Di sebelah gedung cagar budaya tampak gedung cagar budaya lain yang masih direnovasi. Ironisnya, renovasi gedung cagar budaya tersebut mengubah total arsitektur bangunan menjadi bangunan modern. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Cagar Budaya.
(“Kota Tua Kian Kumuh”, KOMPAS, Minggu 17 November 2013 halaman 4)
Keengganan untuk menekuni kearifan lokal dan menjaga tata nilai filosofis luhur yang terkandung dalam struktur dan penataan fungsi bangunan kuno nampak juga dalam restorasi Candi Muara Takus yang dikerjakan Dinas PU Provinsi Jambi atau upaya pemugaran bekas Kantor Imigrasi di Jl. Teuku Umar Jakarta, yang melenceng dari imaji arsitek penggagas awalnya : Pieter Adriaan Jacobus Moojenyang.
Nampaknya ruang-ruang publik kita sudah terlalu gaduh dengan isu modernisasi yang menisbikan semua yang serba tradisional dan kuno. Tugas para ahli dari Kementerian PU adalah menghidupkan kembali, pada aras praktek, perbedaan yang ketat antara keinginan untuk tampil modern dan pemikiran yang mengakar di perenungan yang mendalam tentang keunggulan lokal serta kearifan lokal. Jangan sampai nilai-nilai budaya diperlakukan sebagai aturan tradisi dan bukan sebagai terang budi dan rasa merasa yang dengan cara kreatif akan mengembangkan cara berpikir dan cara bertindak.
Dalam kaitan dengan para teknokrat dari Kementerian PU, arkeologi dapat diartikan sebagai jembatan antara studi teknik dan untuk apa teknologi itu digunakan. Meminjam pemikiran Prof. Daoed Yoesoef: “…kalaupun arkeologi tidak bisa sendirian menjawab sepenuhnya suatu pertanyaan yang sudah dan akan terus mengusik manusia sepanjang sejarah peradabannya, yaitu ‘sangkan paraning dumadi’ (asal usul dan tujuan penciptaan), paling sedikitnya disiplin ilmiah yang satu ini diharapkan dapat menjelaskan ‘how the worlds become’ – bagaimana bumi menjadi human”.
Dengan demikian perencanaan tata kota dan tata ruang harus bertujuan menjadikan hunian yang manusiawi, bukan kota yang “kering” dan teralineasi dari masyarakat urban yang tetap berjiwa agraris ini.
1. Lokasi (vandalisme, adanya pembakaran yang disengaja, dan peluang pasar)
2. Sensitifitas penggunaan dan atau kepemilikan (alih fungsi bangunan)
3. Keterbatasan kebijakan dan persyaratan (kebijakan pro pasar)
4. Pertimbangan legal (kemudahan pengalihan hak)
5. Pembelanjaan/ kebutuhan pengembangan (BEP (break even point) : titik impas, dan ROI (return of investment) : balik modal
6. Bentuk konstruksi (sifat kerusakan yang tak terdeteksi, keterbatasan material di lapangan)
7. Konfigurasi ruang (fungsi ruang yang tak tertelusur)
9. Bahaya dan resiko kesehatan dan keamanan bagi kontraktor dan pengguna (kerusakan lantai, debu dan lumut)
10. Penampakan kerusakan khusus yang memerlukan perhitungan dan retensi.
11. Pola sirkulasi (orang, informasi, material, barang yang tidak lagi sesuai dengan jaman ini)
12. Meningkatkan efisiensi energi (perkiraan dampak lingkungan, pengelolaan bangunan berbasis komputer, recover panas, pendingin dan ventilasi pasif)
13. Perbaikan lingkungan kerja (kualitas udara, pencahayaan, dan ventilasi)
14. Ramah lingkungan dan berkelanjutan (pengelolaan sampah, resapan air hujan, daur ulang air limbah)
Pertimbangan lain yang juga diberikan untuk keperluan khusus dan keinginan pengguna bangunan meliputi:
a. Aspirasi dan atau harapan (apa yang di harapkan dari bangunan sekarang dan yang akan datang)
b. Kecenderungan gaya hidup masa depan (pemahaman rumah minimalis, rumah kerja, pekerjaan sampingan di rumah)
c. Persyaratan pengguna (ergonomik, keterbatasan akses dan fasilitas, keamanan personal, standar kenyamanan).
d. Keuangan (hibah, pinjaman, pajak, penyewaan)
e. Jangka waktu (masa pengerjaan sebelum memborongkan)
f. Klien (banyak orang dan organisasi sedang tertarik untuk memanfaatkan ilmu fengsui untuk tata letak internal dan dekorasi ruangan sehingga mengubah keseluruhan arsitektur).
Pekerjaan selanjutnya adalah mereposisi peran arkeologi. Menurut Apri Heri Iswanto hal itu dapat dikerjakan melalui aktivitas berikut:
• Konservasi
Membuat bagunan layak untuk beberapa tujuan penggunaan (International Council of Monument and Sites , 1964); ’.....aksi untuk mencegah kerusakan.....meliputi semua aksi sepanjang umur dari warisan budaya dan alam kita’ (Conservation of Historic Building, Feilden, 1994, halaman 3); ‘aksi untuk mengamankan peninggalan atau melestarikan bangunan, benda-benda peradaban kuno, sumber daya alam, energi atau suatu nilai yang diakui pada masa yang akan datang’ (Guide to the Priciples of the Conservation of Historic Building, British Standard, 1998).
• Preservation
Metode yang meliputi retensi bangunan atau monumen dalam kondisi semula tanpa penambahan material atau substraksi lain sehingga bangunan ini dapat ditangani dimasa mendatang dengan semua fakta dan karakternya (Preservation of ancient monuments and historic buildings, Baines, halaman 104-106).
• Repair
Pemugaran dari suatu bagian yang rusak atau lapuk melalui pembaruan, penggantian atau penambalan (British Standar 8210:1986)
• Pemeliharaan
Kombinasi semua teknik yang meliputi supervisi, kesungguhan mempertahankan, mengembalikan sesuai fungsinya (British Standard 3811: 1993)
• Rekonstruksi
Membangun kembali seperti yang ada pada masa lalu berdasarkan dokumentasi atau bukti fisik (British Standar 7913:1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar