BSM Edu

Kamis, 29 September 2011

SEHABIS KTSP LALU APA ? SKS ! Penguasaan Kurikulum, MBS dan Sekolah Mandiri dalam Satu Tarikan Nafas


        Dalam tulisan Yang Terlewatkan dari KTSP di EDUCARE edisi lalu, saya telah menguraikan secara panjang lebar kesalah-pahaman yang terjadi di seputar pelaksanaan KTSP.  Kesalah-pahaman itu mulai dari libur pada hari Sabtu (meskipun guru-guru selalu mengeluh kekurangan waktu untuk menyelesaikan seluruh agenda yang termaktub dalam Standar Kompetensi) sampai penjualan silabus yang marak di toko-toko buku (padahal seharusnya silabus dibuat sendiri oleh guru setelah menyelesaikan langkah ke 13 dalam penyusunan KTSP oleh guru yang bersangkutan itu sendiri).
        Kesalah-pahaman itu juga mulai dari masih diberlakukannya sistim rangking (padahal penilaian harus mencakup aspek holistik - kognitif, psikomotorik, afektif dan kecakapan hidup (life skill) - IQ dan EQ/EI - yang tidak mungkin mampu ditunjukkan performance-nya secara prima oleh seorang siswa/beberapa siswa saja - sebarannya pasti merata) sampai pada masih adanya penghakiman untuk kemampuan belajar siswa (masih ada siswa yang tidak naik kelas) - lalu untuk apa program remedial diselenggarakan dan untuk apa guru harus mengubah strategi pembelajaran pada langkah ke 7 dari penyusunan KTSP bila siswa gagal memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal)?
        Kesalah-pahaman itu juga mulai dari guru yang masih aktif memberikan ceramah (padahal model, strategi dan metode pembelajaran harus sudah dirumuskan dalam Model Pemetaan Taksonomi - langkah ke 5 dalam penyusunan KTSP) sampai pada kesalah-kaprahan fungsi BK sebagai tempat penyaluran siswa bermasalah, bukan sebagai tempat siswa untuk merencanakan studi lanjut dan menyiapkan diri untuk bekerja bila tak bisa studi lanjut melalui pendalaman materi pada kecakapan hidup (life skill).
      Bahkan yang paling fatal adalah munculnya pemahaman bahwa KTSP itu adalah mainan Menteri baru (ganti Menteri ganti kurikulum), tanpa melihat bahwa KTSP terdiri dari dua dokumen yaitu Dokumen I tentang Isi Pendidikan dan Dokumen II tentang Kurikulum, Proses Pembelajaran dan Evaluasi, Sarna dan Prasarana Sekolah dan Buku Ajar.  KTSP juga tidak berdiri sendiri, karena KTSP juga menuntut kompetensi guru yang dieja-wantahkan dalam Program Sertifikasi Guru, sehingga kualitas guru dapat terpantau (tidak semua orang yang tidak laku di pasar kerja dapat menjadi guru).
        Meskipun kesalah-pahaman di atas lazim terjadi, namun pihak Depdiknas dan Komite Sekolah nampaknya menutup mata.  Hal ini mungkin disebabkan karena banyak pihak tidak mengerti grand design dari arah pendidikan kita : "mau kemana arah pengembangan pendidikan ini?"  Banyak pihak tidak mengerti bahwa KTSP adalah revolusi dalam dunia pengajaran monoton di negara ini.
        Dengan demikian, KTSP hanya bisa diberlakukan bila Sekolah atau Yayasan : (1) sudah membentuk Tim Ahli/Litbang untuk menyusun rancangan Dokumen I dari KTSP, lalu (2) para guru sudah menyerahkan kelima belas langkah penyusunan KTSP yang disebut draft dan kemudian (3) draft ini direvisi oleh Tim Ahli/Litbang sehingga sesuai dengan Visi dan Misi Sekolah, dan dari proses ini akan dilahirkan Dokumen II dari KTSP, selanjutnya naskah final Dokumen II disandingkan dengan rancangan Dokumen I, lalu (4) diverifikasi oleh Komite Sekolah sehingga seluruh Dokumen KTSP sesuai dengan acuan tipe Sekolah Mandiri. (sumber : website Depdiknas : www.depdiknas.go.id lalu klik KTSP).  Sekolah-sekolah yang belum mencapai kriteria Sekolah Mandiri supaya merencanakan secara terprogram langkah-langkah untuk mencapai kriteria itu.
        Apa kelengkapan mutlak dari KTSP?  Pembenahan manajemen sekolah.  Pemerintah sudah mensosialisasikan MBS (manajemen berbasis sekolah) bersamaan dengan dicanangkannya kurikulum 1994, namun gaungnya tertutup hiruk pikuknya proyek penataran kurikulum 1994.  Sebagai langkah lanjut, Pemerintah juga mensosialisasikan tipe Sekolah Mandiri bersamaan dengan diluncurkannya kurikulum 2004 (KBK).  Namun banyak pihak lebih terpaku pada kurikulum baru ini dan mengabaikan pembenahan manajemen sekolah dan audit kinerja sekolah sehingga upaya untuk menuju ke tipe Sekolah Mandiri terlewatkan.

Memahami grand design pendidikan
        Setelah pencanangan audit kirnerja sekolah melalui MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) pada tahun 1994, yang diikuti sosialisasi tipe Sekolah Mandiri pada tahun 2004, lalu disusul dengan ide mengenai lulusan yang kompeten atau lebih berkualitas melalui penyusunan kurikulum yang disertai dengan upaya meningkatkan kompetensi guru melalui Program Sertifikasi Guru (yang dilandasi UU Guru dan Dosen), sebenarnya kemana arah pendidikan kita? SKS

(Lihat di Kompas, Rabu 25 Agusuts 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA - Panduan Sudah Disebarkan) Bila anda sudah tidak mempunyai Kompas cetaknya, artikel itu dapat diunduh di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5
(Artikel di Kompas ini muncul dua tahun setelah tulisan saya ini, artinya prediksi saya dua tahun sebelumnya adalah tepat)

        Dalam SKS (Sistim Kredit Semester) dibutuhkan :
(1) Kemampuan guru untuk menyusun kurikulum sendiri yang sudah diawali dengan KTSP
(2) Kompetensi guru yang akan diuji melalui program sertifikasi guru (tidak semua bisa menjadi guru - guru adalah profesi dan oleh karena itu dituntut untuk bersikap profesional)
(3) Kinerja sekolah harus dapat diukur sehingga audit persekolahan dapat termonitor.  Hal ini merujuk pada pembenahan seluruh aspek persekolahan, bukan saja pada perbaikan sistim administrasi dan manajemen keuangan sekolah tapi juga pada penerapan merit sistim dan pengembangan atmosfer ilmiah di lingkungan sekolah.
(4) Infrastruktur sekolah yang mengacu pada tipe Sekolah Mandiri, bukan saja pada kelengkapan sarana dan prasarana fisik dan non fisik, tapi juga pada proses pembelajaran mandiri sehingga sekolah dimungkinkan untuk menjadi sekolah pembelajar (moving class).

Yang Tak Tersentuh
        Konsep moving class nampaknya tak pernah dilirik oleh kebanyakan sekolah swasta.  Mungkin karena penerapan konsep ini secara infrastruktur jauh lebih mahal dari sekolah konvensional.  Dalam sekolah konvensional, pihak Yayasan cukup menyediakan ruang kelas, satu lab komputer, dan tiga lab sains (fisika, kimia dan biologi), tapi dalam moving class, setiap kelas harus dilengkapi dengan fasilitas keilmuan yang diampu guru bidang studi. Bayangkan berapa banyak fasilitas yang harus disediakan per ruang.  Belum lagi kalau dihitung banyaknya ruang kelas yang harus disediakan.  Bila satu hari sekolah terdiri dari 8 jam pembelajaran, maka dalam satu hari hanya dimungkinkan 4 kali pergantian siswa per ruang.  Itu berarti dibutuhkan dua kali jumlah ruang kelas konvensional.
        Masalah lainnya adalah kerumitan pengaturan manajemen pergerakan siswa dan pembagian tanggung jawab ruang kelas serta ketersediaan almari siswa (locker) yang aman.  Dari segi fasilitas, moving class memang lebih mahal.  Belum lagi dari segi konsep, penerapan moving class harus dilandasi kefasihan penguasaan MBS (manajemen berbasis sekolah) sehingga kinerja sekolah bisa teraudit secara tranparan dan visi Sekolah Mandiri dapat terwujud dengan elegan.
        Dari segi pedagogis, moving class membutuhkan rekam jejak kemajuan proses pembelajaran siswa (portofolio), sesuatu hal yang diabaikan dalam kelas konvensional, yang misalnya tercermin dalam kesalah-pahaman guru konvensional tentang program remedial.  Remedial hanya diberlakukan bagi siswa-siswi yang kurang pandai secara kognitif - penilaian beraspek holistik hanya slogan di kelas-kelas konvensional.  Padahal dalam moving class, penilaian tidak boleh hanya menyangkut aspek kognitif, sebab PBK (Penilaian Berbasis Kelas) mempunyai tolok ukur yang menyentuh seluruh aspek kemampuan dan kepribadian siswa.
         Dengan kata lain, moving class memang sangat merepotkan pihak Yayasan dan para guru di lapangan, ditambah dengan kosnep : "Dengan begini saja (tanpa perlu neko-neko) sudah banyak yang mendaftar.  Moving class?  EGP (emangnya gue pikirin)?".

