30 tahun yang lalu, Sungai Chao Phraya tidak ada bedanya dengan Sungai
Ciliwung – kumuh, pengap dan bau. Tapi
sekarang Sungai Chao Phraya telah layak jual sebagai salah satu tujuan wisata
di Thailand
30 tahun yang lalu, Ibu Negara : Ibu Tien
Soeharto telah meluncurkan program PROKASIH (Program Kali Bersih) di Ciliwung dan
sekarang Ciliwung tetap kumuh,
pengap dan bau (Laporan Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 di Harian Kompas dan
Kompas.com), sementara Sungai Chao Phraya sudah melaju maju sebagai tempat “dinner
cruises” dan “attractions along river & canal trips”
Apa yang salah?
Berdasarkan penelusuran internet,
saya mendapatkan data bahwa perubahan yang terjadi pada Sungai Chao Phraya
tidak terjadi dalam setahun dua tahun, tetapi melalui proses panjang pendekatan
budaya untuk mengubah kebiasaan masyarakat di sepanjang aliran Sungai Chao
Phraya melalui program pemberdayaan masyarakat dan penyadaran lingkungan yang
dikenal sebagai MAGIC EYE
Melalui program MAGIC EYE ini masyarakat disadarkan
bahwa kehidupannya sangat bergantung pada kualitas sungai dan oleh karenanya
masyarakat disadarkan untuk ikut serta menjaga kebersihannya dan menjaga keselarasan
dengan alam sekitarnya.
Sedangkan PROKASIH yang diluncurkan oleh Ibu Tien
Soeharto adalah pendekatan proyek
yang disusun oleh Pemerintah tanpa melibatkan peran serta aktif dari masyarakat
sehingga hasil PROKASIH tidak
sebanding dengan MAGIC EYE.
Apa masalahnya?
Penduduk
yang tinggal di sepanjang Sungai Ciliwung tidak
lagi bergantung pada sungai ini, karena :
- Mereka bukan lagi penduduk agraris – mereka bukan petani sehingga mereka asing dengan pengertian pentingnya sungai untuk irigasi dan perikanan air tawar – Mereka adalah penduduk urban yang menggantungkan hidupnya pada sektor-sektor lain sehingga fokus perhatiannya bukan pada pelestarian alam.
- Karena himpitan kehidupan urban, maka penduduk yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Ciliwung juga tidak “tourist minded” - mereka tidak mengerti untuk apa sungai “dijual” dan apa keuntungan langsung yang akan mereka peroleh
- Budaya instant telah merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, sehingga tujuan jangka panjang dari upaya pelestarian sungai sulit ditangkap maknanya, sedangkan tujuan jangka pendek dari upaya penyelamatan sungai tidak segera kelihatan hasilnya.
Oleh sebab itu,
tidak mengherankan kalau program PROKASIH
itu gagal dan upaya mantan Gubernur
Sutiyoso untuk mengaktifkan jalur aliran Sungai Ciliwung sebagai sarana
transportasi air juga gagal total.
Usulan saya :
- Mengembalikan jati diri bangsa kita – bangsa kita adalah bangsa maritim yang tinggal di ribuan pulau yang dipisahkan oleh air – maka air dan kehidupan air sangat penting untuk survival bangsa kita. Sukar? Libatkan TNI AL + jajarannya (Korps Marinir, KOWAL, Lembaga Hidrografi AL dll), Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI (Puslit Oceanologi), SEAMEO BIOTROP dan LSM serta Pecinta Alam (di sekolah dan Perguruan Tinggi). Kegagalan yang terjadi selama ini, menurut hemat saya, karena perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh “orang-orang darat” (birokrasi Pemerintah DKI, Pemkab Bogor dan Pemkot Depok)
- Galakkan upaya untuk “menjual sungai” – cara yang paling mudah adalah mewajibkan semua penduduk yang tinggal di tepi aliran Sungai Ciliwung untuk mengubah disain rumahnya – rumahnya harus menghadap ke Sungai Ciliwung – sungai bukan lagi halaman belakang rumah, tempat penduduk membuang limbah rumah tangga. Penegakan hukum harus dijalankan dengan sungguh-sungguh sehingga tata ruang daerah bantaran sungai menjadi lebih asri dan rapih. Sebenarnya sudah ada Perda yang melarang penduduk membangun di area bantaran sungai, tapi aturan ini tidak bisa ditegakkan karena ide untuk membuat “jalan inspeksi” di sepanjang bantaran sungai tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh – misalnya, masih ada saja fasilitas MCK di sepanjang Sungai Ciliwung. Upaya Pemda DIY sebenarnya dapat dicontoh. Pemda DIY membeli rumah/ruko lalu diubah menjadi ruang terbuka hijau sehingga daerah urban menjadi lebih manusiawi.
- Lawan budaya instant – Caranya? Semua penduduk harus disadarkan bahwa bukan hasil yang penting, tapi proses untuk mendapatkan hasil itu, justru lebih penting. Dalam kaitannya dengan Sungai Ciliwung, maka setiap RT harus bertanggung jawab atas kebersihan aliran sungai yang melalui wilayahnya. Hampir semua RT masih mengenal budaya “kerja bakti” , tapi budaya “kerja bakti” ini tidak pernah diterapkan untuk sungai di wilayahnya, malahan sering terjadi, sampah yang dikumpulkan selama “kerja bakti” dibuang langsung ke sungai. Setelah mengerti ulang “kerja bakti” - penghijauan bantaran sungai kemudian dapat menjadi tanggung jawab RT masing-masing.
- Dengan demikian, setiap RT yang dilalui aliran Sungai Ciliwung kemudian dapat mulai memperkenalkan olah raga air dan perairan di wilayahnya, seperti sepeda air, snorkeling (cukup bermodalkan kaca mata air), polo air dll. Tujuannya? Untuk dapat melakukan olah raga air dan perairan ini, penduduk akan melakukan segala upaya untuk menjaga kualitas kebersihan sungai
- Baru setelah ini, ide mantan Gubernur Sutiyoso untuk menjadikan aliran sungai sebagai sarana transportasi air dapat mulai dikembangkan dan investor dapat diundang untuk mengembangkan Sungai Ciliwung menjadi sekelas dengan Sungai Chao Phraya.
Apakah ada contoh keberhasilan ?
Ada, yaitu pada alih fungsi Terminal Banteng
(yang kumuh dan kacau) menjadi Taman Kota Lapangan Banteng yang hijau dan
asri. Hanya sayangnya, pengelolaan Taman
Kota Lapangan Banteng ini tidak diserahkan kepada Hotel Borobudur, sehingga
kualitas kebersihan dan ketertiban Taman Kota Lapangan Banteng ini tidak
sekelas dengan hotel di depannya itu.
Karena
pengelolaan Taman Kota Lapangan Banteng ini diserahkan pada aparat birokrat
(Dinas Pertamanan) maka keasriannya kurang terjaga. Pemda tidak bisa mengurusi segala hal, peran
serta masyarakat dan swasta akan sangat meringankan beban Pemda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar