BSM Edu

Jumat, 30 September 2011

MANAJEMEN KURIKULUM ataukah MANAJEMEN SEKOLAH? Salah Kaprah atau Ketidak-pedulian?


        Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! , penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri.  Dalam tulisan itu, penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
        Namun amat disayangkan bahwa ada sekolah-sekolah swasta yang terkesan hanya mengikuti sepotong-sepotong sehingga terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan,  maupun terobosan dan revitalisasi, seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu.  Mengapa ini semua terjadi?  Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan.  Menskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tetapi sekolah-sekolah tetap melihatnya secara adem ayem saja.   Apa sebabnya?
        Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur.  Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit (itu sebabnya kita tidak perlu larut dalam kontroversi program uji sertifikasi guru dan UAN), begitu juga kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secra jelas dan terukur.  Program audit pendidikan ini harus kita dukung karena selama ini kta tidak punya tolok ukur kemajuan yang kita capai.  Audit memungkinkan kita tidak terjebak dalam "business as usual" (adem ayem saja, tidak neko-neko dan apatis).  Memang ada ritual audit yang diselenggarakan tiap 4 tahun sekali seperti akreditasi sekolah yang dilakukan oleh BAS (Badan Akreditasi Sekolah), tapi itu hanya audit administrasi sekolah, bukan audit manajemen sekolah.

Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan
        Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W.Airisian, Mills, dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat.  Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja, sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri.  Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan.  Orang-orangpun hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tidak membumi.  Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah.  Transparansi dan akuntabilitas hanya dpahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa. 
        Akibatnya akan muncul kesalah-pahaman massal yaitu menganggap pangadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru, seperti penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif (hard competency)  secara on-line, atau SAS (sistim administrasi sekolah) yang tidak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik.   (Namun proses pemelajaran sangat berbeda dengan proses pembelajaran - proses pemelajaran yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tidak terakomodasi dalam SAS).
        Dengan kata lain, soft competency para siswa tetap tak terpantau, atau SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) - yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data di server Yayasan (dan sifatnya tertutup) - menjadi terbuka dan dapat diakses oleh publik melalui SIMS/SIMDIKDU. Namun hal ini tidak menjawab pertanyaan : bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru).   Kalau semua data sudah bisa disatukan di bank data dan dapat diakses publik, so what gitu lho?   Apakah sekolah lalu siap untuk maju dalam sertifikasi ISO 9000 (audit manajemen berstandar internasional) ? 

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
        Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa manajemen kurikulum sangat berbeda dengan pengertiannya dengan manajemen sekolah.  Meskipun MBS pernah disosialisasikan pada tahun 1994 (bersamaan dengan sosialisasi kurikulum 1994) dan para guru pernah ditatar tentang MBS, namun penerapannya tidak pernah dimonitor.  Apa tolok ukurnya?  Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asesor.  Para Kepala Sekolah tidak pernah ditatar dalam pembuatan Analisis SWOT yang benar, akibatnya, W (weakness) tetap menjadi kekurangan sekolah, tanpa ada campur tangan Yayasan/Komite Sekolah untuk meningkatkannya menjadi S (strength) , sedangkan T (threats) tetap menjadi batu sandungan bagi sekolah, tanpa ada kemampuan untuk mengatasinya dan mengubahnya menjadi peluang emas (O : Opportunities) menghadapi persaingan regional.  Akibatnya, Analisis SWOT hanya menjadi salah satu buku yang memenuhi almari Kepala Sekolah.
        Lalu bagaimana jalan keluarnya?  Ya, kembali ke filosofi pendidikannya.  Akreditasi ditujukan untuk meningkatkan kualitas manajemen sekolah agar para guru mampu bersaing secara regional.  Untuk melangkah maju, para guru harus selalu mendokumentasikan capaiannya agar tidak terjadi duplikasi sehingga
para guru dapat terus mengevaluasi diri  dengan model portofolio (memetik pelajaran dari pengalaman proses pemelajaran sebelumnya) , yaitu mampu mengukur hard competency dan soft competency yang ada dalam diri setiap siswa.
        Untuk membuat akreditasi menjadi satu langkah pendahuluan (prerequisite) dalam menuju sertifikasi ISO 9000, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Mendiknas (Permen) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :

(1) Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu manajemen persekolahan, yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru penanggung jawab tiap bidang. Dengan demikian. guru terformulasi untuk tidak hanya terpaku mengajar, tapi juga mengaitkannya dengan Visi dan Misi sekolah (think globally, act locally).
(2). Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.
(3). Dokumen III tentang audit keinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan.

Jadi ada tiga jalan untuk memperbaiki kinerja sekolah dan memacu sekolah-sekolah agar tidak tetap adem ayem yaitu :
(1).  Menerapkan Permen No. 22, No. 23 dan No. 24 tahun 2006 tentang KTSP secara benar (membuat Dokumen I dan Dokumen II secara lengkap) serta melangkapinya dengan Permen No. 19 tahun 2007 tentang MBS dengan sasaran meraih sertifikat ISO 9000.  Bagaimana caranya?  Pihak Yayasan/Komite Sekolah harus membuat laman (website) sekolah yang bersifat inter-aktif dan memuat data guru, silabus serta PBK (penilaian berbasis kelas) seperti yang termaktub dalam PP No. 19 tahun 2005.  Bila Yayasan/Komite Sekolah kurang mampu mengusahakan laman yang membutuhkan bandwidth yang besar dan secara akademik memenuhi kriteria sekolah on-line, maka Yayasan/Komite Sekolah dapat bergabung dengan Oracle Education Foundation untuk mengisi laman Think.com - (laman komunitas pemelajaran inter-aktif internasional dimana para guru, siswa dan orang tua dapat saling berinter-aksi dengan komunitas pendidikan lain di seluruh dunia secara on-line) - yang training-nya gratis dan penyediaan data base-nya tak terbatas.
(2). Menjajaki langkah-langkah untuk memulai penerapan SKS (sistim kredit semester), sebab dengan persiapan menuju ke SKS, pihak Yayasan/Komite Sekolah dan pihak sekolah dipaksa untuk memperbaiki manajemen persekolahan menuju pada penerapan moving class dan MBS.  Dengan demikian, secara prinsipiil, cara pandang dan pola pikir (mind set) semua stakeholders akan berubah, dari menilai/menghakimi siswa (transformatif, generatif dan transmission) menjadi menghargai proses sekecil apapun partisipasi yang ditunjukkan oleh siswa (kognitivisme, behaviorisme dan kontrukstivisme). 
Sistim manajemen akan berubah dari sekedar urusan administrasi sekolah menjadi menajemen pendidikan (MBS).

Tentang Panduan SKS ini dapat dilihat di Kompas, Rabu 25 Agustus 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA, Panduan Sudah Disebarkan - bila anda sudah tidak menyimpan Kompas cetak ini, anda masih dapat mengunduhnya di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5

(3). Mengadopsi kurikulum internasional seperti IB, Cambridge, GAC, dll. sebab dengan diterapkannya kurikulum internasional ini, maka pola manajemennya juga harus disesuaikan dengan tuntutan pemerolehan akreditasinya yang mengacu pada pemenuhan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, bukan sekedar pengajaran yang bermutu.

Lalu bagaimana bila Yayasan/Komite Sekolah atau pihak sekolah tidak berminat untuk meraih sertifikat ISO 9000?  Ada tiga jalan, yaitu :
(1). Mengadopsi pola sekolah alternatif, seperti SD Mangunan di Yogya, yang dirintis oleh alm Romo Y.B.Mangunwijaya Pr. dan mengembangkannya sampai ke tingkat SMP dan SMA.   ...atau
(2).  Membangun sekolah komunitas, seperti yang disyaratkan dalam RUU BHP (Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) dimana semua stakeholders berperan serta dalam menentukan kemajuan dan mutu pendidikan dan pengajaran di sekolah (peran Yayasan menjadi minimalis) .... RUU BHP ini sudah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi), maka ...
(3). Meningkatkan status sekolah dari sekolah reguler menjadi SSN (sekolah standar nasional), syukur kalau bisa ke jenjang RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) dan SBI (sekolah bertaraf internasional) agar manajemen perubahan (change dan challenge) dapat diterapkan secara simultan.

Apapun jalan yang dipilih, sekolah tidak boleh berhenti melangkah atau arus penutupan sekolah-sekolah swasta yang sudah terjadi di desa-desa akan merambah ke sekolah-sekolah swasta yang selama ini dinilai bisa survive.  Mohon diingat bahwa menurut klausul WTO (World Trade Organization) , dunia pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing sehingga kemungkinan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional akan makin besar.

Dimuat di Majalah EDUCARE No. 3/V/Juni 2008 halaman 38-40

SAS, Belenggu Lain Otonomi Sekolah


        Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 22, 23 dan 24 tahun 2006, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menyusun kurikulum pada masing-masing unit pendidikan (sekolah) yang kita kenal sebagai KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan).  Dengan demikian Pemerintah telah menggaris bawahi amanat tut wuri handayani yang mensyaratkan otonomi sekolah dan otonomi guru pada porsi yang tepat.  Hal ini telah saya singgung secara panjang lebar pada tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP;  Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?.
        Maka agak aneh bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, melalui Dinas Dikmenti (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi) menganjurkan penyeragaman sistim pelaporan hasil pembelajaran (bukan proses pemelajaran yang dipentingkan) menurut versi mereka yang disosialisasikan sebagai SAS (Sistim Administrasi Sekolah) tanpa memberi alternatif lain bagi pengembangan otonomi sekolah dan guru.  Sementara BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan Puskur (Pusat Kurikulum) menghindari segala bentuk penyeragaman, justru Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta menggebu-gebu dalam memonolitikkan proses kreatif pemelajaran termasuk sistim pelaporannya yang variatif.
        Sebenarnya gejala ketidak-sinkronan kebijakan Pemda dan Pemerintah Pusat sudah terliaht pada saat Dinas Dikmenti mengabaikan sosialisasi ke-15 langkah penyusunan KTSP sehingga menimbulkan kerancuan cara pandang dan cara pemahaman orang terhadap KTSP.  KTSP lalu dipandang sebagai sekedar urusan administrasi guru dan bukan proses kreatif dalam tataran filosofi pendidikan.  Apa tolok ukurnya?  Maraknya penjualan Silabus dan pencantuman Silabus di buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Jakarta, padahal seharusnya Silabus disusun sendiri oleh guru pada langkah ke 13 dari rangkaian 15 langkah penyusunan KTSP.  Atau masih digunakannya Silabus dari hasil penataran KBK (kurikulum berbasis kompetensi) 2004 di Puncak (Jawa Barat) yang konsepnya sudah jauh berbeda dengan KTSP.  Silabus versi KBK 2004 itu tidak mencantumkan kolom Pengalaman Belajar, yang hanya dapat diperoleh bila guru sudah melakukan Analisis Esensi Materi (langkah ke-6 dari penyusunan KTSP).  Pengisian kolom ini tak bisa direkayasa, karena harus melewati 5 langkah berurut sebelum sampai ke langkah ke-6 itu. 
        Tolok ukur yang lain adalah permintaan Dinas Dikmenti agar KTSP semua SMA dikumpulkan pada bulan Mei 2007 (padahal buku Panduan KTSP yang disusun oleh BSNP baru turun bulan Agustus 2006) sehingga komunitas pendidikan tidak mempunyai kesempatan untuk memahami hakekat dan filosofi dari KTSP, yaitu adanya perubahan paradigma dari kegiatan belajar-mengajar menjadi proses pemelajaran (yang diwujudkan dalam langkah ke-4 dan ke-5 dari proses penyusunan KTSP yaitu Penyusunan Indikator Pemelajaran holistik yang meliputi aspek kognitif (C1 - C6), Psikomotor (P1 - P7), Afektif (A1 - A5) dan Kecakapan Hidup (LS1 - LS6) serta Model Pemetaan Taksonomi dengan perubahan diagnosis dari menghakimi siswa menjadi menghargai siswa (yang dieja-wantahkan dalam langkah ke-16 (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke-17 (Catatan Kompetensi).
        Akibatnya semua SMA mengumpulkan KTSP menurut versi masing-masing, bukan versi BSNP-Puskur-Ditjen Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas) yang mensyaratkan pembuatan Dokumen I KTSP (Isi Pendidikan yaitu penjabaran Visi dan Misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari, strategi untuk mewujudkan visi dan misi sekolah, serta upaya untuk mengatasi kendala yang timbul) dan Dokumen II KTSP (Struktur Kurikulum, Proses Pemelajaran dan Evaluasi serta Keunggulan Lokal) - lihat website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id/  lalu klik Dikdasmen terus klik KTSP.
        Anehnya sekolah yang tidak mengumpulkan KTSP tidak mendapat sanksi apa-apa dari Dikmenti dan sekolah yang sudah memasukkan KTSP-nya juga hanya mendapat masukan atau umpan balik sekedarnya dari Dikmenti (bukan HOT/Higher Order of Thinking dari Model Pemetaan Taksonomi), sehingga perbaikan signifikan tidak terjadi.  Business as usual.  Sekolah berjalan menurut irama dan pola yang lama.  Kalau Dikmenti berkilah bahwa tidak ada format baku KTSP mengingat adanya otonomi sekolah dan otonomi guru, lalu untuk apa Dikmenti mensosialisasikan SAS dan memaksa secara halus agar pihak sekolah mengadopsi SAS?  Dikmenti itu Dinas Pendidikan atau Dinas Persekolahan?  Kalau kepanjangan dari Dikmenti itu adalah Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, lalu untuk apa Dikmenti terjun mengurusi administrasi sekolah?  Dan kekuatiran itu terbukti sekarang, KTSP dianggap sama dengan SAS dan karena itu perumusan kurikulum dianggap hanya tugas administratif saja, sebab evaluasi HOT tidak dikenal sebagai rangkaian akhir dari KTSP.  Akibatnya Dokumen I dan Dokumen II KTSP kehilangan maknanya.  Kompetensi guru (yang akan diuji melalui sertifikasi guru) juga kehilangan rohnya.  UAN (ujian akhir nasional) yang dimaksudkan untuk audit kinerja guru dan sekolah kehilangan relevansinya dengan MBS (manajemen berbasis sekolah).

Mengapa Harus SAS?
        UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 38 ayat 2 mengemukakan azas otonomi sekolah dan otonomi guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri.   Sedangkan isi pasal 39 ayat 1 mengemukakan kewenangan guru untuk melakukan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan; Pasal 39 ayat 2 mengemukakan wewenang guru dalam merencanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran.  Dengan demikian, otonomi sekolah dan otonomi guru dijamin oleh UU dan tak boleh dilanggar oleh Pemda dan Dinas Dikmenti.  Apalgi bila mengacu pada Kep.Mendiknas No. 125/U/2002 pasal 1 disebut bahwa Dinas Provinsi adalah Dinas yang menangani bidang pendidikan di provinsi (bukan bidang persekolahan).  Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa ulangan harian dan ulangan umum merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang diselenggarakan oleh sekolah (tidak ada satu katapun yang menyebutkan bahwa proses dan hasil evaluasi harus dimasukkan dalam bank data Dinas Provinsi melalui SAS).
        Hal kedua yang menjadikan SAS amat mengacaukan hakekat dari KTSP adalah ketidak-sinkronannya dengan proses pembuatan KTSP.  Bila disadari bahwa sekolah dan guru berhak menyusun kurikulumnya sendiri, maka sebagai data base, SAS sama sekali tidak berguna karena setiap guru akan menyusun Indikator Pemelajaran, KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal), Silabus serta item-item dalam Penilaian Berbasis Kelas yang berbeda - dengan perbedaan signifikan ini apakah data base itu dapat dianalisa?    Kalau SAS dari berbagai sekolah sudah berhasil dikumpulkan di data base Dikmenti, so what gitu lho?  Bukankah KTSP dari begitu banyak sekolah yang sudah dikumpulkan sejak Mei 2007 di Dikmenti juga tidak diproses lebih lanjut ke tingkat HOT?
        Kalau tujuan dari SAS adalah untuk pemetaan sekolah, maka hal ini juga merupakan pemborosan karena pihak Depdiknas (Pemerintah Pusat) juga sudah melakukan pemetaan sekolah di seluruh Indonesia yang dapat diakses melalui website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id  lalu klik Peringkat Sekolah dan Direktori Sekolah. 
        Kalau tujuan dari SAS adalah untuk membuat proses pemelajaran menjadi transparan dimana orang tua dan masyarakat dapat memantau kemajuan peserta didik, maka alasan ini juga kurang dapat diterima, mengingat ada begitu banyak sarana-prasaran pendidikan di dunia maya yang dapat dimanfaatkan tnpa mengganggu otonomi sekolah dan guru.  Misalnya : Dinas Dikmenti dapat memberdayakan website sekolah, atau mengoptimalkan jalannya Sekolah On-line Indonesia yang disponsori PT Telkom, atau mendorong keaktifan sekolah-sekolah yang terdaftar dalam laman (website) sch.id yang dikembangkan oleh Depkominfo atau menjalin kerja sama dengan situs pendidikan yang dikelola oleh Oracle Education Foundation yaitu Think.com (http://www.think.com) - kominitas pembelajar maya dimana publik dapat mengakses situs sekolah dimanapun juga di seluruh dunia tanpa memerlukan password.  Semua situs itu sifatnya gratis, tidak seperti SAS yang membebani sekolah sebesar Rp. 40 juta per sekolah.
Bahkan Pengawas di Jakarta Selatan berusaha menakut-nakuti para Kepala Sekolah dengan mengatakan : Kalau tidak ikut SAS, nanti tidak boleh ikut UAN, atau SAS akan diperluas penerapannya sampai ke jenjang SMP?   Lho, dasar hukumnya apa (untuk melanggar otonomi sekolah dan otonomi guru yang dijamin oleh UU Guru dan Dosen) ??
        Kalau tujuan dari SAS adalah membuat proses kreatif pemelajaran dan evaluasi menjadi inter-aktif, maka masih banyak pilihan untuk itu, misalnya SMS (Sistim Manajemen Sekolah) yang diperkenalkan oleh MXL Australia (Maximizing eXcellence in Learning), atau SKS (sistim kredit semester) atau membuat laman (website) Dikmenti sendiri menjadi inter-aktif.  Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan dengan SAS di Dikmenti tidak mematikan proses demokrasi di jantungnya sendiri.   Biarlah sekolah memilih apa yang terbaik menurut mereka sendiri.  Segala bentuk otoritarian harus ditentang di jaman reformasi ini. 

Apa yang harus dilakukan?
        Sebaiknya Dikmenti Provinsi DKI Jakarta kembali ke jati dirinya sebagai Dinas Pendidikan dan bukan Dinas Persekolahan.  Sebagai Dinas Pendidikan, fungsinya adalah mendorong terwujudnya MBS (manajemen berbasis sekolah) dan Sekolah Mandiri.  MBS ini dikukuhkan melalui Permen No. 19 bulan Mei 2007 tapi sampai sekarang tak pernah disosialisasikan. 
        Prinsip dari MBS adalah audit kinerja sekolah yang dewasa ini justru terabaikan, bukan hanya karena adanya ketertutupan dalam pengelolaan keuangan dan adanya ketertutupan dalam proses inter-aksi guru dan siswa di kelas sehingga output atau kualitas pendidikan tak teraudit, akibatnya bimbel (bimbingan belajar) dan les privat makin marak saja di Jakarta.
        MBS juga mengukur kinerja guru sehingga guru termotivasi untuk berprestasi dan terus berinovasi karena semua stakeholders akan memantau pencapaian targetnya.  Akibatnya tidak ada guru yang akan menerapkan metode drill dalam menghadapi UAN atau mengkontrakkan bulan-bulan terakhir dari kelas XII SMA kepada Bimbel untuk mengejar nilai tinggi dalam UAN, karena cara-cara ini merupakan pengkhianatan terhadap proses memanusiakan manusia muda (proses karbitan itu hanya akan menciptakan manusia-manusia yang ingin mencapai hasil instant dan mengabaikan proses (Prof.Dr. N. Driyarkara SJ dalam Pendidikan Nilai-nilai Hidup)
        Sekolah Mandiri bukan hanya mendorong sekolah swasta supaya mandiri secara finansial, tetapi juga mewujudkan otonomi sekolah dan otonomi guru dalam arti yang seluas-luasnya.  Sehingga sekolah dapat didorong untuk mendirikan unit litbang, mempunyai bank soal dan kemampuan menganalisis soal, mempunyai bank data sendiri (mampu mengelola data base sendiri) dan merealisir website sekolah yang inter-aktif.  Dengan demikian, Dikmenti tidak usah bersusah payah mengorganisir bank data atau data base sekolah melalui SAS.
        Jadi mengutip Dr. Mochtar Buchori dalam temu darat Forum Pembaca Kompas tanggal 1 September 2007 yang lalu, sebaiknya Dikmenti berkonsentrasi mengurus difokuskannya kurikulum (KTSP) pada 6 wilayah makna, yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis sehingga KTSP tidak direduksi menjadi sekedar masalah administrasi (SAS).  Dengan demikian, mengacu pada Questioner BAS (Badan Akreditasi Sekolah) dalam butir No. 54 dari Evaluasi Diri, sekolah dapat menyebutkan berbagai alternatif penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat tidak hanya melalui SAS, tetapi juga melalui website-nya sendiri atau melalui media sekolah on-line yang lain.  Sekali lagi, penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat bukan monopoli Dikmenti Provinsi DKI Jakarta (padahal sampai sekarangpun data itu tidak pernah bisa diakses oleh para orang tua murid - tidak sesuai dengan janji Dikmenti dulu) dan data base sekolah yang sudah dipunyai Depdiknas (Pemerintah Pusat) hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal.
        Kekacauan yang ditimbulkan oleh SAS tidak cukup diredam dengan memutasikan pejabat yang bersangkutan, lalu meralatnya menjadi sekedar langkah awal menuju e-education, tapi lebih baik bila grand design Depdiknas (Pemerintah Pusat) dipahami secara benar oleh Pemda dan pihak Komite Sekolah atau Yayasan.  Apa wujud grand design itu?

