Ada
dua hal yang mengguncang dunia
pendidikan swasta di Indonesia awal tahun ini.
Pertama, Peraturan Bersama 5
Menteri (Peraturan Mendiknas No. 05/X/PB/2011, Peraturan Menpan No.SPB/03/M.PAN-RB/10/2011,
Peraturan Mendagri No. 48 Tahun 2011, Peraturan Menkeu No. 158/PMK.01/2011 dan Peraturan
Menag No. 11 Tahun 2011), tentang
Penataan dan Pemerataan Guru (PNS), yang ditetapkan tanggal 3 Oktober 2011
(Berita Negara RI No. 610 Tahun 2011).
Kedua, Peraturan Mendikbud
(Permendikbud) No. 60 Tahun 2011 tentang
Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada SD dan SMP, yang ditetapkan tanggal
30 Desember 2011 (Berita Negara RI No. 19 Tahun 2012).
Peraturan
Bersama 5 Menteri dilengkapi dengan Petunjuk Teknis (Juknis) Pelaksanaan Peraturan Bersama tentang Penataan dan
pemerataan Guru (PNS), yang ditanda-tangani dibulan November 2011 oleh Sekjen
Kemdikbud, Prof. Ainun Na’im, Ph.D. Juknis ini harus dicermati pada bagian
Bab II Poin E (Perencanaan Kebutuhan Guru), F (Perhitungan Kebutuhan Guru), G
(Hasil Perhitungan & Rencana Pemenuhan), dan J (Pemenuhan Beban Kerja
Guru). Inti sesungguhnya ada dua, yaitu
(1) Beban kerja guru adalah 24 jam tatap muka (jumlah jam sebagai guru piket,
Wali Kelas, guru remedial, dan guru ekskul tidak
lagi diperhitungkan). (2) Jumlah siswa per kelas dipatok minimal : 20 siswa dan
maksimal : 32 siswa). Jadi kelas kecil
dan kelas besar tidak lagi
diijinkan. Maka untuk mengejar beban
kerja guru : 24 jam, suatu kelas (terutama di SD) tidak bisa dipecah menjadi
kelas-kelas kecil hanya sekedar mengejar status guru kelas SD yang beban
kerjanya diakui 24 jam, atau suatu kelas IPA dan Bahasa di SMA tidak bisa
dibuka kalau jumlah siswanya kurang dari 20 orang.
Maka
Renstra (Rencana Strategis) untuk SD
harus mengacu pada jumlah jam mengajar yang terkecil (1 jam pelajaran atau 1
jam tatap muka), yaitu mata pelajaran Mulok (Muatan Lokal). Agar supaya guru pengampu Mulok dapat
mencapai beban kerja 24 jam, maka dibutuhkan 24 kelas (24 x 1 jam = 24
jam). Karena SD terdiri dari 6 jenjang
(kelas 1 sampai kelas 6), jumlah ideal kelas paralel di SD adalah 24 kelas : 6
= 4 kelas paralel. Dengan 4 kelas paralel (kelas 1 : terdiri dari
kelas : 1 A, 1 B, 1C, 1 D, kelas 2 : terdiri dari kelas 2A, 2B, 2C, 2D, dan
seterusnya) atau jumlah kelas
keseluruhan adalah 24 kelas untuk suatu SD (dengan jumlah siswa minimal 20
orang per kelas atau jumlah siswa
minimal 80 orang per jenjang kelas, atau jumlah siswa minimal 480 orang per SD (lihat SKB 5 Menteri), maka
suatu SD tidak perlu mengangkat guru honorer untuk mata pelajaran Mulok. Suatu SD masih bisa mengupayakan pembukaan 5
kelas paralel, karena hal itu berarti beban kerja guru Mulok akan mencapai 30
jam tatap muka. Kemungkinan terbaik adalah mengupayakan kelipatan 4, yaitu 8
kelas paralel (48 kelas untuk suatu SD), sehingga diperlukan hanya 2 guru
Mulok. Bagaimana caranya agar SD swasta
dapat mencapai 4 kelas paralel atau kelipatannya, dan mendapatkan murid sampai
sejumlah 80 orang per jenjang kelas atau kelipatanya yaitu 160 siswa per
jenjang kelas? Diperlukan Analisis SWOT
untuk mencari Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global dari SD swasta itu, untuk
menjawab pertanyaan : mengapa orang tua harus membayar mahal ke SD swasta kalau
ke SD Negeri bisa gratis??
Untuk
Renstra SMP, acuannya tetap sama,
yaitu jumlah jam mengajar yang terkecil, yaitu 2 jam pelajaran (Pend.Agama,
PKn., SBK, Penjaskes, TIK, dan Mulok).
Agar guru-guru yang disebut itu dapat mencapai jumlah 24 jam tatap muka,
maka diperlukan 12 kelas (24 : 2 = 12 kelas).
Karena SMP terdiri dari tiga jejang (kelas 8 sampai kelas 10), maka
diperlukan 4 kelas paralel di SMP
(12 kelas : 3 = 4 kelas paralel : Kelas 8 terdiri dari kelas 8 A, 8 B, 8 C, 8 D
– Kelas 9 terdiri dari kelas 9 A, 9 B, 9 C, 9 D dan seterusnya) dengan jumlah
siswa minimal per kelas 20 orang. Maka jumlah siswa minimal di suatu SMP adalah 240 orang atau 80 orang per jenjang kelas SMP (lihat SKB 5 Menteri). Kalau pendaftar banyak, maka jumlah kelas paralel harus kelipatan 4,
misalnya 4 kelas paralel = 12 kelas SMP , atau 8 kelas paralel = 24 kelas SMP). Tidak
bisa suatu SMP mempunyai 5 kelas paralel (15 kelas SMP) atau 6 kelas
paralel (18 kelas SMP) karena pasti ada
guru yang jumlah jam mengajarnya kurang dari 24 jam tatap muka. Bagaimana kalau jumlah siswa kurang dari 4
kelas paralel (80 siswa per jenjang kelas) atau kelipatannya, yaitu kurang dari
8 kelas paralel (160 siswa per jenjang)?
Pertama, Diperlukan Analisis
SWOT untuk mencari Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global dari SMP swasta itu,
untuk menjawab pertanyaan : mengapa orang tua harus membayar mahal ke SMP
swasta kalau ke SMP Negeri bisa gratis??
Kedua, Karena murid-murid baru
di satu wilayah akan terserap oleh SMP Negeri, maka SMP swasta itu harus mengupayakan
pendaftar baru dari luar wilayahnya
(berarti SMP swasta itu harus dilengkapi dengan asrama (boarding school).
Untuk
Renstra SMA, acuannya tetap sama,
yaitu jumlah jam mengajar terkecil yaitu 1 jam pelajaran di kelas 10 (Mata
Pelajaran Sejarah), dengan syarat SMA itu mempunyai 2 kelas paralel IPA dan 2
kelas paralel IPS dengan jumlah siswa minimal 20 orang per kelas (lihat SKB 5
Menteri). Maka SMA harus mengupayakan 4
kelas paralel di kelas 10 (4 x 1 jam Sejarah = 4 jam), 2 kelas paralel IPA di kelas 11 dan kelas 12 (4 x 2 jam Sejarah = 8
jam), 2 kelas paralel IPS di kelas
11 dan kelas 12 (4 x 3 jam = 12 jam).
Jadi dengan 4 kelas paralel di kelas 10 (kelas 10 A, 10 B, 10 C, 10 D)
dan 2 kelas paralel IPA (Kelas 11 IPA-1 dan kelas 11 IPA-2, Kelas 12 IPA-1 dan
Kelas 12 IPA-2), serta 2 kelas paralel IPS (kelas 11 IPS-1 dan kelas 11 IPS-2,
Kelas 12 IPS-1 dan kelas 12 IPS-2) – Jumlah murid di kelas IPA/IPS harus
minimal 20 siswa (lihat SKB 5 Menteri), maka supaya komposisi IPA/IPS tidak
menyalahi SKB 5 Menteri (minimal 20 siswa per kelas), jumlah siswa kelas 10 minimal harus 25 orang per
kelas paralel di kelas 10 (100 siswa di kelas 10). Dengan kata lain, jumlah
siswa suatu SMA minimal adalah 300 siswa.
Dengan jumlah ini, kalau ada perubahan komposisi, misalnya hanya ada 1
kelas IPA (Kelas 11 IPA dan Kelas 12 IPA) dan 3 kelas IPS (Kelas 11 IPS-1,
kelas 11 IPS-2, Kelas 11 IPS-3 dan Kelas 12 IPS-1, Kelas 12 IPS-2, Kelas 12
IPS-2) maka jumlah siswa di kelas IPA dapat tetap dipertahankan selaras dengan
SKB 5 Menteri (20 siswa di kelas IPA).
Jadi untuk SMA sebaiknya mengupayakan 4 kelas paralel atau kelipatannya
(8 kelas paralel) dengan jumlah siswa minimal per kelas paralel di kelas 10
adalah 25 siswa (100 siswa di kelas 10) atau kelipatannya 8 kelas paralel
dengan jumlah siswa 200 orang di kelas 10.
Apakah
dimungkinkan untuk membuka 5 kelas paralel atau 6 kelas paralel atau 7 kelas
paralel di SMA? Bisa saja, tapi akan ada
cukup banyak guru yang beban kerjanya nanti kurang dari 24 jam tatap muka,
sedangkan di lain pihak ada cukup banyak guru, beban kerjanya bahkan melebihi
24 jam tatap muka.
Bagaimana
kalau jumlah pendaftar murid baru kurang dari 100 orang atau kelipatannya (200
orang pendaftar) ? Atau kurang dari 4 paralel kelas di kelas 10 atau kelipatannya : 8
kelas paralel di kelas 10 ? Pertama, Diperlukan Analisis SWOT untuk
mencari Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global dari SMA swasta itu, untuk
menjawab pertanyaan : mengapa orang tua harus membayar mahal ke SMA swasta dan
tidak mendaftar ke SMA RSBI atau SMA SBI yang tidak kalah kualitasnya?? Kedua,
Apakah ada jaminan bahwa lulusan SMA swasta itu akan diterima di perguruan
tinggi favorit idaman anak dan orang tua? Kalau alumni SMA swasta sukar kuliah,
ya pasti akan ditinggalkan masyarakat.
Hal ini yang sering diabaikan, seolah-olah setelah lulus, itu urusan dan
tanggung jawab masing-masing anak dan orang tua. Kita mengajar bukan supaya menguap di udara,
tapi supaya anak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Target inilah yang membedakan pendidikan di
SD, SMP dan SMA. Tanpa target yang jelas bagi anak didiknya, SMA swasta itu
tidak lebih dari sekedar Bimbel (Bimbingan Belajar). Ketiga,
Karena murid-murid baru di satu wilayah akan terserap oleh SMA Negeri atau
SMK Negeri, maka SMA swasta itu harus mengupayakan pendaftar baru dari luar wilayahnya (berarti SMA swasta itu
harus dilengkapi dengan asrama (boarding
school).
Peraturan Mendikbud (Permendikbud) No. 60 Tahun 2011
tentang Larangan Pungutan Biaya
Pendidikan pada SD dan SMP
membuat Yayasan harus kreatif menggali sumber dananya
sendiri. Butir menimbang ayat a
menyatakan : Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Sedangkan
ayat b menyatakan : bahwa pungutan
membebani masyarakat sehingga dapat menghambat akses masyarakat untuk
memperoleh pelayanan pendidikan dasar. Jadi
pemerintah dengan sengaja memperkenalkan paradigma baru : pungutan itu bukan
untuk menutupi biaya operasional sekolah dan upaya meningkatkan kualitas pendidikan,
tetapi pungutan dianggap sebagai beban
masyarakat, maka segala pungutan itu harus dihapuskan. Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 3 :
Sekolah pelaksana program wajib belajar dilarang memungut biaya investasi dan
biaya operasi dari peserta didik, orang tua, atau walinya. Tentu saja sekolah swasta (SD-SMP swasta)
adalah peserta program wajib belajar 9 tahun yang terdampak peraturan ini. Lebih jauh lagi, kebiasaan sekolah-sekolah
swasta untuk meranking besaran uang pangkal dianulir dengan ketentuan dalam
Pasal 4 ayat 1 : Sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak boleh melakukan pungutan: Butir (a). yang dikaitkan dengan
persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil
belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik;
Option for the poor justru ditegaskan pada Pasal 4
ayat 2 : Sekolah yang diselenggarakan
oleh masyarakat dilarang melakukan
pungutan kepada peserta didik, orang tua, atau walinya yang tidak mampu secara ekonomis.
Banyak sekolah swasta juga menerima
dana BOS, konsekuensinya mereka dilarang melakukan pungutan lain (Pasal 5 ayat
1 : Sekolah yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang menerima bantuan operasional tidak boleh memungut biaya operasi)
Jalan
keluar :
- Sambil
menunggu judicial review ke MA
(Mahkamah Agung) tentang SKB 5 Menteri dan Permdikbud No. 60 Tahun 2011 ini,
ada baiknya Yayasan mengingat pengabaian pemerintah tentang Putusan MA No 2596
K/Pdt/2008 yang melarang pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional. Jadi pemerintah tetap akan menjalankan
agendanya sendiri.
- Yayasan
tidak bisa lagi menggantungkan pembiayaan pendidikan melulu dari uang pangkal
atau uang sekolah (lihat Permendikbud No. 60 Tahun 2011) – kreativitas untuk
menggali sumber dana lain sangat diperlukan. Contoh penggalian sumber dana dari
SMKN 1 Pacet : “Ubah Sisa Panen Jadi Keripik” (Kompas, Senin 2 April 2012
halaman 14)
- Sekolah
berasrama (boarding school) adalah
pilihan yang tepat untuk menghadapi grand
design dari pemerintah yang terus menganak-tirikan sekolah swasta. Selepas sekolah, siswa dapat
1. Melatih
kreativitasnya dalam penggalian sumber dana, seperti yang dicontohkan oleh SMKN
1 Pacet di atas.
2. Mengimplementasikan
Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global dari sekolahnya, sehingga mampu bersaing
dengan sekolah-sekolah lain.