BSM Edu

Senin, 02 Januari 2012

SURVIVE DENGAN KEARIFAN LOKAL


Tempora mutantur, et nos mutamur in illis (waktu terus berubah dan kita berubah didalamnya).  Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang lari tunggang langgang. (Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 hal.1)

Adagium di atas tepat diterapkan dalam situasi nasional kita dewasa ini – untuk mengatasi krisis multi dimensional ini, kita harus berubah dan bergerak cepatChange Your DNA, kata Rhenald Khasali, pakar manajemen UI.  Jadi yang diperlukan saat ini adalah berubah dengan cekatan dengan memanfaatkan internet.  

Apakah bangsa kita punya sejarah panjang untuk senantiasa berubah?  Ya, bangsa Indonesia berhasil melewati masa-masa sulit dalam masa penjajahan, padahal saat itu bangsa kita tidak mempunyai akses sama sekali ke berbagai sumber daya alam, ekonomi.dan politik.  Semua akses ke berbagai sumber daya dikuasai oleh penjajah, sehingga bangsa kita jatuh dalam kemiskinan struktural yang menghimpit.  
Lalu bagaimana bangsa kita  menyiasati hal ini?   Back to basic.  Kembali ke kearifan local (local wisdom), yaitu menghidupi semangat gotong royong yang diwujudkan dalam “jimpitan” dan “saweran”.  

Jimpitan” dilakukan untuk mengatasi kemiskinan struktural yang disertai stigma diskriminatif sebagai warga kelas dua.  Untuk itu, masyarakat menyisihkan sedikit dari hasil bumi yang dipunyai, dikumpulkan lalu dijual untuk memenuhi kebutuhan bersama.  Misalnya setiap rumah menyisihkan satu sendok beras setiap hari, dikumpulkan di Balai Desa, lalu beras itu dijual dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan bersama (yang dimusyawarahkan dalam rembug desa)- seumpama  rembug desa memutuskan, hal mendesak yang harus ditanggulangi bersama adalah gizi buruk, maka untuk mencukupi kebutuhan gizi seluruh masyarakat desa, hasil penjualan beras itu akan dibelikan ayam dan itik.  
Sedangkan “saweran” dilakukan untuk mengatasi situasi darurat  dan keterbatasan akses ke pemenuhan kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kematian).  Untuk itu, masyarakat secara suka rela mengumpulkan uang yang digunakan untuk membantu kelompok rentan yang sedang menderita. 
Bila “jimpitan” berbentuk natura, maka “saweran” selalu diwujudkan dalam bentuk bantuan tunai (in cash). 
            
Apakah ada contoh terapan dari “jimpitan” dan “saweran” dalam jaman modern ini?  Ada.  Ketika Asia pada tahun 1998 dilanda krisis moneter, maka secara bersama dan serentak, rakyat Thailand dan Korea Selatan mengumpulkan emas dan perhiasan, kemudian diserahkan ke Bank Sentral di negaranya, untuk menutup defisit anggaran berjalan yang dialami negaranya.

Lalu kenapa mekanisme ini tidak bekerja di negara kita? 
-     Karena prinsip dari penerapan local wisdomjimpitan” dan “saweran” dilanggar, yaitu inisiatif harus berasal dari masyarakat itu sendiri (bottom up), hal ini tak bisa dipaksakan dengan instruksi atau perintah (top down), dan
-        Prinsip transparansi dan kesama-rataan harus dijaga.  Tidak ada warga yang mendapat perlakuan khusus atau hak-hak istimewa (privilege).
-          Mekanisme “jimpitan” dan “saweran” ini juga membutuhkan contoh atau teladan dari pimpinan – rakyat tak bisa selalu disuruh berkurban, sementara pimpinan mereka tidak menunjukkan sense of crisis.

Disamping berubah dan setia melakukan perubahan, apakah bangsa kita mempunyai sejarah panjang untuk senantiasa bergerak cepat?  Ya.  Untuk bertahan menghadapi krisis dan situasi yang menekan, bangsa kita sudah lama mempunyai tradisi bekerja di rumah untuk menopang ekonomi keluarga (home industry) dan mengerahkan secara maksimal seluruh sumber daya yang dipunyainya untuk ikut berperan dalam menggerakkan sektor mikro yang dikenal sebagai usaha ekonomi kreatif.  Bila home industry dan usaha ekonomi kreatif dimasa lalu berhasil mengangkat harkat dan derajat rakyat kecil, kenapa hal itu tidak nampak signifikan lagi sekarang?  Karena prasyarat untuk tumbuh-kembang home industry dan usaha ekonomi kreatif itu dilanggar, yaitu :
-     Upaya kreatif masyarakat ini membutuhkan ruang inter-aksi yang intens. Dimasa lalu, ruang komunikasi kreatif ini mewujud dalam bentuk pasar tradisional yang humanis dan saling bergantung (simbiosis mutualisme).  Sayangnya keberadaan pasar tradisional yang akrab ini sekarang digusur atas nama modernisasi yang melaju tanpa jiwa. Upaya pemberdayaan sektor mikro secara mandiri ini digulung oleh penguatan sektor makro yang menggurita yang ditandai dengan berdirinya toko swalayan dan mini market sampai di kampung-kampung.
-    Upaya memandirikan ekonomi rumah tangga ini membutuhkan prasyarat  kolegialitas dan kerukunan bermitra yang terwujud dalam paguyuban.  Rakyat yang guyub ini  sekarang dirusak oleh pola hubungan konsumerisme dalam bentuk urban life style dan hedonistik yang mewarnai perubahan life style bergaya metropolitan.
Jadi semangat untuk keluar dari krisis selalu dipunyai oleh bangsa kita.  Yang diperlukan adalah memberi hati kepada masyarakat, bukan sekedar memberi instruksi, karena setiap orang memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi entrepreneur sejati menuju UMKM yang berorientasi ekspor, seperti yang telah ditunjukan oleh para pelaku home industry batik, pertanian, penganan dan rokok linting di masa lalu.

Dengan semangat back to basic, maka bangsa Indonesia akan menapaki jalan hidupnya dengan berbekal local wisdom, asalkan semua prasyarat untuk mewujudkan local wisdom itu dipenuhi (masyarakat yang guyub, tidak ada satupun anggota masyarakat yang mempunyai privilege dan dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai sense of crisis).  

Lalu bagaimana caranya? Globalisasi dan liberalisasi yang melanda semua sektor kehidupan harus dilawan melalui jejaring via internet dan pemberdayaan masyarakat (community development) melalui penumbuhan Desa Informasi harus menjadi komitmen dari aparatus negara demi pengembangan ekonomi kreatif bangsa. 

Jadi "jimpitan” dan “saweran” di Indonesia dewasa ini dapat diwujudkan dalam pengukuhan Desa Informasi, paguyuban berbasis internet untuk mengembangkan ekonomi kreatif di pedesaan.  Fasilitas internet sebagai media sosial ini akan menyatukan Indonesia menjadi "satu kampung" yang menggantikan pasar tradisional, dimana semangat berbagi dan brand image dapat ditumbuh-kembangkan.  
Misalnya suatu desa yang telah terpola menjadi Desa Informasi di pedalaman Kalimantan dapat browsing melalui internet : singkong itu dapat dijadikan apa saja atau kerajinan manik-manik khas Dayak itu dapat dengan mudah dicarikan pembelinya di internet.

Maka Desa Informasi yang merupakan paguyuban berbasis internet ini terkait kesadaran-sharing-berbagi-keyakinan-kepedulian untuk melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh merupakan terobosan baru, menguntungkan, asyik dan keren - tidak sekedar menyongsong kehidupan baru di pedesaan, tapi pilihan untuk benar-benar hidup, membuat hidup ini jadi lebih hidup.