Jumat, 30 September 2011
MANAJEMEN KURIKULUM ataukah MANAJEMEN SEKOLAH? Salah Kaprah atau Ketidak-pedulian?
Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! , penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri. Dalam tulisan itu, penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Namun amat disayangkan bahwa ada sekolah-sekolah swasta yang terkesan hanya mengikuti sepotong-sepotong sehingga terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan, maupun terobosan dan revitalisasi, seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan. Menskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tetapi sekolah-sekolah tetap melihatnya secara adem ayem saja. Apa sebabnya?
Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit (itu sebabnya kita tidak perlu larut dalam kontroversi program uji sertifikasi guru dan UAN), begitu juga kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secra jelas dan terukur. Program audit pendidikan ini harus kita dukung karena selama ini kta tidak punya tolok ukur kemajuan yang kita capai. Audit memungkinkan kita tidak terjebak dalam "business as usual" (adem ayem saja, tidak neko-neko dan apatis). Memang ada ritual audit yang diselenggarakan tiap 4 tahun sekali seperti akreditasi sekolah yang dilakukan oleh BAS (Badan Akreditasi Sekolah), tapi itu hanya audit administrasi sekolah, bukan audit manajemen sekolah.
Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan
Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W.Airisian, Mills, dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat. Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja, sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri. Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan. Orang-orangpun hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tidak membumi. Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah. Transparansi dan akuntabilitas hanya dpahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa.
Akibatnya akan muncul kesalah-pahaman massal yaitu menganggap pangadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru, seperti penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif (hard competency) secara on-line, atau SAS (sistim administrasi sekolah) yang tidak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik. (Namun proses pemelajaran sangat berbeda dengan proses pembelajaran - proses pemelajaran yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tidak terakomodasi dalam SAS).
Dengan kata lain, soft competency para siswa tetap tak terpantau, atau SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) - yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data di server Yayasan (dan sifatnya tertutup) - menjadi terbuka dan dapat diakses oleh publik melalui SIMS/SIMDIKDU. Namun hal ini tidak menjawab pertanyaan : bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru). Kalau semua data sudah bisa disatukan di bank data dan dapat diakses publik, so what gitu lho? Apakah sekolah lalu siap untuk maju dalam sertifikasi ISO 9000 (audit manajemen berstandar internasional) ?
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa manajemen kurikulum sangat berbeda dengan pengertiannya dengan manajemen sekolah. Meskipun MBS pernah disosialisasikan pada tahun 1994 (bersamaan dengan sosialisasi kurikulum 1994) dan para guru pernah ditatar tentang MBS, namun penerapannya tidak pernah dimonitor. Apa tolok ukurnya? Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asesor. Para Kepala Sekolah tidak pernah ditatar dalam pembuatan Analisis SWOT yang benar, akibatnya, W (weakness) tetap menjadi kekurangan sekolah, tanpa ada campur tangan Yayasan/Komite Sekolah untuk meningkatkannya menjadi S (strength) , sedangkan T (threats) tetap menjadi batu sandungan bagi sekolah, tanpa ada kemampuan untuk mengatasinya dan mengubahnya menjadi peluang emas (O : Opportunities) menghadapi persaingan regional. Akibatnya, Analisis SWOT hanya menjadi salah satu buku yang memenuhi almari Kepala Sekolah.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Ya, kembali ke filosofi pendidikannya. Akreditasi ditujukan untuk meningkatkan kualitas manajemen sekolah agar para guru mampu bersaing secara regional. Untuk melangkah maju, para guru harus selalu mendokumentasikan capaiannya agar tidak terjadi duplikasi sehingga
para guru dapat terus mengevaluasi diri dengan model portofolio (memetik pelajaran dari pengalaman proses pemelajaran sebelumnya) , yaitu mampu mengukur hard competency dan soft competency yang ada dalam diri setiap siswa.
Untuk membuat akreditasi menjadi satu langkah pendahuluan (prerequisite) dalam menuju sertifikasi ISO 9000, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Mendiknas (Permen) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :
(1) Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu manajemen persekolahan, yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru penanggung jawab tiap bidang. Dengan demikian. guru terformulasi untuk tidak hanya terpaku mengajar, tapi juga mengaitkannya dengan Visi dan Misi sekolah (think globally, act locally).
(2). Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.
(3). Dokumen III tentang audit keinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan.
Jadi ada tiga jalan untuk memperbaiki kinerja sekolah dan memacu sekolah-sekolah agar tidak tetap adem ayem yaitu :
(1). Menerapkan Permen No. 22, No. 23 dan No. 24 tahun 2006 tentang KTSP secara benar (membuat Dokumen I dan Dokumen II secara lengkap) serta melangkapinya dengan Permen No. 19 tahun 2007 tentang MBS dengan sasaran meraih sertifikat ISO 9000. Bagaimana caranya? Pihak Yayasan/Komite Sekolah harus membuat laman (website) sekolah yang bersifat inter-aktif dan memuat data guru, silabus serta PBK (penilaian berbasis kelas) seperti yang termaktub dalam PP No. 19 tahun 2005. Bila Yayasan/Komite Sekolah kurang mampu mengusahakan laman yang membutuhkan bandwidth yang besar dan secara akademik memenuhi kriteria sekolah on-line, maka Yayasan/Komite Sekolah dapat bergabung dengan Oracle Education Foundation untuk mengisi laman Think.com - (laman komunitas pemelajaran inter-aktif internasional dimana para guru, siswa dan orang tua dapat saling berinter-aksi dengan komunitas pendidikan lain di seluruh dunia secara on-line) - yang training-nya gratis dan penyediaan data base-nya tak terbatas.
(2). Menjajaki langkah-langkah untuk memulai penerapan SKS (sistim kredit semester), sebab dengan persiapan menuju ke SKS, pihak Yayasan/Komite Sekolah dan pihak sekolah dipaksa untuk memperbaiki manajemen persekolahan menuju pada penerapan moving class dan MBS. Dengan demikian, secara prinsipiil, cara pandang dan pola pikir (mind set) semua stakeholders akan berubah, dari menilai/menghakimi siswa (transformatif, generatif dan transmission) menjadi menghargai proses sekecil apapun partisipasi yang ditunjukkan oleh siswa (kognitivisme, behaviorisme dan kontrukstivisme).
Sistim manajemen akan berubah dari sekedar urusan administrasi sekolah menjadi menajemen pendidikan (MBS).
Tentang Panduan SKS ini dapat dilihat di Kompas, Rabu 25 Agustus 2010 halaman 12 : SISTIM SKS DITERAPKAN DI SMP DAN SMA, Panduan Sudah Disebarkan - bila anda sudah tidak menyimpan Kompas cetak ini, anda masih dapat mengunduhnya di : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA-5
(3). Mengadopsi kurikulum internasional seperti IB, Cambridge, GAC, dll. sebab dengan diterapkannya kurikulum internasional ini, maka pola manajemennya juga harus disesuaikan dengan tuntutan pemerolehan akreditasinya yang mengacu pada pemenuhan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, bukan sekedar pengajaran yang bermutu.
Lalu bagaimana bila Yayasan/Komite Sekolah atau pihak sekolah tidak berminat untuk meraih sertifikat ISO 9000? Ada tiga jalan, yaitu :
(1). Mengadopsi pola sekolah alternatif, seperti SD Mangunan di Yogya, yang dirintis oleh alm Romo Y.B.Mangunwijaya Pr. dan mengembangkannya sampai ke tingkat SMP dan SMA. ...atau
(2). Membangun sekolah komunitas, seperti yang disyaratkan dalam RUU BHP (Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) dimana semua stakeholders berperan serta dalam menentukan kemajuan dan mutu pendidikan dan pengajaran di sekolah (peran Yayasan menjadi minimalis) .... RUU BHP ini sudah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi), maka ...
(3). Meningkatkan status sekolah dari sekolah reguler menjadi SSN (sekolah standar nasional), syukur kalau bisa ke jenjang RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) dan SBI (sekolah bertaraf internasional) agar manajemen perubahan (change dan challenge) dapat diterapkan secara simultan.
Apapun jalan yang dipilih, sekolah tidak boleh berhenti melangkah atau arus penutupan sekolah-sekolah swasta yang sudah terjadi di desa-desa akan merambah ke sekolah-sekolah swasta yang selama ini dinilai bisa survive. Mohon diingat bahwa menurut klausul WTO (World Trade Organization) , dunia pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing sehingga kemungkinan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional akan makin besar.
Dimuat di Majalah EDUCARE No. 3/V/Juni 2008 halaman 38-40
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar