Kamis, 29 September 2011
SEHABIS KTSP LALU APA ? SKS ! Penguasaan Kurikulum, MBS dan Sekolah Mandiri dalam Satu Tarikan Nafas
Dalam tulisan Yang Terlewatkan dari KTSP di EDUCARE edisi lalu, saya telah menguraikan secara panjang lebar kesalah-pahaman yang terjadi di seputar pelaksanaan KTSP. Kesalah-pahaman itu mulai dari libur pada hari Sabtu (meskipun guru-guru selalu mengeluh kekurangan waktu untuk menyelesaikan seluruh agenda yang termaktub dalam Standar Kompetensi) sampai penjualan silabus yang marak di toko-toko buku (padahal seharusnya silabus dibuat sendiri oleh guru setelah menyelesaikan langkah ke 13 dalam penyusunan KTSP oleh guru yang bersangkutan itu sendiri).
Kesalah-pahaman itu juga mulai dari masih diberlakukannya sistim rangking (padahal penilaian harus mencakup aspek holistik - kognitif, psikomotorik, afektif dan kecakapan hidup (life skill) - IQ dan EQ/EI - yang tidak mungkin mampu ditunjukkan performance-nya secara prima oleh seorang siswa/beberapa siswa saja - sebarannya pasti merata) sampai pada masih adanya penghakiman untuk kemampuan belajar siswa (masih ada siswa yang tidak naik kelas) - lalu untuk apa program remedial diselenggarakan dan untuk apa guru harus mengubah strategi pembelajaran pada langkah ke 7 dari penyusunan KTSP bila siswa gagal memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal)?
Kesalah-pahaman itu juga mulai dari guru yang masih aktif memberikan ceramah (padahal model, strategi dan metode pembelajaran harus sudah dirumuskan dalam Model Pemetaan Taksonomi - langkah ke 5 dalam penyusunan KTSP) sampai pada kesalah-kaprahan fungsi BK sebagai tempat penyaluran siswa bermasalah, bukan sebagai tempat siswa untuk merencanakan studi lanjut dan menyiapkan diri untuk bekerja bila tak bisa studi lanjut melalui pendalaman materi pada kecakapan hidup (life skill).
Bahkan yang paling fatal adalah munculnya pemahaman bahwa KTSP itu adalah mainan Menteri baru (ganti Menteri ganti kurikulum), tanpa melihat bahwa KTSP terdiri dari dua dokumen yaitu Dokumen I tentang Isi Pendidikan dan Dokumen II tentang Kurikulum, Proses Pembelajaran dan Evaluasi, Sarna dan Prasarana Sekolah dan Buku Ajar. KTSP juga tidak berdiri sendiri, karena KTSP juga menuntut kompetensi guru yang dieja-wantahkan dalam Program Sertifikasi Guru, sehingga kualitas guru dapat terpantau (tidak semua orang yang tidak laku di pasar kerja dapat menjadi guru).
Meskipun kesalah-pahaman di atas lazim terjadi, namun pihak Depdiknas dan Komite Sekolah nampaknya menutup mata. Hal ini mungkin disebabkan karena banyak pihak tidak mengerti grand design dari arah pendidikan kita : "mau kemana arah pengembangan pendidikan ini?" Banyak pihak tidak mengerti bahwa KTSP adalah revolusi dalam dunia pengajaran monoton di negara ini.
Dengan demikian, KTSP hanya bisa diberlakukan bila Sekolah atau Yayasan : (1) sudah membentuk Tim Ahli/Litbang untuk menyusun rancangan Dokumen I dari KTSP, lalu (2) para guru sudah menyerahkan kelima belas langkah penyusunan KTSP yang disebut draft dan kemudian (3) draft ini direvisi oleh Tim Ahli/Litbang sehingga sesuai dengan Visi dan Misi Sekolah, dan dari proses ini akan dilahirkan Dokumen II dari KTSP, selanjutnya naskah final Dokumen II disandingkan dengan rancangan Dokumen I, lalu (4) diverifikasi oleh Komite Sekolah sehingga seluruh Dokumen KTSP sesuai dengan acuan tipe Sekolah Mandiri. (sumber : website Depdiknas : www.depdiknas.go.id lalu klik KTSP). Sekolah-sekolah yang belum mencapai kriteria Sekolah Mandiri supaya merencanakan secara terprogram langkah-langkah untuk mencapai kriteria itu.
Apa kelengkapan mutlak dari KTSP? Pembenahan manajemen sekolah. Pemerintah sudah mensosialisasikan MBS (manajemen berbasis sekolah) bersamaan dengan dicanangkannya kurikulum 1994, namun gaungnya tertutup hiruk pikuknya proyek penataran kurikulum 1994. Sebagai langkah lanjut, Pemerintah juga mensosialisasikan tipe Sekolah Mandiri bersamaan dengan diluncurkannya kurikulum 2004 (KBK). Namun banyak pihak lebih terpaku pada kurikulum baru ini dan mengabaikan pembenahan manajemen sekolah dan audit kinerja sekolah sehingga upaya untuk menuju ke tipe Sekolah Mandiri terlewatkan.
Memahami grand design pendidikan
Setelah pencanangan audit kirnerja sekolah melalui MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) pada tahun 1994, yang diikuti sosialisasi tipe Sekolah Mandiri pada tahun 2004, lalu disusul dengan ide mengenai lulusan yang kompeten atau lebih berkualitas melalui penyusunan kurikulum yang disertai dengan upaya meningkatkan kompetensi guru melalui Program Sertifikasi Guru (yang dilandasi UU Guru dan Dosen), sebenarnya kemana arah pendidikan kita? SKS
(Lihat di Kompas, Rabu 25 Agusuts 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA - Panduan Sudah Disebarkan) Bila anda sudah tidak mempunyai Kompas cetaknya, artikel itu dapat diunduh di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5
(Artikel di Kompas ini muncul dua tahun setelah tulisan saya ini, artinya prediksi saya dua tahun sebelumnya adalah tepat)
Dalam SKS (Sistim Kredit Semester) dibutuhkan :
(1) Kemampuan guru untuk menyusun kurikulum sendiri yang sudah diawali dengan KTSP
(2) Kompetensi guru yang akan diuji melalui program sertifikasi guru (tidak semua bisa menjadi guru - guru adalah profesi dan oleh karena itu dituntut untuk bersikap profesional)
(3) Kinerja sekolah harus dapat diukur sehingga audit persekolahan dapat termonitor. Hal ini merujuk pada pembenahan seluruh aspek persekolahan, bukan saja pada perbaikan sistim administrasi dan manajemen keuangan sekolah tapi juga pada penerapan merit sistim dan pengembangan atmosfer ilmiah di lingkungan sekolah.
(4) Infrastruktur sekolah yang mengacu pada tipe Sekolah Mandiri, bukan saja pada kelengkapan sarana dan prasarana fisik dan non fisik, tapi juga pada proses pembelajaran mandiri sehingga sekolah dimungkinkan untuk menjadi sekolah pembelajar (moving class).
Yang Tak Tersentuh
Konsep moving class nampaknya tak pernah dilirik oleh kebanyakan sekolah swasta. Mungkin karena penerapan konsep ini secara infrastruktur jauh lebih mahal dari sekolah konvensional. Dalam sekolah konvensional, pihak Yayasan cukup menyediakan ruang kelas, satu lab komputer, dan tiga lab sains (fisika, kimia dan biologi), tapi dalam moving class, setiap kelas harus dilengkapi dengan fasilitas keilmuan yang diampu guru bidang studi. Bayangkan berapa banyak fasilitas yang harus disediakan per ruang. Belum lagi kalau dihitung banyaknya ruang kelas yang harus disediakan. Bila satu hari sekolah terdiri dari 8 jam pembelajaran, maka dalam satu hari hanya dimungkinkan 4 kali pergantian siswa per ruang. Itu berarti dibutuhkan dua kali jumlah ruang kelas konvensional.
Masalah lainnya adalah kerumitan pengaturan manajemen pergerakan siswa dan pembagian tanggung jawab ruang kelas serta ketersediaan almari siswa (locker) yang aman. Dari segi fasilitas, moving class memang lebih mahal. Belum lagi dari segi konsep, penerapan moving class harus dilandasi kefasihan penguasaan MBS (manajemen berbasis sekolah) sehingga kinerja sekolah bisa teraudit secara tranparan dan visi Sekolah Mandiri dapat terwujud dengan elegan.
Dari segi pedagogis, moving class membutuhkan rekam jejak kemajuan proses pembelajaran siswa (portofolio), sesuatu hal yang diabaikan dalam kelas konvensional, yang misalnya tercermin dalam kesalah-pahaman guru konvensional tentang program remedial. Remedial hanya diberlakukan bagi siswa-siswi yang kurang pandai secara kognitif - penilaian beraspek holistik hanya slogan di kelas-kelas konvensional. Padahal dalam moving class, penilaian tidak boleh hanya menyangkut aspek kognitif, sebab PBK (Penilaian Berbasis Kelas) mempunyai tolok ukur yang menyentuh seluruh aspek kemampuan dan kepribadian siswa.
Dengan kata lain, moving class memang sangat merepotkan pihak Yayasan dan para guru di lapangan, ditambah dengan kosnep : "Dengan begini saja (tanpa perlu neko-neko) sudah banyak yang mendaftar. Moving class? EGP (emangnya gue pikirin)?".
Lalu Apa?
Revitalisasi dunia pendidikan swasta. Banyak orang tua dahulu menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah swasta Katolik karena tiga hal : kualitas, pendidikan budi pekerti dan disiplinnya. Maka revitalisasi pendidikan swasta harus menyentuh ketiga aspek itu.
(1) Kualitas. Bagaimana kualitas bisa terjaga bila orang yang melamar menjadi guru terus menerus menurun mutunya baik secara akademik maupun secara psikologis? Apa tolok ukurnya? Kebingungan guru-guru muda menghadapi soal-soal Olimpiade Sains. Dengan kata lain, penguasaan materi sangat rendah. Itu sebabnya program enrichment (pengayaan) tidak pernah berjalan di sekolah-sekolah swasta. Lalu bagaimna jalan keluarnya? Pihak Yayasan harus sungguh-sungguh menyiapkan terbentuknya Litbang yang secara khusus berupaya agar setiap guru selalu mengembangkan dirinya. Merit sistim harus diterapkan. Penjenjangan karier guru harus mulai dirumuskan, mulai dari guru muda (asisten guru/guru bantu), guru madya sampai ke guru koordinator/guru senior dengan kriteria kepangkatan yang jelas - tidak boleh lagi diterapkan sistim penggajian PGPS (pinter goblok penghasilan sama).
(2) Pendidikan budi pekerti. Pendidikan Agama bukan pendidikan budi pekerti. Bekal pendidikan Agama yang cenderung bersifat kognitif telah menghancurkan nilai-nilai humaniora itu sendiri. Lalu mesti bagaimana? Pendidikan nilai harus dirumuskan secara operasional - sudah banyak metode di Fak. Psikologi yang dapat diadopsi untuk membuat pendidikan nilai itu menjadi operasional, terpantau dan terukur. Bapak Fidelis Waruwu (Fak. Psikologi Untar) beberapa kali mengulasnya di Majalah HIDUP.
(3) Disiplin. Disiplin bukan hanya ketepatan waktu kedatangan (guru sama sekali tidak boleh terlambat karena dia adalah teladan siswa) tetapi juga cepat mengkoreksi ulangan dan cepat membagikannya ke siswa, tetpat dalam menganalisis soal (masih sering terjadi, soal-soal yang diberikan hanya copy paste dari buku-buku soal yang banyak dijual di pasaran dan kemudian setelah diujikan, tak pernah dianalisis) dan mempunyai target yang jelas dalam remedial dan pengayaan (enrichment). Lalu bagaimana kalau kita kedodoran dalam administrasi pengajaran? Merevitalisasi peran Komite Sekolah dan memfungsikan secara jelas peran supervisi dalam kehidupan persekolahan. Yang berhak melakukan supervisi guru bukan hanya Kepala Sekolah dan Yayasan, tapi juga Komite Sekolah. Dengan demikian, guru akan terpola untuk berdisiplin karena seluruh stakeholders memantau dan menilainya.
Apa yang dituju?
Penerapan SKS ini akan membuat guru dan siswa mandiri dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat merencanakan sendiri studinya dan hal itu akan membuat kehidupan persekolahan menjadi dinamis serta menjadikan kegiatan belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan, tak menjadi beban bagi siswa. Tak ada lagi kegiatan les dan bimbel (bimbingan belajar). Hasilnya :
(1) Kita mengarah pada kegiatan long life education.
(2) Kita menghargai prestasi seseorang, bukan orangnya (kita menghargai ketekunan dan capaian seseorang). Kita akan belajar mendengar apa yang dikatakan seseorang, bukan siapa yang mengatakannya.
Dengan penerapan SKS ini, kita sedang merenda bangsa ini menjadi bangsa pembelajar dan bangsa pekerja keras yang menghargai merit sistim sejak usia dini.
Dimuat di Majalah EDUCARE No. 6/IV/September 2007 halaman 36-38
YANG TERLEWATKAN DARI KTSP, Strategi bagi Sekolah-sekolah Kita
Alur Pijakan
KTSP sudah diberlakukan mulai bulan Mei 2006 dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas (Permen) No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; Permen No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; dan Permen No. 24 tahun 2006 mengenai Pelaksanaan Permen No. 22 dan No. 23 tahun 2006.
Pada Permen No. 24 itu dengan jelas dinyatakan bahwa BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) bertugas menyusun Panduan Penyusunan KTSP dan tugas ini telah dirampungkannya pada bulan Juni 2006. Oleh sebab itu Pusat Kurikulum (Puskur) Depdiknas telah mengedarkan Contoh Pembuatan KTSP pada bulan Agustus 2006. Dengan demikian rangkaian peletakan dasar untuk penyusunan kurikulum baru yang berpijak pada Otonomi Sekolah dan Otonomi Guru telah diletakkan pada dasar filosofis yang benar, karena dasar pijakannya adalah : Permen No. 22 Pasal 1 ayat 1 : Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Ketentuan ini sejalan dengan Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 : Satuan Pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan Standar yang Lebih Tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Permen No. 22 dan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana diatur dalam Permen No. 23 tahun 2006.
Apa yang Salah?
Meskipun dalam Panduan Penyusunan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP jelas-jelas dinyatakan wewenang dan hak guru dijamin dan dengan demikian otonomi guru sungguh-sungguh ditegakkan (halaman 21 tentang Pengembangan Silabus), namun ada beberapa hal yang perlu dicermati : Para guru akan ditatar ergesa-gesa karena tahun ajaran baru sudah dimuali sejak bulan Juli 2006 dan Dinas Pendidikan di daerah belum mempunyai pegangan untuk memandu sekolah-sekolah di daerah.
Akibatnya mereka bisa mengacaukan arti Standar Kompetensi, Dasar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Akan ada banyak guru salah menafsirkan apa yang dimaksud dengan Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi Dasar bisa menjadi acuan tertinggi sehingga para guru tidak lagi berusaha mengembangkan kurikulum yang lebih tinggi standarnya. Hal ini sudah termonitor di banyak daerah.
Meskipun Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa Satuan Pendidikan dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP, namun para guru bisa jadi hanya meng-copy apa yang tercantum dalam Kompetensi Dasar yang telah disusun oleh Puskur. Para Pengawas/Penilik Sekolah juga bisa salah menafsirkan bahan yang telah disusun oleh Puskur (yang sebenarnya hanya merupakan contoh KTSP) lalu menganggap bahan ini sebagai bahan acuan. Para Penatar bisa mencampur adukkan Jam Pembelajaran dan Beban Belajar Sekolah Kategori Standar dan Sekolah Kategori Mandiri. Hal ini juga sudah termonitor di banyak daerah.
Meskipun sudah dinyatakan dengan jelas pada halaman 14 Pengembangan Silabus : Pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran dapat dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap, namun kerancuan tetap terjadi pada penentuan jumlah jam belajar (beban belajar) per minggu yang dipatok harus 32 jam + maksimal 4 jam per minggu untuk SMP dan 37 jam + 4 jam per minggu untuk SMA. Bila ketentuan ini diterapkan maka hal ini sunguh-sungguh melanggar azas otonomi sekolah dan justru bertentangandengan filosofi diterapkannya KTSP itu sendiri.
Padahal yang seharusnya diartikan dari halaman 14 itu adalah : Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistim paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam stgruktur kurikulum. Satuan Pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Jadi bila jam pembelajaran Matematika dalam struktur kurikulum tertera 3 jam pelajaran per minggu, maka sekolah berwenang menambah maksimum 4 jam sehingga jam pelajaran Matematika itu menjadi 7 jam per minggu. Hal ini sesuai dengan isi Permen No. 24 Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa sekolah dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP.
Para guru bisa salah mengartikan alokasi waktu. Alokasi waktu dainggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak boleh diubah-ubah lagi. Meskipun dengan jelas dinyatakan dalam halaman 26 Pengembangan Silabus : Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan PERKIRAAN WAKTU RERATA untuk menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam, namun tetap saja alokasi waktu dipatok mati seperti contoh yang disusun oleh Puskur.
Yang lebih fatal lagi, para penatar tidak menguasai prinsip dari remedial dan enrichment. Siswa yang mengikuti program remedial bukan mereka yang berada di rangking bawah dan siswa yang mengikuti program enrichment bukan mereka yang menduduki rangking atas, karena menurut ketentuan yang tercantum pada halaman 25 Pengembangan Silabus : Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya. Dengan demikian, siswa yang telah mencapai kompetensi dasar (minimal) tidak perlu mengikuti program remedial meskipun ia berada di rangking bawah.
Dan yang lebih serius lagi, banyak penatar yang telah menggunakan silabus tertentu, meskipun tidak melakukan analisis Delphi. Jadi silabus ditentukan lebih dahulu, baru kemudian disusun indikator untuk menilai pencapaian kompetensi dasar. Akibatnya, banyak guru dan birokrat pendidikan terjebak pada pola lama yaitu hasil test/ulangan/ujian merupakan satu-satunya penentu kenaikan kelas atau kelulusan siswa.
Padahal menurut ketentuan yang tercantum di halaman 24 Pengembangan Silabus : Penilaian dilakukan dalam bentuk tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio dan penilaian diri, sehingga mengacu pada butir 4 diatas, maka kurikulum baru ini tidak mengenal kata tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, malahan siswa yang pandai dapat loncat kelas. Bukankah penilaian mencakup segala aspek dan holistik?
Tengoklah ketentuan dalam halaman 25 : Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya dibawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
Mengapa Siswa Harus Naik Kelas atau Lulus Sekolah?
Pada prinsipnya proses pendidikan merupakan proses pendampingan, meminjam istilah Prof. Dr. Driyarkara SJ : Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia muda, sehingga kegagalan dalam menuai hasil merupakan kegagalan pendidik. Alasan lain yang menjadi dasar filosofi dari KTSP untuk menaikkan atau meluluskan siswa adalah kurikulum nasional ini sudah mengacu pada langkah-langkah desain kurikulum internasional yang menjamin kesinambungan proses pembelajaran dan sesuai dengan program Pemerintah : Wajib Belajar 9 tahun, yaitu : (1) Analisis Kurikulum; (2) Penjabaran Bahan Ajar (Materi Pelajaran); (3) Perumusan Kata Kerja Operasional; (4) Penyusunan Indikator; (5) Model Pemetaan Taksonomi (termasuk penetuan Model, Metode dan Strategi Pembelajaran); (6) Analisis Esensi Bahan Ajar (Materi Pelajaran); (7) Strategi Penyelesaian Masalah;(8) KKM; (9) Perhitungan Alokasi Waktu Riil Setahun; (10) Analisis Delphi - alokasi waktu belajar; (11) Prota; (12) Prosem; (13) Silabus; (14) Kontrak Belajar; (15) RPP.
Penilaian Berbasis Kelas
Apa prasyarat untuk dapat menguasai kelima belas langkah di atas? Guru harus mampu menyusun Bahan Ajar (materi pelajaran) yang inter-aktif (PAIKEM). Dengan kata lain, para guru harus menguasai MacroMedia Flash dan pembuatan film bahan ajar. Untuk penguasaan MacroMedia Flash, pihk UMN (Univ. Multimedia Nusantara) Jakarta menyediakan program pelatihan gratis untuk guru-guru; begitu juga untuk penguasaan pembuatan film, pihak Datascrip (Canon) bekerja sama dengan Acer juga mengadakan road show pelatihan gratis untuk guru-guru dan siswa. Sudah bukan jamannya lagi para guru membuat presentasi dengan Power Point. Jadi guru juga harus terus menerus belajar (long life education), guru adalah perwujudan dari ajaran Ki Hajar Dewantara : Tut wuri handayani.
Bagaimana bila para guru sudah terlalu sibuk dan beban mengajarnya padat? Pihak Yayasan atau Komite Sekolah dapat menyiapkan bahan siap pakai seperti : ensiklopedia elektronik : Encarta yang dikeluarkan oleh PT Microsoft atau membeli program IBM : EXCITE (Exploring Interest in Technology and Engineering) terutama melalui kelengkapan pembelajaran Try Science Site atau bergabung dengan sekolah on-line yang dikelola oleh Oracle Foundation : Think.com
Karier Guru
Apapun program yang akan diambil, namun prasyarat utama adalah guru harus menjadi lebih kompeten. Untuk ini alangkah baiknya bila pihak Yayasan atau Komite Sekolah memperhatikan karier seorang guru yang kompeten melalui penjenjangan : guru bantu (teaching assistant), guru muda (teacher), guru madya (teacher coordinator), dan guru utama (supervisor) sehingga kompetensi guru terapresiasi seperti halnya yang berlaku di dunia internasional. Pihak Yayasan tidak dapat lagi menerapkan sistim penggajian PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) atau para guru yang kompeten ini akan dibajak oleh sekolah lain.
Jalan Keluar (Re-code DNA sekolah-sekolah )
Pengurus Yayasan atau Komite Sekolah, para Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, konselor dan Koordinator MGMP hendaknya diberi kesempatan untuk mengikuti program training disain kurikulum. Program ini dapat diikuti di P3G Bandung, Sampoerna Foundation, Provisi Education atau memanggil staf Puskur Depdiknas. Kenapa di lembaga-lembaga ini ? Karena tidak satupun FKIP di Indonesia yang mempunyai Jurusan Disain Kurikulum. Rupanya kurikulum tak pernah dianggap penting, bahkan oleh FKIP sekalipun. Memang ada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, tapi yang dipelajari bukan cara mendisain kurikulum, yang dipelajari adalah PAKEM dan PAIKEM (satu bagian kecil dari cara mendesain kurikulum).
Setelah mengikuti training kurikulum, sekolah dapat merancang kurikulum yang solid dan dapat diakui secara internasional melalui sertifikasi IB, Cambridge atau GAC. Apa tujuannya? Bila dikelak kemudian hari, ada perubahan kurikulum lagi, sekolah tidak usah tergopoh-gopoh menyesuaikan diri, karena kurikulumnya sudah berstandar internasional.
Pihak Yayasan atau Komite Sekolah hendaknya membentuk Badan Litbang, yang bertugas menyusun Dasar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Silabus (melalui analisis Delphi) serta melakukan analisis konteks, pengembangan silabus berkelanjutan serta pembuatan bank soal.
Para guru hanya dibebani tugas menyusun RPP saja. Dengan demikian para guru dapat terfokus pada peningkatan kompetensi siswa.
Setelah para guru sungguh-sungguh mengerti filosofi KTSP (guru berusaha menjadi lebih kompeten), maka hendaknya mereka diajukan untuk mengikuti ujian sertifikasi guru dan ujian profesionalitas guru sesuai dengan ketentuan yang tersurat dalam UU Guru dan Dosen. Lalu merit sistim dapat diterapkan. Dengan demikian, sekolah-sekolah dapat menjadi agen perubahan dan merevitalisasi dunia pendidikan dan pengajaran di tanah air.
Dimuat di Majalah EDUCARE No. 4/IV/Juli 2007 halaman 37-39
Langganan:
Postingan (Atom)