Altruisme adalah sikap yang tidak mementingkan diri sendiri. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi. Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan.
(Georges He’rbert – Being Strong to be Useful)
Puluhan tahun yang lalu, ketika siaran TV belum mendominasi ruang publik dan games (baik games yang virtual maupun yang manual) belum merajai alam bawah sadar anak-anak dan remaja kita, pendidikan budi pekerti yang berujung pada pembentukan empati mendapat pijakannya dalam kisah petualangan Huckleberry Finn, keberanian Tom Sawyer, ketabahan Oliver Twist, semangat persahabatan yang diusung dalam cerita-cerita Old Shaterhand dan Winnetou, kenekatan Tintin dalam menantang ketidak adilan, serta semangat tolong menolong yang dicontohkan si Huma dan sahabatnya si Windy. Pada masa itu, ada begitu banyak tulisan, cerita dan film yang sangat bermutu dan berpengaruh besar dalam perkembangan jiwa seseorang. Cerita-cerita di atas mendorong tumbuhnya semangat instingtif yang menginspirasi generasi muda kala itu untuk menampik kekerasan karena tahu bahwa kekerasan itu melukai orang lain. Sehingga kita harus memperlakukan orang lain dengan baik karena tahu bagaimana rasanya jika kita diperlakukan dengan buruk. Anak-anak dan remaja mengidolakan Zorro, Spiderman, Robin Hood, dll. Dengan demikian akan muncul sebuah kesadaran untuk ingin berguna bagi orang lain karena adanya sebuah stimulan berupa tulisan, cerita dan film yang bermutu, yang secara tidak langsung memberikan format karakter seseorang dengan bantuan moral cerita yang kemudian menjadi behavior atau sikap.
“Apa yang anda miliki dan anda lakukan, akan berdampak dan memiliki sebuah pertangung-jawaban pada saatnya”
(Ben Parker, dalam Spiderman 1)
Mengapa tulisan, cerita dan film pada masa itu bisa berdampak besar pada pembentukan nurani? Karena sifatnya yang inovatif (mampu memenuhi “keliaran” imaji anak-anak), efektif dalam menyampaikan pesan moral, relevan dengan nilai kehidupan, keberlanjutan jalan ceritanya terjamin (mengikuti perkembangan usia anak) dan replikatif (bisa diadopsi dalam hidup keseharian anak-anak)
Penghapusan pelajaran Budi Pekerti
Penghapusan pelajaran Budi Pekerti dan menggantinya dengan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sarat indoktrinasi, bukan hanya menghapuskan fase refleksi dalam menyerap aneka informasi tetapi juga mempengaruhi kebijakan yang “ramah anak”. Anak-anak dan remaja kemudian dijejali dengan berbagai pengetahuan kognitif untuk mengejar target kurikulum, sehingga waktu bermainnya hilang untuk mengikuti macam-macam les atau bimbel. Pembentukan kepribadiannya diracuni dengan model pendidikan eksklusif seperti RSBI dan SBI yang memunculkan “kasta” baru sejak dini. Kekerasan verbal berupa hardikan : “malas”, “bodoh”, serta kekerasan struktural berupa pengabaian akan bakat dan minat anak meraja lela. Anak yang berbakat musik tetapi prestasinya dalam matematika jelek, dianggap bodoh. Anak laki-laki yang mau belajar memasak karena terinspirasi para chef di hotel-hotel berbintang, dianggap banci. Anak yang tidak berhasil diterima di sekolah favorit (RSBI) – hanya diterima di sekolah Taman Siswa atau PGRI, dianggap “gagal”, dll.
Banyak orang tidak menyadari bahwa kekerasan pada anak (kekerasan verbal atau kekerasan struktural) bisa menyebabkan kerusakan permanen pada otak. Ketika anak-anak dihina, diabaikan atau tak disayangi, otak emosional mereka melengkung. “Program” biologis yang memungkinkan manusia bersimpati pada orang lain menjadi mati. Kekejaman membuat kita kejam. Kejahatan membuat kita jahat. Itulah lingkaran setan yang diawali dari pendidikan nir makna, pendidikan tanpa pekerti. Inilah penyebab mengapa masyarakat saat ini mudah terjebak dalam perilaku kekerasan (tawuran, bullying, dll).
Mengapa pendidikan Budi Pekerti itu perlu ?
Seruan untuk menghidupkan kembali pelajaran Budi Pekerti tanpa disertai sarana pendukungnya (tulisan, cerita, film dan lagu anak-anak yang berkualitas) akan berakibat pada kelahiran generasi Harry Potter, generasi yang “berumah di awan”, generasi yang terputus dari dunia nyata, generasi yang hidup di alam games, yang tidak ada kaitannya dengan pranata sosial.
Sarana pendukung pelajaran Budi Pekerti itu bukan sekedar pelengkap. Tulisan, cerita, film dan lagu anak-anak yang berkualitas itu merupakan sarana pengambilan keputusan moral pada anak-anak yang seringkali berujung pada rasa simpati dan menumbuh kembangkan semangat berbagi atau istilah kerennya : menumbuhkan rasa kesetia-kawanan sosial. Hal ini merupakan titik awal tumbuhnya sikap altruistik.
Mengapa peri-laku altruistik itu bisa muncul? Sebab berperi-laku altruistik yang ditumbuhkan melalui sarana pendukung yang baik (tulisan, cerita, film dan lagu anak-anak yang berkualitas) itu akan terasa enak (menimbulkan kepuasan batin). Otak anak-anak telah distimulir sedemikian rupa sehingga bersedekah itu menyenangkan, bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman, berkorban bagi orang lain merupakan tabungan amal (bukan pekerjaan sia-sia seperti pahlawan kesiangan), dll.
Apa yang harus dilakukan?
Meratapi hilangnya pendidikan Budi Pekerti itu ibarat ingin memutar kembali jarum jam. Lalu apa yang harus dilakukan? Kembali ke alam nyata, kembali ke generasi platinum. Generasi ini lahir di masa keterbukaan teknologi, keterbukaan cara berpikir, keterbukaan berperilaku, serta ketersediaan sarana pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Anak-anak generasi platinum memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengakses dan mengakomodir informasi sehingga mereka memiliki kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya.
Pendidikan apa yang cocok untuk generasi platinum ini? Pendidikan model social entrepreneurship untuk menumbuhkan kepedulian sosial.
Pendidikan ini menurut hemat penulis, bertumpu pada kreativitas, efektivitas, relevansi, kesinambungan, aspek kunci dan replikasi.
Kreativitas :
Anak-anak sejak awal diajar untuk belajar lintas ilmu, misalnya anak-anak dilatih untuk membuat akuarium tanpa oksigen (tanpa pompa gelembung udara) dan tanpa pelet makanan ikan. Dengan demikian mereka belajar mencari tumbuhan air penghasil oksigen, lalu mencari keong atau siput pemakan kotoran atau lumut sebagai penjaga kebersihan akuarium, kemudian mencari jenis-jenis ikan pemakan daun tumbuhan air, sehingga tumbuhan air itu terpangkas secara alami (tidak tumbuh lebat di dalam akuarium). Apakah ada jenis ikan seperti itu? Ada. Misalnya gurame, patin, udang air tawar, dll. Maka sesungguhnya anak-anak telah belajar biologi lingkungan, biokimia, kimia organik, dan tehnik lingkungan serta ilmu ekonomi (menghitung keuntungan ketika ikan itu dijual).
Atau anak-anak sejak awal diajar untuk membuat hidroponik. Dengan demikian, anak-anak sejak dini diajak untuk belajar biologi, kimia pupuk, fisika fluida, hama dan penyakit tanaman serta menghitung laba dari hasil panen hidroponik.
Efektivitas :
Anak-anak diajar untuk “membumikan” ilmu yang telah dipelajarinya. Misalnya dalam matematika, anak-anak belajar tentang operasi hitung. Maka pelajaran tidak berhenti sampai anak bisa melakukan operasi hitung (penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian) tetapi dibuat relevan dengan kehidupan riil. Satu kelompok anak pergi ke tempat pembuatan tahu : mereka menghitung modal untuk pembuatan tahu, mengamati cara pembuatannya sehingga mereka bisa menghitung biaya operasional pembuatan tahu, lalu supaya untung, tahu itu harus dijual berapa? Kalau tidak laku? Bagaimana tukang tahu itu menghidupi keluarganya (padahal harga tahu itu relatif murah)?
Satu kelompok anak yang lain pergi ke tempat angkringan : mereka menghitung modal untuk membuat nasi kucing dan aneka lauknya, mengamati cara pembuatannya sehingga mereka bisa menghitung biaya operasionalnya, lalu supaya untung nasi kucing itu harus dijual berapa? Kalau tidak habis terjual? Bagaimana tukang angkringan itu bisa menghidupi keluarganya (padahal harga nasi kucing itu relatif murah)?
Kelompok anak yang lain, pergi ke tempat lain yang harga jualnya relatif murah, misalnya ke tempat pembuatan kerupuk, dll. Lalu mereka sharing di kelas. Masing-masing mengemukakan temuannya.
Relevansi :
Anak-anak diajak untuk mempraktekkan apa yang sudah didapat selama kegiatan belajar-mengajar. Misalnya setelah satu semester belajar IPA, mereka diajak memikirkan bahwa ada begitu banyak sayuran yang tak terjual di pasar tradisional dan terancam membusuk. Mau diapakan sisa sayuran itu? Contoh : dibuat menjadi kimchi (bagaimana resepnya?), atau dibuat jadi tempura (bagaimana cara mengorengnya?), atau dibuat menjadi acar (bagaimana caranya?), atau dibuat menjadi sayur asin (bagaimana cara fermentasinya?), dll. Setelah anak-anak terlatih, mereka dapat diajak melatih para pedagang sayur di pasar untuk memberi nilai tambah (added value) pada jualan sayurnya.
Atau setelah satu semester belajar bahasa Inggris, anak-anak diajar untuk berlatih drama musikal dalam bahasa Inggris, mementaskannya dengan mencari donasi dan sponsor, penjualan tiket, lalu menghitung keuntungan pentas drama musikal itu. Kemudian secara bersama, memutuskan hasil keuntungan itu akan disumbangkan kemana.
Kesinambungan :
Apa yang sudah dikerjakan di SD harus tetap relevan untuk dikembangkan di SMP dan SMA. Misalnya : pada pembuatan akuarium tanpa oksigen dan tanpa pelet ikan di atas. Untuk tingkat SMP dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang rantai makanan dan untuk tingkat SMA dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang derajat keasaman (pH) yang optimal bagi pertumbuhan flora dan fauna air tawar di akuarium.
Untuk hidroponik di atas, pada tingkat SMP dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang jenis-jenis tanaman apa yang cepat panen dan harga jualnya tinggi. Pada tingkat SMA dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang cairan pupuk organik (lindi) apa yang cocok untuk tanaman A, dan lindi apa yang cocok untuk tanaman B (sebagai pengganti pupuk kimia yang selama ini dipakai dalam hidroponik di SD dan SMP)
Tujuan utama dari program kesinambungan ini adalah efisiensi : efisiensi biaya, efisiensi waktu dan efisiensi tenaga pembimbing.
Aspek Kunci :
Keterkaitan situasional : keterkaitan antar pelajaran dan dengan situasi masyarakat.
Perencanaan pembelajaran mesti lintas ilmu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya anak-anak yang tinggal di daerah kering seperti NTT, sejak awal sudah diajar dalam biologi untuk menanam tanaman-tanaman penyerap air sehingga dalam musim kemarau, penduduk tidak kesulitan memperoleh air, misalnya menanam tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), pohon kelor (Moringa oliefera Lamk.), bambu (Gigantolochloa apus kurz), pisang (Musa paradisiaca L.), kelapa (Cocos nucifera), dll. Dimana lintas ilmunya? Tanaman-tanaman itu dapat dimanfaatkan menggunakan pengetahuan kimia, fisika, teknologi pangan dan gizi, misalnya buah belimbing wuluh dapat dibuat menjadi manisan belimbing, daun kelor dapat dimasak menjadi sayur bening, tunas bambu (rebung) dapat dimasak menjadi sayur lodeh rebung atau menjadi isi lumpia, buah pisang dapat diolah menjadi sirup pisang, dll
Dalam contoh di atas : akuarium tanpa oksigen dan tanpa pelet ikan. Bila masyarakat hidup di pesisir (banyak ikan laut) tentu tidak relevan bila akuarium diisi dengan ikan air tawar (gurame, mujair, dll), ukuran ikannya terlalu kecil dibandingkan dengan hasil tangkapan ikan laut yang ada, maka sebaiknya akuarium diisi dengan udang air tawar (Cambarus virilis) sehingga aquarium itu bisa memberi nilai tambah (added value) gizi pada lingkungannya.
Replikasi :
Apa yang sudah dikerjakan anak-anak tahun lalu harus tetap menarik untuk dikerjakan oleh anak-anak generasi baru. Sehingga culture (budaya) untuk selalu memikirkan kepentingan orang lain dan mau berkorban bagi orang banyak tetap dapat ditumbuh-kembangkan secara lestari. Kuncinya adalah penguatan pada langkah-langkah Kreativitas dan Efektivitas. Kegagalan pada perumusan kedua langkah ini akan menyulitkan pembentukan peri-laku altruistik (sesuai dengan pesan Georges He’rbert – Being Strong to be Useful : hanya yang kreatif dan efektif yang dapat berkorban bagi orang lain secara sinambung).
Kesimpulan :
- Pendidikan Budi Pekerti membutuhkan perangkat pelengkap yang menunjang (tulisan, cerita, film dan lagu anak-anak yang berkualitas)
- Pendidikan untuk menciptakan semangat altruistik tidak melulu harus bergantung pada keberlangsungan pendidikan Budi Pekerti
- Generasi platinum sudah terputus ingatan kolektifnya dengan pendidikan Budi Pekerti.
- Oleh sebab itu perlu diterapkan pendidikan model social entrepreneurship untuk menumbuhkan kepedulian sosial. Pendidikan ini bertumpu pada kreativitas, efektivitas, relevansi, kesinambungan, aspek kunci dan replikasi.
- Peri-laku altruistik yang ditumbuhkan melalui pendidikan model social entrepreneurship itu akan terasa enak (menimbulkan kepuasan batin). Otak anak-anak telah distimulir sedemikian rupa (melalui kreativitas, efektivitas, relevansi, kesinambungan, aspek kunci dan replikasi) sehingga bersedekah itu menyenangkan, bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman, berkorban bagi orang lain merupakan tabungan amal (bukan pekerjaan sia-sia seperti pahlawan kesiangan), dll.
- Jadi pendidikan model social entrepreneurship untuk menumbuhkan kepedulian sosial ini mampu mengembangkan sikap altruistik (bukan sekedar mengembangkan sifat filantropi).