Revisi
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kini sedang digarap oleh Komisi III
DPR RI dengan dibahasnya RUU Sistim Peradilan Anak di tingkat Panja. Ada beberapa hal yang perlu dicermati sebelum
RUU ini disahkan menjadi UU.
Masalah
pertama adalah soal judul, karena batasan usia anak sangat beragam dalam
perundang-undangan kita. Dalam Pasal 1
ayat 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak : anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak : anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan
bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Mengingat rendahnya batas usia anak yang
dapat dipidanakan, maka beberapa elemen masyarakat mengajukan uji materi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
itu ke MK. Hasilnya, MK melalui
Keputusan MK No. 1/PUU-VIII/2010
menyatakan bahwa batas usia minimum (minimum
age floor) dari anak nakal (deliquent
child) juga harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945,
yakni 12 tahun. Sedangkan Pasal 1
Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Children Rights Convention) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, menyatakan seorang anak berarti setiap
manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada
anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
Dalam RUU Sistim Peradilan Anak ini, rupanya Panja Komisi III DPR
mengacu pada keputusan MK di atas, yaitu batas usia minimum dari anak nakal
(anak yang dapat dipidanakan) adalah 12 tahun.
Namun
mengingat Pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun melalui
Inpres No. 1 Tahun 1994, yang menyatakan bahwa setiap anak Indonesia yang
berumur 7 sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar 9 tahun,
maka penulis mengusulkan agar batas usia minimum dari anak nakal (anak yang
dapat dipidanakan) adalah 15 tahun.
Karena pada usia 15 tahun, diharapkan seorang anak telah menuntaskan
pendidikan dasarnya sehingga dapat digolongkan pada atau telah memasuki usia
remaja. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 40 ayat 3 butir (a) Konvensi Internasional Hak-hak Anak yang telah
diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 : Penetapan usia minimum dimana anak-anak dengan usia dibawahnya akan
dianggap sebagai tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum
pidana.
Oleh
sebab itu, judul RUU ini menurut hemat saya harus diganti menjadi RUU Sistim
Peradilan Remaja, karena seorang anak (mengacu pada ketentuan undang-undang
apapun) tidak bisa dipidanakan, hanya remaja yang bisa dipidanakan. Dasar hukumnya adalah Alinea ke-10 Mukadimah
Konvensi Internasional Hak-hak Anak, yang telah diratifikasi melalui Keppres
No. 36 Tahun 1990, pada bagian MENGINGAT.
Mengingat ketentuan-ketentuan dari Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Sosial dan
Hukum yang terkait dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Rujukan
Khusus pada Pengangkatan Anak dan Adopsi secara Nasional dan Internasional, Ketentuan-ketentuan Baku Minimum PBB untuk
penyelenggaraan Peradilan Remaja (Ketentuan-ketentuan Beijing atau The Beijing Rules); dan Deklarasi mengenai
Perlindungan Wanita dan Anak-anak dalam Keadaan Darurat dan Sengketa
Bersenjata. Maka jelaslah bahwa hanya remaja yang bisa diadili dan
dipidanakan. Pemidanaan remaja itupun harus mengacu pada Ketentuan-ketentuan
Beijing atau The Beijing Rules. Konsekuensi hukumnya jelas, dengan
diundangkannya RUU ini menjadi UU, maka kita tidak lagi mengenal istilah
Peradilan Anak (istilah seharusnya adalah Peradilan Remaja) dan Lembaga
Pemasyarakatan Anak (penamaan seharusnya adalah Lembaga Pemasyarakatan
Remaja). Dengan demikian tidak akan
terjadi lagi salah kaprah, seperti kasus dimana 6.400 anak dibawah umur
dipidanakan selama 2011 (http://www.108csr.com/home/news.php?id=5905).
Masalah
kedua adalah konsekuensi lebih lanjut dari perubahan judul itu yakni soal
diskresi. Pasal 9 ayat 3 RUU Sistim
Peradilan Anak ini menyatakan bahwa diskresi itu harus seijin korban. Tetapi mengingat seorang anak tidak bisa
dipidanakan (hanya seorang remaja yang dapat dipidanakan), dan menurut Pasal 17 ayat 4 Ketentuan Beijing
(The Beijing Rules) : The component authority shall have the power
to discontinue the proceedings at any time, maka diskresi itu dapat
diartikan sebagai : (1) bukan hanya wewenang hakim, tetapi juga wewenang Polri
dan Kejaksaan. (2) diskresi tidak memerlukan ijin korban dan dapat diputuskan
setiap saat dengan memandang kepentingan terbaik remaja itu. Hal ini juga sesuai dengan bunyi Pasal 11
ayat 2 Ketentuan Beijing : The police,
the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases shall be
empowered to dispose of such cases, at
their discretion, without resource to formal hearings, in accordance with
the criteria laid down for that purpose in the respective legal system and also
in accordance with the principles contained in these Rules. Maka usul saya, ketentuan Pasal 9 ayat 3
RUU Sistim Peradilan Anak itu sebaiknya dihapus saja (diskresi tidak memerlukan
ijin korban).
Akhirnya,
untuk mengatasi kenakalan remaja, sebaiknya kita melirik butir 30 dari Resolusi
Parlemen Eropa tentang Kenakalan Remaja, Peranan Perempuan, Keluarga dan
Masyarakat : menekankan bahwa salah satu
cara untuk mencegah dan menanggulangi kenakalan remaja adalah mengembangkan
kebijakan komunikasi yang akan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
masalah-masalah remaja, serta mengakhiri kekerasan di media massa dan media
audio visual. Promosi kekerasan di kedua
media penyiaran itu dan di media cetak harus dihambat. Kekerasan yang dimaksud di sini bukan hanya
kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan tutur.
Dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI pada hari Selasa tanggal 21 Februari 2012 (untuk memenuhi undangan Deputi Bidang Persidangan dan KSAP DPR RI No. : LG.02/01677/DPR RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012)
Dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI pada hari Selasa tanggal 21 Februari 2012 (untuk memenuhi undangan Deputi Bidang Persidangan dan KSAP DPR RI No. : LG.02/01677/DPR RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012)