Sabtu, 01 Oktober 2011
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Kendati sudah ada empat lomba tentang penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu National Innovative Teacher Competition yang diselenggarakan oleh Microsoft Indonesia setiap bulan Maret, Citibank Peduli yang diselenggarakan oleh Citibank Jakarta setiap bulan Juli, Lomba Kreativitas Guru yang diselenggarakan oleh LIPI setiap bulan Agustus, dan Lomba Pembelajaran Berbasis Multimedia yang diselenggarakan oleh Ditjen Mandikdasmen setiap bulan November, namun kegiatan ini kurng populer diantara para guru. Mengapa?
Guru menganggap tugas melakukan analisis soal sesudah mengadakan ulangan/tes sudah cukup memadai untuk memetakan kemampuan siswa. Padahl hasil analisis soal hanya berguna untuk mengevaluasi bobot soal dalam upaya untuk pencapaian deskripsi pengetahuan kognitif siswa (hasil analisis soal ini tidak bicara apa-apa tentang kemampuan psikomotor, afektif dan kecakapan hidup (life skill) siswa.
Aspek penilaian melulu berpedoman pada pencapaian target KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal) dan nilai rapor, tanpa berusaha menuju ke PBK (penilaian berbasis kelas) dan Catatan Kompetensi. Apa indikasinya? Program remedial ditujukan kepada siswa yang nilainya kurang (padahal seharusnya, meskipun nilai siswa mencapai standar minimal KKM, tetapi kalau pemahaman dasariahnya kurang untuk dapat mengikuti topik berikutnya, ia wajib mengikuti remedial) dan program enrichment diberikan dalam bentuk tugas-tugas yang tidak memberi arti apa-apa untuk membuka peluang siswa loncat kelas (mengikuti kelas akselerasi).
Guru kurang memahami 16 langkah penyusunan KTSP, sehingga pembuatan kurikulum ini tidak dikaitkan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan analisis siswa. KTSP tidak menjadi dasar pijakan untuk menuju ke Higher Order of Thinking (HOT). Apa tolok ukurnya? Makin menjamurnya Bimbel (bimbingan belajar) merupakan bukti kuat bahwa kegiatan di kelas telah direduksi menjadi sekedar kegiatan mengajar saja (one way traffic) yang tak menyumbangkan apa-apa untuk kemajuan anak didik. Bahkan ada sekolah yang menggunakan metode drill sebagai bekal persiapan siswa dalam menghadapi UAN/UASBN.
Guru kurang dibekali tentang grand design pendidikan kita. Ketika Pemerintah melalui Permen No. 22, 23 dan 24 tahun 2006 tentang KTSP, mewajibkan para guru untuk bisa menyusun kurikulumnya sendiri (seperti halnya dosen di Perguruan Tinggi) - kemudian melalui UU Guru dan Dosen yang mewajibkan para guru untuk mengikuti uji kelayakan melalui program sertifikasi, sebenarnya Pemerintah mengharuskan para guru untuk terus menerus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan (long life education) sehigga para guru cukup kompeten untuk membimbing siswa atau menjadi semacam PA (pembimbing akademik) seperti halnya dosen di perguruan tinggi. Untuk mengerti grand design ini, sebenarnya para guru hanya perlumendalami apa itu makna dari Sekolah Mandiri yang dicanangkan melalui Permen No. 19 tahun 2007, yang mewajibkan semua sekolah untuk menerapkan SKS (sistim kredit semester) di tahun 2013.
Catatan : Panduan untuk SKS ini sudah disebarkan sejak tahun 2010 (Kompas, Rabu 25 Agustus 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA, Panduan Sudah Disebarkan), yang dapat diunduh di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5
Perubahan paradigma
Dengan penerapan SKS, maka sekolah pertama-tama harus menerapkan moving class yang menjadikan kelas sebagai pusat dari kegiatan pemelajaran yang mengarah pada pencapaian HOT. Untuk ini diperlukan perubahan mendasar dari paradigma "mendidik" yang bukan sekedar disempitkan menjadi mengajar atau men-drill siswa, melainkan juga menjadi "membimbing". Untuk menjembatani perubahan paradigma ini, disusunlah PTK yang merupakan action guru setelah perubahan strategi pemelajaran (langkah ke-6 dan ke-7 dari penyusunan KTSP) tidak membuahkan hasil pencapaian target KKM. Dengan demikian, siswa tidak terjebak dalam remedial (yang tidak perlu diikutinya) dan siswa dapat memperoleh nilai rapor yang sungguh-sungguh memperhatikan keempat aspek kepribadian siswa (kognitif, psikomotor, afektif dan kecakapan hidup) yang tercermin dalam Catatan Kompetensi yang valid. Tanpa PTK, guru akan terjebak dalam penilaian ranah kognitif saja, atau kalaupun mencakup ranah afektif, yang dinilai adalah hal-hal situasional seperti malas/rajin atau kesopanan dan kerja sama, yang tidak ada kaitannya dengan upaya pencapaian HOT. Apa tolok ukurnya? Aspek psikomotor dan kecakapan hidup tetap tak tersentuh.
Menurut Bloom, PTK merupakan bagian dari Dokumen II B dari KTSP (Dokumen II A adalah 16 langkah penyusunan KTSP). Setelah Dokumen II selesai disusun, maka guru dapat memetakan keunggulan bidang yang diampunya, yang menjadi ciri khas dari kelasnya dalam moving class. Sesudah merumuskan keunggulannya, guru mulai menggagas program kerja untuk membuat program unggulan itu menjadi operasional. Program kerja yang terukur ini akan menjadi bagian dari Dokumen I B dari KTSP dan Dokumen I B ini harus sinkron dengan Visi dan Misi sekolah yang dijabarkan dalam Dokumen I A. Lalu apa? Guru membimbing siswa sesuai dengan visi dan misi sekolahnya, maka guru tidak terjebak dalam meraih prestasi sesaat, seperti men-drill siswa menjelang ujian (UAN/UASBN), sibuk dengan segala macam try out, berlaku curang dalam ujian demi untuk mendongkrak prestasi siswa, atau mengontrakkan kegiatan belajar-mengajar pada Bimbel sesaat sebelum ujian. Ujian adalah kegiatan rutin yang tak perlu dicemaskan seperti para guru yang pernah mengalami kurikulum 1968 dan kurikulum 1975 dulu ....Biasa-biasa sajalah. The show must go on.
Apa makna dari PTK?
PTK dapat dirancang sejak awal (pada saat guru melakukan analisis kurikulum) karena guru melihat ada bahan-bahan yang tidak bisa diceramahkan, didiskusikan atau diselesaikan dengan pemberian tugas atau praktikum (termasuk tidak bisa diselesaikan dengan field trip). Bahan-bahan ajar itu terlalu abstrak sehingga sulit untuk dicerna siswa (siswa akan terjebak untuk menghafalkannya), misalnya bahan ajar ikatan kimia dalam Kimia kelas X atau HAM dalam KWn (PKn) kelas IX dan XI atau Iman dalam Pendidikan Agama kelas IV, kelas VIII dan kelas X. Menghadapi bahan-bahan yang sulit ini, sejak awal guru harus sudah merancang model, metode dan strategi pemelajaran khusus supaya proses belajar-mengajar menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk siswa (bukan beban bagi siswa). Apa tujuannya? Mengubah cara pandang dan pola pikir (mind set) semua stakeholders, dari menilai/menghakimi sswa (transformatif, generatif dan transmission) menjadi menghargai proses sekecil apapun partisipasi yang ditunjukkan oleh siswa (kognitivisme, behaviorisme dan konstruktivisme).
PTK juga dapat disusun ditengah-tengah semester, setelah guru melihat bahwa ternyata model, metode dan strategi pemelajaran yang telah dirancang, hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan (KKM tidak tercapai). Dalam hal semacam ini, guru wajib membuat PTK untuk merancang ulang Silabus dan RPP yang telah digelar. Apa tujuannya? membuat guru memfokuskan kurikulum (KTSP) pada 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis, sehingga proses belajar-mengajar dapat menjadi sesuatu yang menarik dan menantang kemajuan siswa.
Dengan merancang PTK sejak awl atau ditengah-tengah semester, kelihatan bahwa tugas pembimbing akademik bagi guru akan menjadi sulit, terutaqma bagi para guru yang hanya sibuk berceramah, sang guru lelah dan siswanyapun juga penat.
Apa jalan keluarnya?
Seperti diuraikan di atas, PTK membutuhkan perubahan paradigma dari mendidik menjadi membimbing. Kalau guru hanya terpola untuk mengajar, maka lompatan paradigma dapat ditempuh melalui pembimbingan kegiatan yang menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri.
Kegiatan pembimbingan yang paling mudah adalah mengasah bakat musik. Guru-guru dapat disiapkan menjadi pembimbing paduan suara a capella (bukan menjadi pelatih paduan suara) sehingga guru dapat belajar berorganisasi dan bekerja sama dengan siswa dan orang tua, termasuk mencari dana secara mandiri untuk menunjang kegiatan paduan suara, menyemangati siswa yang kurang tekun berlatih, mendorong penampilan periodik di depan publik dll. Yang penting adalah kesinambungan karena pelatih dan siswa mudah terjebak dalam kebosanan dan membentuk paduan suara "tanpa roh" (menyanyi karena tugas). Dengan demikian, guru dapat mempraktekkan learning by doing.
Pembimbingan untuk mengikuti lomba karya tulis dan lomba karya ilmiah remaja juga perlu untuk mengasah learning by doing. Karena tiap siswa mempunyai irama dan tempo kecepatan pemahamannya sendiri, maka dalam kegiatan ini, guru akan terlatih untuk berubah dari instruktur (yang sekedar menyuruh dan menunggu hasil) menjadi pendamping siswa (yang selalu berusaha mencarikan jalan keluar terbaik dari kesulitan yang dialami siswa), suatu langkah besar untuk menuju pada pembimbingan siswa yang menghargai proses.
Pembimbingan kegiatan ekskul lintas ilmu, misalnya drama musikal (ekskul ini diperlukan untuk menunjang mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Agama, KTK, SBK dan PKn), PMR (kegiatan ini diperlukan dalam menunjang mata pelajaran biologi, kimia, farmasi, PKn, Pendidikan Agama, Olahraga dan Kesehatan, serta dapat bersinergi dengan kegiatan Pramuka dan UKS), KIR (kegiatan ini akan sangat menunjang pemahaman siswa terhadap metodologi penelitian sosial, IPA dan penelitian sastra, yang diperlukan dalam semua bidang keilmuan di sekolah) dll. Pembimbingan kegiatan ekskul lintas ilmu akan sangat membantu meluaskan cakrawala pengetahuan dan meningkatkan kemampuan "mendengar" dari para guru - suatu hal penting yang sering diabaikan dalam persekolahan kita.
Apa yang dituju?
PTK merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KTSP. KTSP itu sendiri tidak mempunyai nilai bila tidak dilengkapi dengan PTK. Lalu untuk apa guru harus bersusah payah membuat PTK (di perguruan tinggi disebut assessment kurikulum)? Untuk mewujudkan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang disosialisasikan dengan Permen No. 19 bulan Mei 2007 (Baca juga tulisan "Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?" dalam EDUCARE, No. 3/V/juni 2008 halaman 39) yang intinya ialah mendorong sekolah menjadi rumah kedua bagi para guru dan siswanya.
Dimuat di Majalah EDUCARE, No. 4/V/Juli 2008 halaman 40-42
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar