BSM Edu

Rabu, 28 September 2011

GURU ITU PROFESI atau PANGGILAN?


           Menarik sekali kalau kita menelusuri alasan IKIP pada tahun 1992 dibubarkan.  Meskipun ada keputusan legal sebelumnya bahwa orang berijazah kesarjaan apapun dapat diterima menjadi guru asalkan ia mempunyai Sertifikat Mengajar (Akta IV), namun isu "menjadi guru itu sulit atau mudah" tetap menjadi perdebatan.  Guru itu profesi atau panggilan?  Guru itu sekedar mengajar atau mendidik?  Guru itu mengarahkan siswa pada pencapaian akademik atau membentuk manusia seutuhnya? 
           Pihak yang pro dengan pembubaran IKIP berargumen, kalau guru dibebani juga dengan kewajiban mendidik, lalu dimana peran orang tua, agamawan, konselor dan masyarakat dalam pendidikan?   Selain itu menjadi guru adalah tugas profesional, maka kompetensi penguasaan materi ajar menjadi prasyarat mutlak untuk dapat diangkat menjadi guru.  Kewajiban guru adalah mengajar secara profesional, dan dengan demikian menuntut para orang tua, agamawan, konselor dan masyarakat agar mereposisikan diri dalam menghadapi globalisasi ini. 
            Sedangkan pihak yang pro dengan ide menjadi guru itu adalah panggilan memprasyaratkan guru harus berdedikasi, berdisiplin dan berkesadaran diri untuk mau dan mampu menjadi panutan siswa.  Mereka mendasarkan diri pada tanggung jawab keguruan yang menyangkut tujuan holistik pendidikan yaitu membentuk manusia seutuhnya (memanusiakan manusia muda).  Menjadi guru itu tidak sekedar mengajar tetapi juga mendidik.  Maka menjadi guru dan menjalaninya secara konsisten itu cukup sulit, sehingga tidak setiap orang dapat dianggap sebagai guru.

Mengejar Angin
             Masalahnya perdebatan itu tidak menyentuh hal yang mendasar yaitu penghargaan profesi dan pemuliaan panggilan guru.  Kalau guru itu cukup kompeten sehingga cukup layak untuk lebih dihargai (sesuai UU Guru dan Dosen), guru terganjal oleh model penggajian PGPS (pinter goblok penghasilan sama).  Sedangkan kalau guru itu cukup menghayati panggilannya dalam membentuk manusia seutuhnya, tempatnya dalam masyarakat tidak ada dan tidak pernah diupayakan ada.  Tengoklah, banyak keputusan strategis pendidikan dan keguruan yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional, DPR RI dan Yayasan diambil tanpa melibatkan guru.
             Hal ini menunjukkan, hasil kerja dan dedikasi guru tidak pernah dihargai, baik secara struktural yang tercermin dari sukarnya guru merintis karier akademis di sekolah (data BPS tahun 2005, belum ada guru yang mencapai golongan IV C) maupun secara profesional yang terlihat dari tidak diakuinya ijazah siswa di jenjang menengah untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi tanpa test/ujian masuk.  Ijazah SLTA dianggap tidak pernah ada, karena PT (perguruan tinggi) secara resmi dan terbuka menyelenggarakan test/ujian masuk tersendiri.
            Yang lebih memprihatinkan, banyak PT mengabaikan proses belajar-mengajar di SLTA karena menyelenggarakan test/ujian masuk (penerimaan mahasiswa baru) pada saat siswa masih belum dinyatakan lulus SLTA. Siswa dapat berstatus "mahasiswa" meskipun belum menyelesaikan semester pertama kelas XII.  Celakanya fenomena ini menjalar pada SMP dan SMA yang berburu siswa jauh sebelum ujian akhir sekolah.  Hal ini telah mendekonstruksi seluruh sistim nilai dan misi persekolahan.
            Paradoks lain ialah pengkotakan masalah pendidikan dengan mengabaikan peran serta filsafat pendidikan sehingga membuat kening berkerut bagi para penganjur home schooling dan pendidikan berbasis masyarakat.  Mereka selalu mendengungkan : orang tua adalah pendidik utama dan pertama bagi anaknya, sehingga jangan serahkan anak-naka pada sistim pendidikan yang uniform, membelenggu kebebasan anak dan memasung kreativitas lewat indoktrinasi dan budaya paternalistik dalam sekolah.  Para pendukung "pendidikan yang membebaskan" dan "pendidikan yang mencerahkan" yang dipelopori oleh Paulo Freire ini menganggap, semua orang tua adalah pendidik (guru) bagi anak-anaknya sehingga seharusnya menjadi guru adalah panggilan semua orang tua.  Jangan menakut-nakuti mereka dengan mengatakan bahwa menjadi guru itu sulit.  Maka pertanyaannya :  "Dimana letak kesukaran untuk menjadi guru?  Mengapa profesi guru itu dipandang cukup sukar?  Apa yang membuatnya dipandang cukup sukar?"
             Untuk menjawab pertanyaan "dimana letak kesukaran untuk menjadi guru?" , marilah kita menelusuri rekam jejak (track record) dari lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) di IKIP/FKIP.  Filosofi dibalik pembubaran IKIP sudah kadaluwarsa untuk dibicarakan, karena debat itu telah terjadi 20 tahun yang lalu.  Kenyataan IKIP dibubarkan, menunjukkan bahwa profesi guru bukan lagi dipandang sebagai profesi keahlian yang memerlukan persiapan khusus, seperti perawat, notaris, pustakawan, dll. Siapa saja bisa menjadi guru asalkan mempunyai ijazah yang sesuai dengan bidan yang diajarkannya ditambah dengan sedikit pengetahuan didaktik-metodik (Akta IV).  Jadi masalah sukar tidaknya menjadi "guru yang mumpuni" terletak pada penguasaan materi yang diajarkan yang dipupuk lewat tradisi ilmiah (membaca, menulis dn meneliti) yang membuat profesi guru menjadi dinamis (guru yang bersemangat pembelajar) sehingga menjadikannya sebagai agen perubahan (agent of change).
             Sebenarnya hal ini dituntut oleh semua profesi yang harus berjuang secara ketat dalam persiangan global ini.  Misalnya, pada dunia kewartawanan.  Apakah wartawan harus lulusan pendidikan jurnalistik atau ilmu komunikasi ataukah mereka adalah sarjana dari berbagai bidang ilmu yang dibekali dengan training jurnalistik?  Sebab wartawanpun dituntut menguasai bidang ilmu yang digelutinya sehingga dapat menyajikan berita secara akurat dan mendalam kepada pembacanya dan menjadikan medianya mencerahkan masyarakat.   Para wartawanpun juga dituntut meng-update pengetahuannya atau medianya akan ditinggalkan pembacanya. 
           Jadi apa yang menjadi persoalan dengan anggapan bahwa semua orang bisa menjadi guru yang dinamis?  Apakah menjadi seorang "guru yang mumpuni" itu sukar?  Apakah semangat pembelajar itu tidak bisa dipupuk, dilatih dan diinternalkan?  Semangat inilah yang membedakan citra seorang "guru biasa" dan seorang dosen.  Melalui KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dimana guru harus merancang kurikulum sendiri, sebenarnya guru diangkat menjadi sama harkat dan martabatnya dengan seorang dosen, yaitu menguasai serta mampu mengembangkan model-model pembelajaran sendiri, bukan untuk memenuhi target kurikulum, tetapi membuat siswa menjadi lebih kompeten.  Untuk itu guru harus mencari hard competency dan soft competency dari kompetensi dasar (kompetensi minimal) yang harus sudah dikuasai siswa, menyusun indikator (dengan analisis Delphi sehingga Silabus dapat dirumuskan dengan baik), lalu menyusun sistim evaluasinya, syukur-syukur bisa menyusun kompetensi yang lebih tinggi dari yang minimal dalam KTSP, demi mendorong siswa belajar secara mandiri dan berkelanjutan (long life education) dalam pengembangan bakat dan minatnya.