Memahami grand design pendidikan kita
        Penerapan otonomi sekolah dan otonomi guru diwujudkan dalam kemandirian guru dalam menyusun kurikulum yang kita kenal sebagai KTSP.  Bila mengacu pada Bloom, maka ada 15 langkah penyusunan KTSP yang akan menghasilkan HOT (Higher Thinking Order) sesuai dengan Model Pemetaan Taksonomi.
        Untuk dapat menyusun kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan (buka silabus yang asal contek), maka guru harus benar-benar profesional (guru harus lulus program sertifikasi guru dan menjadi tenaga profesional, guru berhak mendapat tunjangan profesi per bulan).  Selama ini guru hanya mendapat tunjangan fungsional (itupun tidak semua sekolah memberikannya) dan Kepala Sekolah/Wakil Kepala Sekolah atau Wali Kelas hanya mendapat tunjangan jabatan.
        Program sertifikasi guru hendaknya tidak dipahami sebagai sekedar ujian profesi tapi lebih dari itu, yaitu uji kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan "keharusan belajar secara terus menerus" (long life education).  Banyak guru sekarang ini mandeg secara akademis.
        KTSP adalah perencanaan guru menuju HOT (Higher Order of Thinking) bukan sekedar persiapan mengajar guru di kelas.  Oleh sebab itu, manajemen sekolah harus dibenahi melalui MBS, karena KTSP menuntut perubahan-perubahan paradigma seperti yang telah saya uraikan dalam tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP;  Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?
        Audit kinerja guru diukur melalui UAN (national exam) dan audit kinerja sekolah dinilai melalui akreditasi sekolah.  Jadi tidak perlu takut dengan UAN karena menurut PP No. 19 tahun 2005 tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan, yang diuji adalah batas minimal dari target pencapaian kurikulum.  Bukankah kita telah menjalaninya secara mulus pada Kurikulum '75 dulu, yang juga mengujikan banyak mata pelajaran?   Dan tidak perlu tergopoh-gopoh bila mau diakreditasi, karena sebenarnya 184 isian Evaluasi Diri dari BAS yang dipergunakan sebagai acuan dalam akreditasi sekolah adalah pendokumentasian kegiatan sehari-hari di sekolah dan bila MBS dijalankan dengan betul, maka sekolah akan mudah memenuhi kriteria Sekolah Standar Nasional (SSN).
          Sekolah-sekolah yang gurunya telah lulus program sertifikasi guru dan berhasil membuat KTSP sampai ke tingkat pemahaman HOT, serta telah menerapkan MBS, dapat meneruskannya ke moving class, yang selanjutnya menuju pada penerapan SKS (sistim kredit semester).   Apakah ada contoh untuk hal ini?  Ada. JIS (Jakarta International School) di Narogong, Jakarta Selatan.  Tapi itu kan sekolah internasional.  Apa ada contoh dari dalam negeri?  Ada. TK Kepompong di kemang, Jakarta Selatan atau SD Kanisius Mangunan di Yogya dan Sekolah Citra Berkat di Surabaya.
         Berdasarkan pengalaman ini, lain kali pihak yayasan/Komite Sekolah harus secara tegas menolak hal apapun yang bertentangan dengan prinsip KTSP.  SAS memang telah diendapkan akibat tentangan dari SMA Kanisius, SMA St.Ursula, SMA Regina Pacis dll, pejabat yang bersangkutan telah dimutasi, tetapi kerancuan yang timbul mungkin tidak pernah dapat diperbaiki lagi.  Lebih baik, Yayasan/Komite Sekolah berkonsentrasi menghadapi persaingan global dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional dimana-mana untuk persaingan di tingkat atas (elite) dan bertumbuhnya sekolah semacam Citra Berkat di tingkat menengah ke bawah.

Dimuat di Majalah EDUCARE, No. 2/V/Mei 2008 halaman 41-44

Perdebatan panjang soal SAS ini dimuat di Wikimu : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8930