BSM Edu

Jumat, 30 September 2011

SAS, Belenggu Lain Otonomi Sekolah


        Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 22, 23 dan 24 tahun 2006, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menyusun kurikulum pada masing-masing unit pendidikan (sekolah) yang kita kenal sebagai KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan).  Dengan demikian Pemerintah telah menggaris bawahi amanat tut wuri handayani yang mensyaratkan otonomi sekolah dan otonomi guru pada porsi yang tepat.  Hal ini telah saya singgung secara panjang lebar pada tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP;  Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?.
        Maka agak aneh bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, melalui Dinas Dikmenti (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi) menganjurkan penyeragaman sistim pelaporan hasil pembelajaran (bukan proses pemelajaran yang dipentingkan) menurut versi mereka yang disosialisasikan sebagai SAS (Sistim Administrasi Sekolah) tanpa memberi alternatif lain bagi pengembangan otonomi sekolah dan guru.  Sementara BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan Puskur (Pusat Kurikulum) menghindari segala bentuk penyeragaman, justru Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta menggebu-gebu dalam memonolitikkan proses kreatif pemelajaran termasuk sistim pelaporannya yang variatif.
        Sebenarnya gejala ketidak-sinkronan kebijakan Pemda dan Pemerintah Pusat sudah terliaht pada saat Dinas Dikmenti mengabaikan sosialisasi ke-15 langkah penyusunan KTSP sehingga menimbulkan kerancuan cara pandang dan cara pemahaman orang terhadap KTSP.  KTSP lalu dipandang sebagai sekedar urusan administrasi guru dan bukan proses kreatif dalam tataran filosofi pendidikan.  Apa tolok ukurnya?  Maraknya penjualan Silabus dan pencantuman Silabus di buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Jakarta, padahal seharusnya Silabus disusun sendiri oleh guru pada langkah ke 13 dari rangkaian 15 langkah penyusunan KTSP.  Atau masih digunakannya Silabus dari hasil penataran KBK (kurikulum berbasis kompetensi) 2004 di Puncak (Jawa Barat) yang konsepnya sudah jauh berbeda dengan KTSP.  Silabus versi KBK 2004 itu tidak mencantumkan kolom Pengalaman Belajar, yang hanya dapat diperoleh bila guru sudah melakukan Analisis Esensi Materi (langkah ke-6 dari penyusunan KTSP).  Pengisian kolom ini tak bisa direkayasa, karena harus melewati 5 langkah berurut sebelum sampai ke langkah ke-6 itu. 
        Tolok ukur yang lain adalah permintaan Dinas Dikmenti agar KTSP semua SMA dikumpulkan pada bulan Mei 2007 (padahal buku Panduan KTSP yang disusun oleh BSNP baru turun bulan Agustus 2006) sehingga komunitas pendidikan tidak mempunyai kesempatan untuk memahami hakekat dan filosofi dari KTSP, yaitu adanya perubahan paradigma dari kegiatan belajar-mengajar menjadi proses pemelajaran (yang diwujudkan dalam langkah ke-4 dan ke-5 dari proses penyusunan KTSP yaitu Penyusunan Indikator Pemelajaran holistik yang meliputi aspek kognitif (C1 - C6), Psikomotor (P1 - P7), Afektif (A1 - A5) dan Kecakapan Hidup (LS1 - LS6) serta Model Pemetaan Taksonomi dengan perubahan diagnosis dari menghakimi siswa menjadi menghargai siswa (yang dieja-wantahkan dalam langkah ke-16 (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke-17 (Catatan Kompetensi).
        Akibatnya semua SMA mengumpulkan KTSP menurut versi masing-masing, bukan versi BSNP-Puskur-Ditjen Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas) yang mensyaratkan pembuatan Dokumen I KTSP (Isi Pendidikan yaitu penjabaran Visi dan Misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari, strategi untuk mewujudkan visi dan misi sekolah, serta upaya untuk mengatasi kendala yang timbul) dan Dokumen II KTSP (Struktur Kurikulum, Proses Pemelajaran dan Evaluasi serta Keunggulan Lokal) - lihat website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id/  lalu klik Dikdasmen terus klik KTSP.
        Anehnya sekolah yang tidak mengumpulkan KTSP tidak mendapat sanksi apa-apa dari Dikmenti dan sekolah yang sudah memasukkan KTSP-nya juga hanya mendapat masukan atau umpan balik sekedarnya dari Dikmenti (bukan HOT/Higher Order of Thinking dari Model Pemetaan Taksonomi), sehingga perbaikan signifikan tidak terjadi.  Business as usual.  Sekolah berjalan menurut irama dan pola yang lama.  Kalau Dikmenti berkilah bahwa tidak ada format baku KTSP mengingat adanya otonomi sekolah dan otonomi guru, lalu untuk apa Dikmenti mensosialisasikan SAS dan memaksa secara halus agar pihak sekolah mengadopsi SAS?  Dikmenti itu Dinas Pendidikan atau Dinas Persekolahan?  Kalau kepanjangan dari Dikmenti itu adalah Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, lalu untuk apa Dikmenti terjun mengurusi administrasi sekolah?  Dan kekuatiran itu terbukti sekarang, KTSP dianggap sama dengan SAS dan karena itu perumusan kurikulum dianggap hanya tugas administratif saja, sebab evaluasi HOT tidak dikenal sebagai rangkaian akhir dari KTSP.  Akibatnya Dokumen I dan Dokumen II KTSP kehilangan maknanya.  Kompetensi guru (yang akan diuji melalui sertifikasi guru) juga kehilangan rohnya.  UAN (ujian akhir nasional) yang dimaksudkan untuk audit kinerja guru dan sekolah kehilangan relevansinya dengan MBS (manajemen berbasis sekolah).

Mengapa Harus SAS?
        UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 38 ayat 2 mengemukakan azas otonomi sekolah dan otonomi guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri.   Sedangkan isi pasal 39 ayat 1 mengemukakan kewenangan guru untuk melakukan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan; Pasal 39 ayat 2 mengemukakan wewenang guru dalam merencanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran.  Dengan demikian, otonomi sekolah dan otonomi guru dijamin oleh UU dan tak boleh dilanggar oleh Pemda dan Dinas Dikmenti.  Apalgi bila mengacu pada Kep.Mendiknas No. 125/U/2002 pasal 1 disebut bahwa Dinas Provinsi adalah Dinas yang menangani bidang pendidikan di provinsi (bukan bidang persekolahan).  Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa ulangan harian dan ulangan umum merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang diselenggarakan oleh sekolah (tidak ada satu katapun yang menyebutkan bahwa proses dan hasil evaluasi harus dimasukkan dalam bank data Dinas Provinsi melalui SAS).
        Hal kedua yang menjadikan SAS amat mengacaukan hakekat dari KTSP adalah ketidak-sinkronannya dengan proses pembuatan KTSP.  Bila disadari bahwa sekolah dan guru berhak menyusun kurikulumnya sendiri, maka sebagai data base, SAS sama sekali tidak berguna karena setiap guru akan menyusun Indikator Pemelajaran, KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal), Silabus serta item-item dalam Penilaian Berbasis Kelas yang berbeda - dengan perbedaan signifikan ini apakah data base itu dapat dianalisa?    Kalau SAS dari berbagai sekolah sudah berhasil dikumpulkan di data base Dikmenti, so what gitu lho?  Bukankah KTSP dari begitu banyak sekolah yang sudah dikumpulkan sejak Mei 2007 di Dikmenti juga tidak diproses lebih lanjut ke tingkat HOT?
        Kalau tujuan dari SAS adalah untuk pemetaan sekolah, maka hal ini juga merupakan pemborosan karena pihak Depdiknas (Pemerintah Pusat) juga sudah melakukan pemetaan sekolah di seluruh Indonesia yang dapat diakses melalui website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id  lalu klik Peringkat Sekolah dan Direktori Sekolah. 
        Kalau tujuan dari SAS adalah untuk membuat proses pemelajaran menjadi transparan dimana orang tua dan masyarakat dapat memantau kemajuan peserta didik, maka alasan ini juga kurang dapat diterima, mengingat ada begitu banyak sarana-prasaran pendidikan di dunia maya yang dapat dimanfaatkan tnpa mengganggu otonomi sekolah dan guru.  Misalnya : Dinas Dikmenti dapat memberdayakan website sekolah, atau mengoptimalkan jalannya Sekolah On-line Indonesia yang disponsori PT Telkom, atau mendorong keaktifan sekolah-sekolah yang terdaftar dalam laman (website) sch.id yang dikembangkan oleh Depkominfo atau menjalin kerja sama dengan situs pendidikan yang dikelola oleh Oracle Education Foundation yaitu Think.com (http://www.think.com) - kominitas pembelajar maya dimana publik dapat mengakses situs sekolah dimanapun juga di seluruh dunia tanpa memerlukan password.  Semua situs itu sifatnya gratis, tidak seperti SAS yang membebani sekolah sebesar Rp. 40 juta per sekolah.
Bahkan Pengawas di Jakarta Selatan berusaha menakut-nakuti para Kepala Sekolah dengan mengatakan : Kalau tidak ikut SAS, nanti tidak boleh ikut UAN, atau SAS akan diperluas penerapannya sampai ke jenjang SMP?   Lho, dasar hukumnya apa (untuk melanggar otonomi sekolah dan otonomi guru yang dijamin oleh UU Guru dan Dosen) ??
        Kalau tujuan dari SAS adalah membuat proses kreatif pemelajaran dan evaluasi menjadi inter-aktif, maka masih banyak pilihan untuk itu, misalnya SMS (Sistim Manajemen Sekolah) yang diperkenalkan oleh MXL Australia (Maximizing eXcellence in Learning), atau SKS (sistim kredit semester) atau membuat laman (website) Dikmenti sendiri menjadi inter-aktif.  Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan dengan SAS di Dikmenti tidak mematikan proses demokrasi di jantungnya sendiri.   Biarlah sekolah memilih apa yang terbaik menurut mereka sendiri.  Segala bentuk otoritarian harus ditentang di jaman reformasi ini. 

Apa yang harus dilakukan?
        Sebaiknya Dikmenti Provinsi DKI Jakarta kembali ke jati dirinya sebagai Dinas Pendidikan dan bukan Dinas Persekolahan.  Sebagai Dinas Pendidikan, fungsinya adalah mendorong terwujudnya MBS (manajemen berbasis sekolah) dan Sekolah Mandiri.  MBS ini dikukuhkan melalui Permen No. 19 bulan Mei 2007 tapi sampai sekarang tak pernah disosialisasikan. 
        Prinsip dari MBS adalah audit kinerja sekolah yang dewasa ini justru terabaikan, bukan hanya karena adanya ketertutupan dalam pengelolaan keuangan dan adanya ketertutupan dalam proses inter-aksi guru dan siswa di kelas sehingga output atau kualitas pendidikan tak teraudit, akibatnya bimbel (bimbingan belajar) dan les privat makin marak saja di Jakarta.
        MBS juga mengukur kinerja guru sehingga guru termotivasi untuk berprestasi dan terus berinovasi karena semua stakeholders akan memantau pencapaian targetnya.  Akibatnya tidak ada guru yang akan menerapkan metode drill dalam menghadapi UAN atau mengkontrakkan bulan-bulan terakhir dari kelas XII SMA kepada Bimbel untuk mengejar nilai tinggi dalam UAN, karena cara-cara ini merupakan pengkhianatan terhadap proses memanusiakan manusia muda (proses karbitan itu hanya akan menciptakan manusia-manusia yang ingin mencapai hasil instant dan mengabaikan proses (Prof.Dr. N. Driyarkara SJ dalam Pendidikan Nilai-nilai Hidup)
        Sekolah Mandiri bukan hanya mendorong sekolah swasta supaya mandiri secara finansial, tetapi juga mewujudkan otonomi sekolah dan otonomi guru dalam arti yang seluas-luasnya.  Sehingga sekolah dapat didorong untuk mendirikan unit litbang, mempunyai bank soal dan kemampuan menganalisis soal, mempunyai bank data sendiri (mampu mengelola data base sendiri) dan merealisir website sekolah yang inter-aktif.  Dengan demikian, Dikmenti tidak usah bersusah payah mengorganisir bank data atau data base sekolah melalui SAS.
        Jadi mengutip Dr. Mochtar Buchori dalam temu darat Forum Pembaca Kompas tanggal 1 September 2007 yang lalu, sebaiknya Dikmenti berkonsentrasi mengurus difokuskannya kurikulum (KTSP) pada 6 wilayah makna, yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis sehingga KTSP tidak direduksi menjadi sekedar masalah administrasi (SAS).  Dengan demikian, mengacu pada Questioner BAS (Badan Akreditasi Sekolah) dalam butir No. 54 dari Evaluasi Diri, sekolah dapat menyebutkan berbagai alternatif penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat tidak hanya melalui SAS, tetapi juga melalui website-nya sendiri atau melalui media sekolah on-line yang lain.  Sekali lagi, penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat bukan monopoli Dikmenti Provinsi DKI Jakarta (padahal sampai sekarangpun data itu tidak pernah bisa diakses oleh para orang tua murid - tidak sesuai dengan janji Dikmenti dulu) dan data base sekolah yang sudah dipunyai Depdiknas (Pemerintah Pusat) hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal.
        Kekacauan yang ditimbulkan oleh SAS tidak cukup diredam dengan memutasikan pejabat yang bersangkutan, lalu meralatnya menjadi sekedar langkah awal menuju e-education, tapi lebih baik bila grand design Depdiknas (Pemerintah Pusat) dipahami secara benar oleh Pemda dan pihak Komite Sekolah atau Yayasan.  Apa wujud grand design itu?

Memahami grand design pendidikan kita
        Penerapan otonomi sekolah dan otonomi guru diwujudkan dalam kemandirian guru dalam menyusun kurikulum yang kita kenal sebagai KTSP.  Bila mengacu pada Bloom, maka ada 15 langkah penyusunan KTSP yang akan menghasilkan HOT (Higher Thinking Order) sesuai dengan Model Pemetaan Taksonomi.
        Untuk dapat menyusun kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan (buka silabus yang asal contek), maka guru harus benar-benar profesional (guru harus lulus program sertifikasi guru dan menjadi tenaga profesional, guru berhak mendapat tunjangan profesi per bulan).  Selama ini guru hanya mendapat tunjangan fungsional (itupun tidak semua sekolah memberikannya) dan Kepala Sekolah/Wakil Kepala Sekolah atau Wali Kelas hanya mendapat tunjangan jabatan.
        Program sertifikasi guru hendaknya tidak dipahami sebagai sekedar ujian profesi tapi lebih dari itu, yaitu uji kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan "keharusan belajar secara terus menerus" (long life education).  Banyak guru sekarang ini mandeg secara akademis.
        KTSP adalah perencanaan guru menuju HOT (Higher Order of Thinking) bukan sekedar persiapan mengajar guru di kelas.  Oleh sebab itu, manajemen sekolah harus dibenahi melalui MBS, karena KTSP menuntut perubahan-perubahan paradigma seperti yang telah saya uraikan dalam tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP;  Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!  dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?
        Audit kinerja guru diukur melalui UAN (national exam) dan audit kinerja sekolah dinilai melalui akreditasi sekolah.  Jadi tidak perlu takut dengan UAN karena menurut PP No. 19 tahun 2005 tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan, yang diuji adalah batas minimal dari target pencapaian kurikulum.  Bukankah kita telah menjalaninya secara mulus pada Kurikulum '75 dulu, yang juga mengujikan banyak mata pelajaran?   Dan tidak perlu tergopoh-gopoh bila mau diakreditasi, karena sebenarnya 184 isian Evaluasi Diri dari BAS yang dipergunakan sebagai acuan dalam akreditasi sekolah adalah pendokumentasian kegiatan sehari-hari di sekolah dan bila MBS dijalankan dengan betul, maka sekolah akan mudah memenuhi kriteria Sekolah Standar Nasional (SSN).
          Sekolah-sekolah yang gurunya telah lulus program sertifikasi guru dan berhasil membuat KTSP sampai ke tingkat pemahaman HOT, serta telah menerapkan MBS, dapat meneruskannya ke moving class, yang selanjutnya menuju pada penerapan SKS (sistim kredit semester).   Apakah ada contoh untuk hal ini?  Ada. JIS (Jakarta International School) di Narogong, Jakarta Selatan.  Tapi itu kan sekolah internasional.  Apa ada contoh dari dalam negeri?  Ada. TK Kepompong di kemang, Jakarta Selatan atau SD Kanisius Mangunan di Yogya dan Sekolah Citra Berkat di Surabaya.
         Berdasarkan pengalaman ini, lain kali pihak yayasan/Komite Sekolah harus secara tegas menolak hal apapun yang bertentangan dengan prinsip KTSP.  SAS memang telah diendapkan akibat tentangan dari SMA Kanisius, SMA St.Ursula, SMA Regina Pacis dll, pejabat yang bersangkutan telah dimutasi, tetapi kerancuan yang timbul mungkin tidak pernah dapat diperbaiki lagi.  Lebih baik, Yayasan/Komite Sekolah berkonsentrasi menghadapi persaingan global dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional dimana-mana untuk persaingan di tingkat atas (elite) dan bertumbuhnya sekolah semacam Citra Berkat di tingkat menengah ke bawah.

Dimuat di Majalah EDUCARE, No. 2/V/Mei 2008 halaman 41-44

Perdebatan panjang soal SAS ini dimuat di Wikimu : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8930



    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar