Anggaran pendidikan kita meningkat secara signifikan 8 kali lipat dari 42,3 milyar di tahun 2001 menjadi 200 triliun di tahun 2009. Lalu kebijakan program sekolah gratis bagi SD dan SMP yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2009 lagi-lagi telah meningkatkan alokasi dana BOS per siswa yang makin besar. Dana BOS di tahun 2012 ini sudah mencapai Rp. 580.000 per siswa SD dan Rp. 710.000 per siswa SMP. Namun sayangnya, lonjakan anggaran pendidikan ini belum mampu menjawab masih ditemukannya warga yang tidak dapat menikmati pendidikan, terutama mereka yang berasal dari rumah tangga miskin.
Hal ini diperkuat oleh data BPS 2009, ternyata masih ada 7,4 juta anak berasal dari Rumah Tangga yang Sangat Miskin, termasuk diantaranya 1,2 juta balita terlantar dan 3,2 juta anak terlantar yang tidak bisa menikmati bangku sekolah. Data BPS dan ILO 2010 juga menyatakan bahwa jumlah anak terlantar naik menjadi 5,4 juta, berarti jumlah anak yang tidak bisa menikmati program wajib belajar 9 tahun mencapai 5,4 juta anak. Banyak dari antara mereka menjadi pekerja anak di sektor informal dengan jam kerja yang tidak manusiawi atau terpuruk menjadi anak jalanan (street children). Kalau mengacu pada APBN-P 2012 ternyata jumlah keluarga pra sejahtera yang berhak mendapat dana kompensasi kenaikan BBM atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, naik dari 17,3 juta menjadi 18,4 juta keluarga. Maka jumlah pekerja anak dan anak jalanan pastilah meningkat. Dengan kata lain, jumlah anak yang tidak mengenyam bangku sekolah juga membesar.
Apa yang salah? Padahal kita sudah mencanangkan lima hal yang menyangkut bela rasa kita pada masa depan anak miskin dan terlantar, yaitu :
Pertama, dipertahankannya klausul Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 : Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Berdasarkan ketentuan pasal ini, mestinya anak-anak tidak dibiarkan bekerja mencari nafkah, entah untuk menafkahi dirinya sendiri atau menopang hidup keluarganya.
Kedua, untuk mengatasi anak-anak yang tidak bisa bersekolah sejak usia dini ini, pemerintah kemudian meluncurkan Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, yang ditanda tangani oleh Presiden Soeharto tanggal 15 April 1994 : Setiap anak Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar 9 tahun. Program ini diwujudkan dengan maraknya pembangunan sarana dan prasarana SD Inpres tanpa memperhatikan persebaran gurunya. Akibatnya, di satu sisi ada sekolah-sekolah di kota yang kelebihan guru PNS dan banyak juga SD Inpres di desa yang hanya ditangani oleh 2-3 guru saja. Kualitas pendidikan bukannya makin membaik, malahan dari tahun ke tahun makin merosot, meskipun Inpres ini dilengkapi dengan Pedoman Pelaksanaan Wajib Belajar poin 4 : Wajib diikuti oleh semua warga negara yang berusia 7 sampai 15 tahun. Tetapi Inpres ini tidak diikuti dengan penyiapan SDM-nya (guru-gurunya). Harap diingat bahwa program Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Dr. Anies Baswedan tahun 2009 itu dimulai dari keprihatinan akan SDM ini.
Ketiga, pada saat yang sama, PBB meluncurkan MDGs (Millenium Development Goals) : Deklarasi Milenium yang diadopsi 189 negara anggota PBB pada KTT Milenium di New York, September 2000, butir 2 : Menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 2015. Rumusan MDGs ini acap kali diterjemahkan secara salah oleh banyak Pemda dengan menggratiskan sekolah-sekolah negeri, sehingga sekolah-sekolah swasta di remote area menjadi mati suri. Banyak sekolah-sekolah PGRI, Taman Siswa, PSKD, BOPKRI, dll yang gulung tikar, karena penggratisan sekolah-sekolah negeri ini, padahal kapasitas sekolah-sekolah negeri ini juga terbatas. Akibatnya jumlah anak yang tidak tertampung di sekolah negeri makin besar, sehingga anak usia sekolah yang tidak bersekolah juga makin banyak.
Oleh sebab itu, pemerintah kemudian meluncurkan program keempat, yaitu Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 9 Juni 2006. Inti pokoknya adalah :
(a) Target APM (Angka Partisipasi Murni) untuk SD : 95% pada akhir tahun 2008.
(b) Target APK (Angka Partisipasi Kasar) untuk SMP : 95% pada akhir tahun 2008, dan
(c) Menurunkan persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun sekurang-kurangnya menjadi 5% pada akhir tahun 2009.
Namun percepatan program wajib belajar ini juga tidak terasa gaungnya, karena 52% dari APBN kita habis dialokasikan untuk belanja pegawai, sehingga bagian yang menetes untuk rakyat tidak lagi memadai. Maka dari itu kemudian diputuskan peluncuran program kelima, yang dilegalkan melalui ketentuan Pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen keempat : Anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN maupun APBD. Namun hal inipun terbukti gagal untuk membuat semua anak usia 7 sampai 15 tahun bersekolah. Sebab pemerintah justru terjebak dalam politik percepatan pertumbuhan (bukan pada pemerataan pendidikan), yaitu penciptaan sekolah unggulan (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Alih-alih memenuhi capaian “Pendidikan untuk Semua” seperti yang sudah digariskan oleh UNESCO pada tahun 1968, pemerintah justru menciptakan diskriminasi bagi anak dari rumah tangga miskin untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (karena biaya pendidikan di RSBI dan SBI itu tidak terjangkau oleh keluarga pra sejahtera). Oleh sebab itu diperlukan suatu terobosan baru agar kita dapat menjangkau yang tak terjangkau yaitu anak-anak dari keluarga pra sejahtera yang jumlahnya cukup signifikan. Tanpa terobosan baru maka masalah ini akan memicu ledakan angkatan kerja yang tidak terdidik dan tidak trampil dengan segala problematiknya.
Sementara itu dilema lain menghadang yaitu angka laju pertumbuhan penduduk, dalam kurun waktu dari 2011 hingga 2045 cukup besar, karena program Keluarga Berencana dianggap produk Orde Baru yang harus ditanggalkan. Akibatnya, Indonesia mempunyai jumlah penduduk berusia produktif sangat banyak. Kondisi ini akan menjadi bonus kependudukan (demographic deviden) jika mereka dipersiapkan dengan baik. Sebaliknya, jumlah penduduk yang banyak itu akan menjadi bahaya kependudukan (demographic disaster) jika dibiarkan tanpa persiapan memadai (Inforial Kemdiknas, Koran TEMPO, Selasa 23 Agustus 2011 halaman A5). Untuk menghasilkan bonus kependudukan (demographic deviden), maka “pendidikan untuk semua” itu harus digarap secara walk the talk, mengimplementasikan program yang disertai dengan sistim monitoring dan evaluasi yang efektif.
Pendidikan untuk semua sejak usia dini ini penting untuk menciptakan generasi 2045. Generasi 2045 adalah generasi yang akan menjadi kado istimewa untuk peringatan satu abad Republik Indonesia tahun 2045 yang akan datang. Generasi 2045 adalah warga negara Indonesia yang kini berusia dibawah 1-10 tahun. Mereka inilah yang dalam kurun waktu 33 tahun, sampai tahun 2045 nanti, yang akan menjadi tenaga kerja produktif dengan usia dibawah 50 tahun. Mereka akan menjadi pengisi 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Di tangan merekalah terletak masa depan negara dan bangsa ini.
Masalah dasar
Penciptaan generasi 2045 terkendala beberapa masalah serius, yaitu mutu layanan pendidikan dasar di daerah pedesaan yang tertinggal sangat buruk. Kondisi infrastruktur sekolah tidak menunjang kegiatan untuk belajar. Masalah lain adalah dibutuhkannya ketersediaan dana insentif untuk rumah tangga miskin agar mereka dapat melanjutkan pendidikan anak perempuan mereka ketingkat sekolah menengah, atau memudahkan anak perempuan melanjutkan ke sekolah menengah, yang akan merupakan investasi penting untuk menunda kehamilan dini dan memberi mereka kesempatan yang lebih baik untuk menentukan kehidupan mereka, serta meningkatkan pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Mereka akan menjadi ibu dari generasi 2045.
Persoalan berikutnya adalah ketidakhadiran guru yang merupakan masalah utama di daerah pedesaan yang kekurangan air bersih dan sanitasi. Ini merupakan salah satu sebab mengapa guru dari daerah perkotaan tidak bersedia tinggal di desa. Bila mereka tidak hadir, anak-anak dibiarkan keluar sekolah, tinggal di dalam kelas tanpa guru, atau diajar oleh guru pengganti yang tidak terlatih. Guru pengganti mengajar dengan metode mengajar yang sangat buruk, dan tingkat pengetahuan yang tidak lebih dari lulusan sekolah menengah. Kurangnya sarana air bersih dan fasilitas sanitasi di sekolah dasar di pedesaan tertinggal juga menyebabkan upaya mengajarkan kebersihan di tingkat dasar menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Anak-anak dari desa tertinggal memiliki kebersihan yang rendah. Pada gilirannya, kesehatannyapun memprihatinkan.
Pada umumnya sekolah dasar negeri di perkotaan lebih baik daripada sekolah dasar di pedesaan dalam hal infrastruktur, kecuali untuk sanitasi. Sekolah dasar di perkotaan memiliki guru dengan keterampilan mengajar yang cukup memuaskan. Kebanyakan murid kekurangan buku pelajaran.
Maka perwujudan dari sila kelima Pancasila : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mutlak diperlukan untuk mencapai generasi 2045 yang berkualitas. Upaya mewujudkan keadilan sosial mesti berjalan seiring dengan perubahan paradigma pendidikan.
Solusi
Jalan keluarnya mesti mengubah paradigma pendidikan melalui upaya pemenuhan empat kaidah dasar Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ecosoc Rights) yaitu protect the culture, protect the nature, empower and being benefit to local people, conservation (perlindungan akar budaya, perlindungan sumber daya alam, pemberdayaan masyarakat dan pemberian manfaat untuk penduduk asli, serta konservasi). Pemenuhan hak-hak ini dalam budaya Indonesia berpola dalam pendidikan berasrama (boarding school) model pondok pesantren, madrasah, SOS Desa Taruna, TPA (Tempat Penitipan Anak), dan sekolah-sekolah berciri khas keagamaan yang berasrama.
Hal ini dimungkinkan bila pemerintah mengalihkan biaya untuk RSBI dan SBI, serta proyek-proyek mercu suar yang lain, seperti sertifikasi ISO 9000:2001 atau ISO 14000, menjadi sekolah-sekolah berasrama untuk menampung anak-anak dari desa-desa tertinggal dan anak-anak dari rumah tangga miskin. Dengan kata lain, pemerintah fokus pada pemerataan pendidikan dan bukan pada pertumbuhan pendidikan.
Kenapa pendidikan berasrama ini dipilih oleh para founding fathers kita? Karena pendidikan berasrama ini membangun kemandirian, menguatkan kesetia-kawanan, meningkatkan ketrampilan dan memperkuat daya tawar (bargaining position).
Dasar pemikirannya adalah : pertama, Anak dilepaskan dari bahaya gizi buruk, karena dengan tinggal di asrama, kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan) serta sanitasinya terpenuhi; kedua, Anak mengenal disiplin dan hidup bersosialisasi sejak usia dini; ketiga, layanan pendukung pendidikan, seperti buku, alat tulis dan waktu untuk mengerjakan PR tersedia, lalu fasilitas bermain tercukupi, dan fasilitas perpustakaan terpenuhi; keempat, Anak tidak terjerumus dalam eksploitasi anak, seperti menjadi pekerja anak atau menjadi anak jalanan; kelima, Anak perempuan terhindar dari perkawinan dini atau kehamilan dini, sehingga dapat menjadi ibu yang baik bagi generasi 2045 yang berkualitas.
Penulis adalah pemenang IMA 2011 (Indonesia MDGs Award 2011)