             Profesi guru dipandang cukup sukar karena cara pandangnya ialah menjadikan siswa sebagai obyek dari kegiatan belajar-mengajar (obyek pembelajaran).  Oleh karenanya guru menjadi pelaku aktif (subyek didik) yang menuangkan seluruh gagasan dan pemahamannya kepada peserta didik lalu menagih apa yang telah ditanamnya melalui test/ulangan harian/ujian.  Guru yang memposisikan diri sebagai subyek (instruktur) tentu akan kehabisan energi dan kedodoran menghadapi perkembangan bidang ilmu yang diajarkannya, karena kesempatan dia menambah wawasan dan ilmu menjadi amat terbatas.  Waktunya sering tersita untuk menjadi subyek yang baik (instruktur yang kompeten).  Akibatnya profesi guru cenderung dianggap sulit (untuk menyesuaikan diri), bukan saja dalam menghadapi perkembangan Iptek, tetapi juga dalam menghadapi perubahan kurikulum dan paradigma pendidikan.
           Gagasan Paulo Freire untuk membebaskan para siswa dari sistim indoktrinasi ini rupanya sampai sekarang tidak bergema  di Indonesia.  Gagasan bahwa para guru adalah fasilitator dan bukan penceramah dan pencekok ide nampaknya tak ada gaungnya di tanah air.  Hal ini nampaknya ditimbulkan karena mandegnya pemikiran filsafat pendidikan di Indonesia, sehingga pertanyaan : Siapa yang harus mendidik, untuk apa mendidik siswa, lalu mengapa harus mendidik dan bukannya cukup mengajar saja, siapa yang harus mengevaluasi dan siapa yang menindak-lanjuti proses pendidikan ini tak pernah terjawab secara tuntas.
          Yang membuat profesi guru dipandang cukup sukar karena kesalah-kaprahan pemahaman bahwa setiap guru (bukan hanya konselor atau stakeholders yang lain) dituntut untuk mengenal lebih dalam kepribadian siswa.  Maka seolah-olah setiap guru harus menguasai ilmu psikologi dan perkembangan anak, menguasai teori-teori pedagogis, dan bertanggung jawab dalam pembentukan manusia seutuhnya.  Gagasan ini telah mengurung siswa menjadi obyek dari proses pendidikan dan menafikan siswa untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai subyek dari proses pendidikan berkelanjutan. 
         Dengan paradigma : guru adalah penangggung jawab proses pembentukan manusia seutuhnya, maka profesi guru menjadi dilematis.  Di satu sisi, guru menjadi titik sentral dari seluruh proses pendidkan (menisbikan peran stakeholders yang lain), sedangkan di sisi lain, guru hanya dibutuhkan sebagai fasilitator sesuai dengan paham yang dianut dalam KTSP dan deschooling society.  Kenapa kita tidak mempermudah masalah, misalnya di SD, siswa hanya membutuhkan tiga hal : membaca, menulis dan berhitung sampai tingkat C4 : kognitif analisis (bukan sekedar memahami tapi juga bisa bisa mengerti isi/intisari bacaan, bisa mengarang dengan tulisan tangan yang bagus dan bisa melakukan transaksi secara cepat dan tepat).  Atau dengan membuat kegiatan belajar menjadi kegiatan yang menarik dan mencerahkan (bukan beban menghafal serta mencatat).
            Kenapa belajar tidak dipandang sebagai hal yang menyenangkan?  Karena guru terlalu berpengangan pada target kurikulum sedangkan siswa terlalu menggantungkan diri pada perolehan nilai dan peringkat dan bukan pada pengembangan bakat serta minatnya.  Akibatnya seusai pelajaran di sekolah, siswa terus mengikuti berbagai les.  Dengan demikian, kegiatan belajar-mengajar berubah menjadi beban bagi kedua belah pihak.  Proses ini tidak selaras dengan hakekat dari UU Guru dan Dosen yang mensyaratkan kemampuan guru untuk menentukan kurikulumnya sendiri dengan asumsi bahwa dia hanyalah fasilitator dan bukan instruktur dalam proses pembentukan manusia seutuhnya (memanusiakan manusia muda).

Jalan Keluar
            Jadi bagaimanakah caranya agar profesi guru itu menjadi lebih gampang dan lebih menarik?  Secara filosofis, guru hanya mediator untuk pengembangan minat dan bakat siswa.  Peran stakeholders yang lain tidak boleh dinisbikan.  Maka pertama-tama, hendaknya para guru fokus pada bakat dan minat siswa.  Siswa yang berbakat musik dan mau meilih musik sebagai panggilan hidupnya tidak harus terbebani dengan mempelajari segala macam hal.  Dia cukup belajar tentang musik sejak usia dini dan mata pelajaran lain penunjang minat dan bakatnya sebagai pemusik itu.  Mengapa para siswa yang mengikuti Olimpiade Fisika itu juga cukup sukses di PT ?  Karena mereka hanya terfokus belajar fisika selama satu tahun di karantinadan tidak dibebani hal-hal lain diluar fisika.  Fokus adalah kunci keberhasilan.
           Secara teknis, guru harus memangkas kurikulum yang tidak fokus dan sarat beban.  Jumlah jam belajar siswa di Indonesia sekarang ini adalah 1200 jam per bulan. Bila hal ini bisa dikurangi menjadi hanya 800 jam per bulan, maka siswa mempunyai kesempatan untuk memperdalam dan mengembangkan materi yang sudah dipelajarinya, sehingga ia dapat fokus pada pengembangan bakat dan penyaluran ide-ide kreatifnya.  Dengan jumlah jam yang begitu besar (1200 jam per bulan), baik guru maupun siswa terbebani banyak tugas yang tidak perlu.
            Yang kedua, guru harus memfasilitasi siswa yang tekun dan pandai sehingga program akselerasi wajib diterapkan sejak dini.  Siswa yang mampu harus dapat memperpendek masa tempuh studinya sehingga pada usia produktif dan antusiasif (20-23 tahun) kita sudah dapat menelorkan doktor-doktor sains atau ahli kebudayaan yang handal dan energetik.  Maka guru adalah penyumbang utama dari penciptaan kepemimpinan nasional yang berkesinambungan dan kompetitif.  Celakalah kalau negara ini dipimpin oleh "orang-orang tua" yang mulai lamban dalam berpikir dan bertindak sehingga tidak antisipatif (hanya reaktif).
            Yang ketiga, guru wajib menciptakan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat.  Semua stakeholders hendaknya terlibat dalam proses kegiatan belajar-mengajar.  Jadi guru bukan satu-satunya penentu atau titik sentral dalam proses pendidikan.  Hapuskan sistim ranking/peringkat di kelas yang menyebabkan siswa belomba-lomba untuk memperoleh nilai test/ulangan harian/ujian maksimal dengan segala cara (tapi mengabaikan hakekat ilmu itu sendiri) dan tiadakan sistim penilaian berdasarkan hasil test/ulanganharian/ujian yang didasari atas ujian kognitif saja.  Di masa depan, konsep moving class sudah harus diterapkan dalam semua jenjang pendidikan.  Dengan demikian, proses pendidikan "memanusiakan manusia muda" tidak menjadi beban bagi guru dan siswa, tapi sekolah akan menjadi rumah kedua bagi para guru dan siswa.

(Dimuat dalam Majalah EDUCARE No. 2/IV/Mei 2007 halaman 41-43)