma : guru adalah penangggung jawab proses pembentukan manusia seutuhnya, maka profesi guru menjadi dilematis.  Di satu sisi, guru menjadi titik sentral dari seluruh proses pendidkan (menisbikan peran stakeholders yang lain), sedangkan di sisi lain, guru hanya dibutuhkan sebagai fasilitator sesuai dengan paham yang dianut dalam KTSP dan deschooling society.  Kenapa kita tidak mempermudah masalah, misalnya di SD, siswa hanya membutuhkan tiga hal : membaca, menulis dan berhitung sampai tingkat C4 : kognitif analisis (bukan sekedar memahami tapi juga bisa bisa mengerti isi/intisari bacaan, bisa mengarang dengan tulisan tangan yang bagus dan bisa melakukan transaksi secara cepat dan tepat).  Atau dengan membuat kegiatan belajar menjadi kegiatan yang menarik dan mencerahkan (bukan beban menghafal serta mencatat).
            Kenapa belajar tidak dipandang sebagai hal yang menyenangkan?  Karena guru terlalu berpengangan pada target kurikulum sedangkan siswa terlalu menggantungkan diri pada perolehan nilai dan peringkat dan bukan pada pengembangan bakat serta minatnya.  Akibatnya seusai pelajaran di sekolah, siswa terus mengikuti berbagai les.  Dengan demikian, kegiatan belajar-mengajar berubah menjadi beban bagi kedua belah pihak.  Proses ini tidak selaras dengan hakekat dari UU Guru dan Dosen yang mensyaratkan kemampuan guru untuk menentukan kurikulumnya sendiri dengan asumsi bahwa dia hanyalah fasilitator dan bukan instruktur dalam proses pembentukan manusia seutuhnya (memanusiakan manusia muda).

Jalan Keluar
            Jadi bagaimanakah caranya agar profesi guru itu menjadi lebih gampang dan lebih menarik?  Secara filosofis, guru hanya mediator untuk pengembangan minat dan bakat siswa.  Peran stakeholders yang lain tidak boleh dinisbikan.  Maka pertama-tama, hendaknya para guru fokus pada bakat dan minat siswa.  Siswa yang berbakat musik dan mau meilih musik sebagai panggilan hidupnya tidak harus terbebani dengan mempelajari segala macam hal.  Dia cukup belajar tentang musik sejak usia dini dan mata pelajaran lain penunjang minat dan bakatnya sebagai pemusik itu.  Mengapa para siswa yang mengikuti Olimpiade Fisika itu juga cukup sukses di PT ?  Karena mereka hanya terfokus belajar fisika selama satu tahun di karantinadan tidak dibebani hal-hal lain diluar fisika.  Fokus adalah kunci keberhasilan.
           Secara teknis, guru harus memangkas kurikulum yang tidak fokus dan sarat beban.  Jumlah jam belajar siswa di Indonesia sekarang ini adalah 1200 jam per bulan. Bila hal ini bisa dikurangi menjadi hanya 800 jam per bulan, maka siswa mempunyai kesempatan untuk memperdalam dan mengembangkan materi yang sudah dipelajarinya, sehingga ia dapat fokus pada pengembangan bakat dan penyaluran ide-ide kreatifnya.  Dengan jumlah jam yang begitu besar (1200 jam per bulan), baik guru maupun siswa terbebani banyak tugas yang tidak perlu.
            Yang kedua, guru harus memfasilitasi siswa yang tekun dan pandai sehingga program akselerasi wajib diterapkan sejak dini.  Siswa yang mampu harus dapat memperpendek masa tempuh studinya sehingga pada usia produktif dan antusiasif (20-23 tahun) kita sudah dapat menelorkan doktor-doktor sains atau ahli kebudayaan yang handal dan energetik.  Maka guru adalah penyumbang utama dari penciptaan kepemimpinan nasional yang berkesinambungan dan kompetitif.  Celakalah kalau negara ini dipimpin oleh "orang-orang tua" yang mulai lamban dalam berpikir dan bertindak sehingga tidak antisipatif (hanya reaktif).
            Yang ketiga, guru wajib menciptakan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat.  Semua stakeholders hendaknya terlibat dalam proses kegiatan belajar-mengajar.  Jadi guru bukan satu-satunya penentu atau titik sentral dalam proses pendidikan.  Hapuskan sistim ranking/peringkat di kelas yang menyebabkan siswa belomba-lomba untuk memperoleh nilai test/ulangan harian/ujian maksimal dengan segala cara (tapi mengabaikan hakekat ilmu itu sendiri) dan tiadakan sistim penilaian berdasarkan hasil test/ulanganharian/ujian yang didasari atas ujian kognitif saja.  Di masa depan, konsep moving class sudah harus diterapkan dalam semua jenjang pendidikan.  Dengan demikian, proses pendidikan "memanusiakan manusia muda" tidak menjadi beban bagi guru dan siswa, tapi sekolah akan menjadi rumah kedua bagi para guru dan siswa.

(Dimuat dalam Majalah EDUCARE No. 2/IV/Mei 2007 halaman 41-43)