Lalu Apa?
        Revitalisasi dunia pendidikan swasta.   Banyak orang tua dahulu menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah swasta Katolik karena tiga hal : kualitas, pendidikan budi pekerti dan disiplinnya.  Maka revitalisasi pendidikan swasta harus menyentuh ketiga aspek itu.
(1) Kualitas.  Bagaimana kualitas bisa terjaga bila orang yang melamar menjadi guru terus menerus menurun mutunya baik secara akademik maupun secara psikologis?  Apa tolok ukurnya?  Kebingungan guru-guru muda menghadapi soal-soal Olimpiade Sains.   Dengan kata lain, penguasaan materi sangat rendah.  Itu sebabnya program enrichment (pengayaan) tidak pernah berjalan di sekolah-sekolah swasta.  Lalu bagaimna jalan keluarnya?  Pihak Yayasan harus sungguh-sungguh menyiapkan terbentuknya Litbang yang secara khusus berupaya agar setiap guru selalu mengembangkan dirinya.  Merit sistim harus diterapkan.  Penjenjangan karier guru harus mulai dirumuskan, mulai dari guru muda (asisten guru/guru bantu), guru madya sampai ke guru koordinator/guru senior dengan kriteria kepangkatan yang jelas - tidak boleh lagi diterapkan sistim penggajian PGPS (pinter goblok penghasilan sama).
(2) Pendidikan budi pekerti.  Pendidikan Agama bukan pendidikan budi pekerti.  Bekal pendidikan Agama yang cenderung bersifat kognitif telah menghancurkan nilai-nilai humaniora itu sendiri.  Lalu mesti bagaimana?  Pendidikan nilai harus dirumuskan secara operasional - sudah banyak metode di Fak. Psikologi yang dapat diadopsi untuk membuat pendidikan nilai itu menjadi operasional, terpantau dan terukur.  Bapak Fidelis Waruwu (Fak. Psikologi Untar) beberapa kali mengulasnya di Majalah HIDUP.
(3) Disiplin.  Disiplin bukan hanya ketepatan waktu kedatangan (guru sama sekali tidak boleh terlambat karena dia adalah teladan siswa) tetapi juga cepat mengkoreksi ulangan dan cepat membagikannya ke siswa, tetpat dalam menganalisis soal (masih sering terjadi, soal-soal yang diberikan hanya copy paste dari buku-buku soal yang banyak dijual di pasaran dan kemudian setelah diujikan, tak pernah dianalisis) dan mempunyai target yang jelas dalam remedial dan pengayaan (enrichment).  Lalu bagaimana kalau kita kedodoran dalam administrasi pengajaran?  Merevitalisasi peran Komite Sekolah dan memfungsikan secara jelas peran supervisi dalam kehidupan persekolahan.  Yang berhak melakukan supervisi guru bukan hanya Kepala Sekolah dan Yayasan, tapi juga Komite Sekolah.  Dengan demikian, guru akan terpola untuk berdisiplin karena seluruh stakeholders memantau dan menilainya.

Apa yang dituju?
      Penerapan SKS ini akan membuat guru dan siswa mandiri dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat merencanakan sendiri studinya dan hal itu akan membuat kehidupan persekolahan menjadi dinamis serta menjadikan kegiatan belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan, tak menjadi beban bagi siswa.  Tak ada lagi kegiatan les dan bimbel (bimbingan belajar).  Hasilnya :
(1) Kita mengarah pada kegiatan long life education.
(2) Kita menghargai prestasi seseorang, bukan orangnya (kita menghargai ketekunan dan capaian seseorang).  Kita akan belajar mendengar apa yang dikatakan seseorang, bukan siapa yang mengatakannya.
Dengan penerapan SKS ini, kita sedang merenda bangsa ini menjadi bangsa pembelajar dan bangsa pekerja keras yang menghargai merit sistim sejak usia dini.

Dimuat di Majalah EDUCARE  No. 6/IV/September 2007  halaman 36-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar