ABSTRACT LATAR BELAKANG | 2 | |
3 | ||
1 | Ranking Perguruan Tinggi | 3 |
2 | Human Development Index (HDI) | 4 |
3 | Daya Saing | 4 |
BAB I - POKOK-POKOK PERMASALAHAN | 5 | |
Mengapa Renstra Diknas tidak jalan? | 5 | |
1 | Matinya Filsafat Pendidikan di Indonesia | 5 |
Mengapa perkembangan filsafat pendidikan di | 6 | |
Hak peserta didik | 8 | |
2 | Kurikulum baru yang tanggung- jejak filsafat pendidikan yg hilang | 9 |
Apa yang salah? Kemampuan berpikir kritis telah dikebiri | 9 | |
Jalan keluar (re-code DNA sekolah-sekolah kita) | 12 | |
3 | Sehabis KTSP lalu apa? SKS! | 13 |
Memahami grand design pendidikan kita – benang merah yg putus | 14 | |
Yang tak tersentuh | 15 | |
Lalu apa? | 15 | |
Apa yang dituju? | 17 | |
4 | Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah? | 17 |
Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan | 18 | |
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) | 19 | |
BAB II - SOLUSI | 22 | |
1 | MANAJEMEN KOLABORASI sebagai manajemen mutu pendidikan | 22 |
Keluaran yang diharapkan | 24 | |
2 | Wujud dari implementasi manajemen mutu : Sekolah On-line | 25 |
Keselarasan dengan KTSP | 27 | |
BAB III - KESIMPULAN | 29 | |
DAFTAR PUSTAKA | 30 |
ABSTRACT
Meskipun kita mempunyai Renstra Diknas dan menyadari upaya pemenuhan target MDGs di tahun 2015, bahkan Presiden SBY sudah mencanangkan Visi Indonesia 2030, namun kualitas kaum terdidik di negara kita tetap rendah, yang tercermin dari rendahnya ranking perguruan tinggi kita di dunia, akibatnya Human Development Index (HDI) negara kita makin merosot dan daya saing kita (Global Competitiveness Index) makin menurun.
Padahal menurut Peter Senge (1990), kemajuan suatu negara ditentukan dari mutu sumber daya manusianya dan mutu SDM ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan di negara itu. Sedangkan kualitas pendidikan akan terdorong maju bila negara menyediakan ruang yang kondusif bagi perkembangan dan tumbuh kembangnya filsafat pendidikan. Karena melalui think tank inilah aspek futurologis dari pendidikan diletakkan, yaitu perbaikan mutu SDM.
Perbaikan mutu SDM ini harus dimulai dari peningkatan kualitas pendidikan dasar yang kinerja guru dan sekolahnya teraudit melalui MBS (manajemen berbasis sekolah) sehingga gugus kendali mutu dapat diletakkan pada dasar filosofisnya yang benar.
Manajemen mutu di dunia pendidikan kita selama ini hanya dipahami sebagai pencapaian sertifikat ISO 9001 dan dual degree, padahal yang lebih penting adalah penerapan PBL (project based learning) yang didukung oleh manajemen kolaborasi, dua hal yang tidak disinggung dalam silabus dan manajemen sekolah serta perguruan tinggi kita.
Tanpa perbaikan nyata, maka masyarakat akan terdorong untuk mengelakkan tantangan yang sebetulnya riil dan ”awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral dan etika
LATAR BELAKANG :
- Ranking Perguruan Tinggi
Menurut Webometrics Ranking of World Universities yang dipublikasi bulan Januari 2008, ranking perguruan tinggi di Indonesia dari 4000 perguruan tinggi di seluruh dunia yang dinilai, berturut-turut adalah :
PTN | ranking | PTS | ranking |
Univ Gajah Mada | 734 | Univ Krsiten Petra | 2841 |
ITB | 844 | STT Telkom | 3356 |
UI | 1998 | Univ Gunadarma | 3738 |
Univ Brawijaya | 2472 | Univ Binus | 3803 |
IPB | 2546 | ||
ITS | 2981 | ||
Unhas - Makasar | 3297 | ||
Unair - Surabaya | 3544 |
Bandingkan dengan :
Beijing University ranking ke-133,
National University of Singapore (NUS) ranking ke-141,
University of Hongkong ranking ke-156,
Prince Songkla University Thailand ranking ke-309,
Hongkong University of Science & Technology ranking ke-347,
Chulalongkorn University Thailand ranking ke-443,
Indian Institute of Technology Bombay India ranking ke 559
Apa akibatnya? Masyarakat yang kurang terdidik, yang kemampuan kritisnya kurang berkembang, akan mengalami gerak sentripetal. Mereka kembali ke sistim-sistim harafiah, misalnya fundamentalisme atau primordialisme. Gerakan ideologi identitas seperti itu sedang berkembang di Indonesia. Ada kecenderungan dalam sistim identitas, orang kembali pada sistim yang ada. Mereka tertutup pada kecenderungan kritis dan revitalisasi. Ada unsur mengelakkan tantangan yang sebetulnya riil. Itulah sebabnya mengapa HDI dan daya saing kita terus merosot.
- Human Development Index (HDI)
Dalam laporan HDI yang dikeluarkan UNDP’s Human Development Report tahun 2007/2008 yang dipublikasi tanggal 27 November 2007, Indonesia terpuruk pada rangking 107 dari 177 negara anggota PBB, dibawah Vietnam (ranking 105), Philippines (ranking 90), Thailand (ranking 78), Singapore (ranking 25)
- Daya saing
Menurut The World Economic Forum tanggal 31 Oktober 2007, peringkat daya saing Indonesia untuk The Global Competitiveness Index (GCI) turun dibandingkan tahun 2006 dari rangking 48 menjadi ranking 50 dari 125 negara yang dinilai soal ”kemampuan negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya”
Bandingkan dengan Singapore ranking ke-5
Malaysia ranking ke-26
Thailand ranking ke-35
Vietnam ranking ke-77
Kamboja ranking ke-103
Kita semua sadar bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk peningkatan harkat dan martabat bangsa, namun mengapa kita terus terpuruk, juga dalam masalah moral dan etika. Kuncinya adalah : kita tidak membangun masyarakat pembelajar.
Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Dicipline banyak orang terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kitapun terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta ”awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral dan etika yang pada akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai
pada pembodohan . Pembaruan harus dimulai dari jenjang pendidikan dasar.
BAB I
POKOK-POKOK PERMASALAHAN
MENGAPA RENSTRA DIKNAS (RENCANA STRATEGI PENGEM-BANGAN PENDIDIKAN NASIONAL) TIDAK JALAN?
- MATINYA FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA
Gejala yang menjadi realitas
Sudah lama dunia pendidikan di Indonesia disesaki dengan instruksi dan perintah yang menyebabkan wajah pendidikan di negara kita menjadi uniform dan mandul kreativitas. Pengarus-utamaan (mainstraiming) cara pandang dan rekayasa pikiran bukan hanya terpola pada jawaban tunggal soal-soal ulangan harian di kelas, pakaian seragam serta pewajiban pemakaian buku ajar tunggal, tetapi juga dilembagakannya penilik/pengawas sekolah sebagai watchdog penerapan kebijakan di lapis bawah.
Akibatnya, siswa terprogram untuk menggambar dua gunung dengan jalan di tengahnya dan sawah ladang di kanan kiri jalan itu, debat menjadi tabu dan bertanya dianggap nyleneh atau cerewet. Begitu kuatnya internalisasi pola ini dalam benak peserta didik sehingga kehidupan rumah tanggapun tertuntun dengan pola yang sama. Orang tua selalu memberi instruksi dan perintah (tidak ada kewajiban ”mendengar” untuk orang tua) dan anak diarahkan untuk menjadi duplikat orang tua atau dipaksa untuk menjadi orang seperti yang yang dicita-citakan orang tuanya. Anak tidak mempunyai kuasa untuk memilih dunianya dan jalan hidupnya sendiri. Seharusnya sejak dulu kita merenung, dimana tempat filsafat pendidikan dalam pola pendidikan robotik semacam ini? Filsafat pendidikan yang harusnya merupakan think tank dari penentuan masa depan bangsa, telah lama ditiadakan dari institusi pendidikan (IKIP/FKIP) sehingga kemampuan berpikir kritis telah dibunuh sejak dari bangku TK, kemampuan untuk mempertanyakan apa saja dan kebisaan untuk menghubungkan apa yang dipelajari dengan lingkungan riilnya telah dicabut sejak dini.
Hal lain yang menyebabkan perkembangan filsafat pendidikan di Indonesia mandeg adalah campur tangannya begitu banyak orang yang tidak tahu pendidikan dalam program pendidikan.
1. Alim ulama yang mempunyai otoritas dalam pengajaran dogma di lembaga pendidikan keagamaan mulai mencampuri jalannya roda pendidikan di lembaga pendidikan berciri khas keagamaan, yang sebenarnya hakekat dan tujuan pendidikannya jauh berbeda. Lama kelamaan, cengkeraman tangan mereka menyentuh juga lembaga pendidikan umum yang diselenggarakan oleh negara (sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri) yang sebenarnya didirikan untuk melayani umum (bukan kelompok agama tertentu). Tempat-tempat ibadah lalu menggusur keberadaan lapangan olah raga dan taman-taman di sekolah/perguruan tinggi negeri dan telaah yang sifatnya dogmatis mendapat pijakannya yang kukuh di dunia pendidikan Indonesia. Sifat pendidikan yang egaliter dan demokratis menjadi lumpuh dan kehilangan makna di depan wajah pendidikan dogmatis yang meluas ini.
2. Semua orang merasa bisa mendidik. Akibatnya semua lembaga negara juga menjadi penyelenggara dan pengelola lembaga pendidikan. Depkes punya STIKES, Depdagri punya IPDN, Depkeu punya STAN dll, bahkan sampai ke tingkat bawah-pun punya lembaga pendidikan seperti Ditjen Perkebunan punya STIPER, PT Telkom punya STT Telkom dll sehingga fenomena latah ini kemudian juga diikuti oleh OKB (orang kaya baru) yang merasa bahwa investasi di dunia pendidikan adalah deposito untuk ke surga. Lalu maraklah pendirian lembaga pendidikan swasta milik perorangan yang perkembangannya kemudian menjadi lepas kendali. Akibatnya komersialisasi dan ketertutupan pendidikan mendapatkan wadahnya yang relevan.
Anehnya requiem untuk filsafat pendidikan ini dirayakan dengan suka cita melalui birokratisasi dunia pengajaran yang tercermin dari implementasi sistim penggajian PGPS yang diplesetkan menjadi Pinter Goblok Pengha-silan Sama. Maka lengkaplah keterpurukan dunia pendidikan di Indonesia (yang nyata tergambar dalam rendahnya HDI (human development index) yang langsung memukul jantung dunia pendidikan di Indonesia yaitu dedikasi, integritas dan sifat karikatifnya.
Ada dua tanda matinya pemikiran dan perkembangan filsafat pendidikan di Indonesia :
- Dunia pendidikan kehilangan arah dan dimensi paedagogisnya
Dimensi pendidikan sudah lama hanya diartikan sebagai masalah KBM (kegiatan belajar-mengajar). Akibatnya pembicaraan mengenai fenomeno-logi pendidikan dan segala aspeknya hanya terbatas di ruang-ruang kelas. Mau bukti? Home schooling dan pendidikan alternatif dianggap berada diluar sistim.
Lebih celaka lagi, kemudian berkembang aksioma bahwa disain kurikulum (yang merupakan jiwa dari pendidikan) disamakan dengan sekedar pembuatan silabus dan program semester. Tak satupun IKIP/FKIP yang mempunyai Jurusan Disain Kurikulum. Bagaimana para pendidik bisa diharapkan untuk memikirkan aspek futurologis dari kebijakannya?
- Dunia pendidikan direduksi menjadi sekedar urusan kelembagaan.
Perguruan Tinggi sibuk dengan statutanya dan pendidikan dasar – menengah hanya melihat masalah pendidikan sebagai masalah persekolahan. Semua pihak sibuk dengan kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, birokrasi dan aturan, lalu melupakan spirit dan hakekat dari pendidikan yaitu memerdekakan manusia. Mau bukti? Sudah lama ide tentang deschooling society dari Paulo Freire dan Ivan Illich tidak mendapat respons dalam implementasi “memanusiakan manusia muda”. Pembangunan infrastruktur pendidikan telah menegasikan peran guru dan dosen sebagai pembimbing dan teladan asketisme – jalan sunyi yang harus dilalui para peserta didik bila mereka memilih ”tampil beda”
Mengapa perkembangan filsafat pendidikan di Indonesia mandeg?
- Aspek akademis direduksi menjadi sekedar pengumpulan cum/angka kredit kenaikan jenjang kepangkatan. Dunia pergulatan akademik yang berintikan kurikulum yang sahih, penelitian yang holistik dan penulisan karya ilmiah yang berorientasi pada upaya pencerdasan bangsa sudah lama direduksi menjadi pencetakan seminaris dan pembudayaan ”project oriented”. Debat akademis yang tidak mempunyai nilai cum tetapi sebenarnya mencerdaskan masyarakat sudah tidak ada lagi di Indonesia. Setelah debat antara sejarahwan G. Moedjanto dan Nugroho Nitisastro tentang sejarah lahirnya Pancasila, bangsa ini mengalami tidur panjang dalam pergolakan pemikiran yang intens. Lihatlah debat para intelektual tentang penyebab timbulnya semburan lumpur panas di Sidoarjo yang sudah berkembang menjadi debat kusir, sehingga penanganannyapun menjadi simpang siur.
- Meskipun Prof. Sartono Kartodirjo sudah mengingatkan agar kita tidak menjadi seperti pohon pisang, sekali berbuah lalu mati, namun masih banyak kalangan pendidik yang melupakan aspek dedikasi profesi dan ”long life education”/”long life achievement”. Ditambah lagi maraknya ide prosperity yang menganggap bahwa hidup sukses dan diberkati Tuhan adalah hidup yang berkecukupan dan terhormat di masyarakat. Lalu dimana tempat para pemikir filosofis pendidikan yang tak berujung pada kelimpahan materi?
- Eufemisme. Sudah lama kenyataan dan praksis yang ada dibungkus dengan teori-teori yang yang indah dan kalam-kalam yang melenakan. Akibatnya kedalaman materi dan inti hekekat permasalahan tidak terungkap sehingga masyarakat (termasuk kaum intelektual) teralineasi dari pola pemikiran induktif
Apa yang salah dalam dunia pendidikan kita telah lama diwacanakan di ruang-ruang seminar yang sejuk dan mewah berlatarkan gedung sekolah yang hampir roboh, tetapi solusi yang ditawarkan selalu berkutat antara upaya peningkatan gaji guru dan perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Solusi ini sebenarnya hanya merupakan fenomena ular kobra, tegak menantang di permukaan, tetapi tidak menyentuh inti masalah yang sebenarnya, yaitu pemenuhan hak anak dan tanggung jawab kita untuk meluruskan jalan ke masa depannya.
Solusi lain yang ditawarkan, semisal perbaikan kurikulum, ternyata tidak menjawab kebutuhan bangsa ini karena akar pijakan filosofisnya ompong.
Hak anak/peserta didik :
Hak-hak personal anak sebenarnya sudah terumuskan dengan jelas dalam UUD 1945.
Hal-hal yang jelas-jelas dilanggar bila perkembangan pemikiran dan kajian filsafat pendidikan dibiarkan mati di negara kita adalah :
- Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28 B ayat 2)
- Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)
- Hak untuk mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya (pasal 28 C ayat 1)
- Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum (pasal 28 D ayat 1)
- Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (pasal 28 E ayat 2)
- Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F)
- Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (pasal 28 G ayat 1)
- Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (pasal 28 I ayat 2)
- Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (pasal 28 I ayat 3)
Jadi sebenarnya kita dengan mudah akan mengenali apakah dunia pendidikan dikendalikan oleh penegasian pengembangan pemikiran filsafat pendidikan atau dijiwai oleh semangat pemenuhan hak asasi anak untuk mencari jati dirinya sendiri, melalui dua fenomena ini :
- Apakah pendidikan dan pengajaran bersifat tertutup atau terbuka?
- Apakah pendidikan dan pengajaran lebih mengedepankan aspek senioritas atau
kepakaran ?
Bila jawabannya YA pada yang pertama, yang tercermin dari masih maraknya kasus perpeloncoan (bahkan di tingkat SMP), dan tak adanya merit system (PGPS = pinter goblok penghasilan sama) maka mimpilah kita untuk dapat mencapai target MDGs (mengeliminasi setengah dari kemiskinan dan ketertinggalan pada tahun 2015) apalagi untuk dapat mencapai pemenuhan amanat dari Visi Indonesia 2030 (menjadi lima besar dunia di tahun 2030), karena anak-anak kita telah kita korbankan pada cetak biru (blue print) yang tak tersentuh.
2. KURIKULUM BARU (KTSP = Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) YANG TANGGUNG – jejak filsafat pendidikan yang hilang
Rangkaian peletakan dasar untuk penyusunan kurikulum baru yang berpijak pada OTONOMI SEKOLAH dan OTONOMI GURU telah diletakkan pada dasar filosofis yang benar, karena dasar pijakannya adalah :
Permen no. 22 pasal 1 ayat 1 : Standar isi untuk Satuan pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Ketentuan ini sejalan dengan Permen no. 24 pasal 1 ayat 2 : Satuan Pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan STANDAR YANG LEBIH TINGGI dari standar isi sebagaimana diatur dalam Permen no. 22 dan standar kompetensi lulusan sebagaimana diatur dalam Permen no. 23 tahun 2006
Apa yang salah ? Kemampuan berpikir kritis telah dikebiri
Meskipun dalam Panduan Penyusunan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) jelas-jelas dinyatakan wewenang dan hak guru dijamin dan dengan demikian otonomi guru sungguh-sungguh ditegakkan (halaman 21 tentang Pengembangan Silabus), namun ada beberapa hal yang perlu dicermati :
1. Banyak penatar yang ditatar tergesa-gesa karena tahun ajaran baru sudah dimulai sejak bulan Juli 2006 MENGACAUKAN ARTI Standar Kompetensi, Dasar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Banyak penatar SALAH MENAFSIRKAN apa yang dimaksud dengan KOMPETENSI DASAR. Kompetensi dasar menjadi acuan tertinggi sehingga para guru tidak lagi bebas mengembangkan kurikulum yang lebih tinggi standarnya.
Meskipun Permen no 24 pasal 1 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa Satuan Pendidikan dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP, namun para guru hanya meng-copy apa yang tercantum dalam Kompetensi Dasar yang telah disusun oleh Puskur (Pusat Kurikulum)
2. Banyak penatar yang MENCAMPUR ADUKKAN Jam Pembelajaran dan Beban Belajar Sekolah Kategori Standar dan Sekolah Kategori Mandiri.
Meskipun sudah dinyatakan dengan jelas pada halaman 14 : Pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran DAPAT DILAKUKAN SECARA FLEKSIBEL dengan jumlah beban belajar yang tetap, namun kerancuan tetap terjadi pada penentuan jumlah jam belajar (beban belajar) per minggu yang dipatok harus 32 jam + maksimal 4 jam per minggu untuk SMP dan 37 jam + 4 jam per minggu untuk SMA. Bila ketentuan ini diterapkan maka hal ini sungguh-sungguh melanggar azas otonomi sekolah dan justru bertentangan dengan filosofi diterapkannya KTSP itu sendiri. Padahal yang seharusnya diartikan dari halaman 14 itu adalah : Jam pembelajaran untuk SETIAP MATA PELAJARAN pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Jadi bila jam pembelajaran Matematika dalam struktur kurikulum hanya tertera 3 jam pelajaran per minggu, maka sekolah berwenang menambah maksimum 4 jam sehingga jam pelajaran Matematika itu menjadi 7 jam per minggu. Hal ini juga sesuai dengan isi Permen no. 24 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa sekolah dapat menyusun kurikulum yang lebih tinggi dari KTSP
3. Banyak penatar yang SALAH MENGARTIKAN ALOKASI WAKTU. Alokasi waktu dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku dan tidak boleh diubah-ubah lagi. Meskipun dengan jelas dinyatakan dalam halaman 26 : Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan PERKIRAAN WAKTU RERATA untuk menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam, namun tetap saja alokasi waktu dipatok mati seperti contoh yang disusun oleh Puskur
4. Yang lebih fatal lagi, para penatar tidak menguasai prinsip dari remedial dan enrichment. Siswa yang mengikuti program remedial bukan mereka yang berada dirangking bawah dan siswa yang mengikuti program enrichment bukan mereka yang menduduki rangking atas, karena menurut ketentuan yang tercantum pada halaman 25 : Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan APA YANG BISA DILAKUKAN peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan BUKAN UNTUK MENENTUKAN POSISI SESEORANG TERHADAP KELOMPOKNYA. Dengan demikian, siswa yang telah mencapai kompetensi dasar (minimal) tidak perlu mengikuti program remedial meskipun ia berada dirangking bawah.
5. Dan yang lebih serius lagi, banyak penatar yang telah menggunakan silabus tertentu, meskipun tidak melakukan analisis Delphi. Jadi silabus ditentukan lebih dahulu, baru kemudian disusun indikator untuk menilai pencapaian kompetensi dasar. Akibatnya, banyak guru dan birokrat pendidikan yang terjebak pada pola lama yaitu hasil test/ulangan/ujian merupakan satu-satunya penentu kenaikan kelas atau kelulusan siswa. Padahal menurut ketentuan yang tercantum dihalaman 24 : Penilaian dilakukan dalam bentuk tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio dan penilaian diri, sehingga mengacu pada butir 4 di atas, maka kurikulum baru ini tidak mengenal kata TIDAK NAIK KELAS atau TIDAK LULUS SEKOLAH, malahan siswa yang pandai dapat loncat kelas. Bukankah penilaian mencakup segala aspek dan holistik ? Tengoklah ketentuan d dalam halaman 25 : Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya dibawah kreteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi krriteria ketuntasan.
Jalan keluar (Re-code DNA sekolah-sekolah kita)
- Pengurus Yayasan/Komite Sekolah, para Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, konselor dan Koordinator MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) hendaknya diberi kesempatan untuk mengikuti program pelatihan (workshop) disain kurikulum. Dengan demikian, sekolah dapat merancang kurikulum yang solid dan dapat diakui secara internasional melalui sertifikasi IBO.
- Pihak Yayasan/Komite Sekolah hendaknya membentuk Badan Litbang, yang bertugas menyusun Dasar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Silabus (melalui analisis Delphi) serta melakukan analisis konteks, pengembangan silabus berkelanjutan serta pembuatan bank soal. Para guru hanya dibebani tugas menyusun satuan pelajaran (RPP) saja. Dengan demikian para guru dapat terfokus pada peningkatan kompetensi siswa.
- Setelah para guru sungguh-sungguh mengerti filosofi KTSP (guru berusaha menjadi lebih kompeten), maka hendaknya mereka diajukan untuk mengikuti ujian sertifikasi guru sesuai dengan ketentuan yang tersurat dalam UU Guru dan Dosen. Dengan demikian, sekolah-sekolah kita dapat menjadi agen perubahan dan merevitalisasi kedudukannya di percaturan internasional.
Bila jalan keluar yang ditawarkan di atas tak mungkin dipenuhi, maka pada akhir tulisan ini, penulis menawarkan konsep baru yang lebih applicable
- SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! Penguasaan Kurikulum, Manajemen Berbasis Sekolah dan Sekolah Mandiri dalam satu tarikan nafas
Dalam tulisan di atas, penulis telah menguraikan secara panjang lebar kesalahpahaman yang terjadi diseputar pelaksanaan KTSP, mulai dari libur pada hari Sabtu (meskipun guru-guru selalu mengeluh kekurangan waktu untuk menyelesaikan seluruh agenda yang termaktub dalam Standar Kompetensi) sampai penjualan silabus yang marak di toko-toko buku (padahal seharusnya silabus dibuat sendiri oleh guru setelah menyelesaikan langkah ke 12 dalam penyusunan KTSP oleh guru yang bersangkutan itu sendiri), mulai dari masih diberlakukannya sistem ranking (padahal penilaian harus mencakup aspek holistik : kognitif, psikomotorik, afektif dan kecakapan hidup (life skill) - (IQ dan EQ/EI) yang tidak mungkin mampu ditunjukkan perfomance-nya secara prima oleh seorang siswa/beberapa siswa saja – sebarannya pasti merata) sampai pada masih adanya penghakiman untuk kemampuan belajar siswa (masih ada siswa yang tidak naik kelas) – lalu untuk apa program remedial diselenggarakan dan untuk apa guru harus mengubah strategi pembelajaran pada langkah ke 6 dari penyusunan KTSP bila siswa gagal memenuhi SKBM (standar kompetensi belajar minimal)/KKM (kriteria ketuntasan minimal), juga mulai dari guru yang masih aktif memberikan ceramah (padahal model pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran harus sudah dirumuskan dalam taksonomi Bloom – penjabaran langkah ke 4 dalam penyusunan KTSP) sampai pada kesalahkaprahan fungsi BK sebagai tempat penyaluran siswa bermasalah, bukan sebagai tempat siswa untuk merencanakan studi lanjut dan menyiapkan diri untuk bekerja bila tak bisa studi lanjut melalui pendalaman materi pada kecakapan hidup (life skill). Bahkan yang paling fatal adalah munculnya pemahaman bahwa KTSP itu adalah mainan Menteri baru (ganti Menteri ganti kurikulum), tanpa melihat bahwa KTSP terdiri dari dua dokumen : Dokumen I tentang Isi Pendidikan dan Dokumen II tentang Kurikulum, Proses Pembelajaran dan Evaluasi, Sarana dan Prasarana Sekolah dan Buku Ajar. KTSP juga tidak berdiri sendiri, karena KTSP juga menuntut kompetensi guru yang diejawantahkan dalam Program Sertifikasi Guru, sehingga kualitas guru dapat terpantau (tidak semua orang yang tidak laku di pasar kerja dapat menjadi guru).
Meskipun kesalahpahaman di atas lazim terjadi, namun pihak Depdiknas dan Komite Sekolah nampaknya menutup mata. Hal ini mungkin disebabkan karena banyak pihak tidak mengerti grand design dari arah pendidikan kita : ”mau kemana arah pengembangan pendidikan ini?”
Memahami grand design pendidikan kita –benang merah yang putus
Setelah pencanangan audit kinerja sekolah melalui MBS (manajemen berbasis sekolah) pada tahun 1994, yang diikuti dengan sosialisasi tipe Sekolah Mandiri pada tahun 2004, lalu disusul dengan ide mengenai lulusan yang kompeten atau lebih berkualitas melalui penyusunan kurikulum yang disertai dengan upaya meningkatkan kompetensi guru melalui Program Sertifikasi Guru (yang dilandasi UU Guru dan Dosen), sebenarnya kemana arah pendidikan kita? Seharusnya arah yang dituju adalah SKS!
Dalam SKS (sistem kredit semester) dibutuhkan :
1. Kemampuan guru untuk menyusun kurikulum sendiri yang sudah diawali dengan KTSP
2. Kompetensi guru yang akan diuji melalui program sertifikasi guru (tidak semua orang bisa menjadi guru – guru adalah profesi dan oleh karena itu dituntut untuk bersikap profesional)
3 Kinerja sekolah harus dapat diukur sehingga audit persekolahan dapat termonitor. Hal ini merujuk pada pembenahan seluruh aspek persekolahan, bukan saja pada perbaikan sistem administrasi dan manajemen keuangan sekolah tapi juga pada penerapan merit sistem dan pengembangan atmosfer ilmiah di lingkungan sekolah.
4. Infrastruktur sekolah yang mengacu pada tipe Sekolah Mandiri, bukan saja pada kelengkapan sarana dan prasarana fisik tapi juga non fisik yang mengarah pada perbaikan proses pembelajaran mandiri sehingga sekolah dimungkinkan untuk menjadi sekolah pembelajar (moving class)
Yang tak tersentuh
Konsep moving class nampaknya tak pernah dilirik oleh sekolah-sekolah kita. Mungkin karena penerapan konsep ini secara infrastruktur jauh lebih mahal dari sekolah konvensional. Dari segi fasilitas, moving class memang jauh lebih mahal. Belum lagi dari segi konsep, penerapan moving class harus dilandasi kefasihan penguasaan MBS (manajemen berbasis sekolah) sehingga kinreja sekolah bisa teraudit secara transparan dan visi Sekolah Mandiri dapat terwujud dengan elegan.
Dari segi pedagogis, moving class membutuhkan rekam jejak kemajuan proses pembelajaran siswa (portofolio) , sesuatu hal yang diabaikan dalam kelas konvensional, yang misalnya tercermin dalam kesalahpahaman guru konvensional tentang program remedial. Remedial hanya diberlakukan bagi siswa-siswa yang kurang pandai secara kognitif – penilaian beraspek holistik hanya slogan. Padahal dalam moving class, penilaian tidak boleh hanya menyangkut aspek kognitif, sebab Rancangan Penilaian dan PBK (penilaian berbasis kelas) mempunyai tolok ukur yang menyentuh seluruh aspek kemampuan dan keprobadian siswa.
Dengan kata lain, moving class memang sangat merepotkan pihak Yayasan/Komite Sekolah dan para guru di lapangan, ditambah dengan paparan konsep : ”Dengan begini saja (tanpa perlu neko-neko) sudah banyak yang mendaftar. Moving class? EGP (emangnya gue pikirin)”
Lalu Apa?
Revitalisasi dunia pendidikan kita. Banyak orang tua dahulu menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit, karena tiga hal : kualitas, pendidikan budi pekerti dan disiplinnya. Maka revitalisasi pendidikan kita harus menyentuh ketiga aspek itu.
(1) Kualitas. Bagaimana kualitas bisa terjaga bila orang yang melamar menjadi guru terus menerus menurun mutunya baik secara akademik maupun secara psikologis? Apa tolok ukurnya? Kebingungan guru-guru muda menghadapi soal-soal Olimpiade Sains. Dengan kata lain, penguasaan materi sangat rendah. Itu sebabnya program enrichment (pengayaan) tidak pernah berjalan di sekolah-sekolah kita. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Pihak Yayasan/Komite Sekolah harus sungguh-sungguh menyiapkan terbentuknya Litbang yang secara khusus berupaya agar setiap guru dapat mengembangkan dirinya. Merit system harus diterapkan. Penjenjangan karier guru harus mulai dirumuskan, mulai dari guru muda (asisten guru/guru bantu), guru madya sampai guru koordinator/guru senior dengan kriteria kenaikan pangkat yang jelas – tidak boleh lagi diterapkan sistem penggajian PGPS (yang diplesetkan menjadi pinter goblok penghasilan sama).
(2) Pendidikan budi pekerti. Pendidikan Agama bukan pendidikan budi pekerti. Bekal pendidikan Agama yang cenderung bersifat kognitif telah menghancurkan nilai-nilai humaniora itu sendiri. Lalu mesti bagaimana? Pendidikan nilai harus dirumuskan secara operasional – sudah banyak metode di Fak. Psikologi yang dapat diadopsi untuk membuat pendidikan nilai itu operasional, terpantau dan terukur. Sekolah Citra Berkat di Surabaya beberapa melakukan presentasi Character Building yang diajarkan di sekolahnya
(3) Disiplin. Disiplin bukan hanya pada ketepatan waktu kedatangan (guru sama seklai tidak boleh terlambat karena dia adalah teladan bagi siswa) tetapi juga cepat mengoreksi ulangan dan cepat mengembalikannya ke siswa, tepat dalam menganalisis soal (masih sering terjadi, soal-soal yang diberikan hanya copy paste dari buku-buku soal yang banyak dijual di pasaran dan kemudian setelah diujikan, tak pernah dianalisis) dan mempunyai target yang jelas dalam remedial dan pengayaan (enrichment). Lalu bagaimana kalau kita kedodoran dalam administrasi pengajaran? Merevitalisasi peran Komite Sekolah dan memfungsikan secara jelas peran supervisi dalam kehidupan persekolahan. Yang berhak melakukan supervisi guru bukan hanya Kepala Sekolah dan Yayasan, tetapi juga Komite Sekolah. Dengan demikian, guru akan terpola untuk berdisiplin karena seluruh stakeholders memantau dan menilainya.
Apa yang dituju?
Penerapan SKS. Penerapan SKS ini akan membuat guru dan siswa mandiri dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat merencanakan sendiri studinya dan hal itu akan membuat kehidupan persekolahan menjadi dinamis serta menjadikan kegiatan belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan, tak lagi menjadi beban bagi para siswa. Tak ada lagi kegiatan les dan
bimbel (bimbingan belajar). Hasilnya :
(1) Kita mengarah pada penerapan long life education
(2) Kita menghargai prestasi seseorang bukan orangnya (kita menghargai ketekunan dan capaian seseorang). Kita akan belajar mendengar apa yang dikatakan seseorang, bukan siapa yang mengatakannya.
Dalam penerapan SKS ini, kita sedang merenda bangsa ini menjadi bangsa pembelajar dan bangsa pekerja keras yang menghargai merit system sejak dini
4. MANAJEMEN KURIKULUM ATAU MANAJEMEN SEKOLAH? Salah kaprah atau ketidak-pedulian?
Dalam tulisan di atas, penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri. Dalam tulisan itu penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Namun amat disayangkan bahwa kita hanya mengikutinya sepotong-sepotong sehingga sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan, terobosan dan revitalisasi seperti yang dikehendaki oleh BNSP. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan. Meskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tapi sekolah-sekolah kita tetap melihatnya secara adem ayem saja. Apa sebabnya? Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit, begitu pula kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secara jelas dan terukur.
Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan
Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W. Airisian, Mills dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat. Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri. Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan (orang hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tak membumi). Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah. Transparansi dan akuntabilitas hanya dipahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa.
Akibatnya akan muncul kesalah-kaprahan massal yaitu menganggap pengadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru seperti misalnya :
- penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif secara on-line, atau
- SAS (sistim administrasi sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik (namun proses pemelajaran (yang sangat berbeda dengan proses pembelajaran) yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tak terakomodasi dalam SAS), atau
- SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data sekolah di server yayasan menjadi terbuka dan dapat diakses publik (namun hal ini tidak menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru) melalui SIMS/SIMDIKDU.
Kalau semua data sudah bisa disatukan di bank data dan dapat diakses publik, so what gitu lho? Apakah sekolah lalu siap untuk maju dalam sertifikasi ISO 9001?
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa manajemen kurikulum sangat berbeda pengertiannya dengan manajemen sekolah. Meskipun MBS pernah disosialisasikan pada tahun 1994 (bersamaan dengan sosialisasi kurikulum 1994) dan para guru pernah ditatar tentang MBS namun penerapannya tak pernah dimonitor. Apa tolok ukurnya? Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asesor. Para Kepala Sekolah tidak pernah ditatar dalam pembuatan analisis SWOT yang benar, akibatnya, W (weakness) tetap menjadi kekurangan sekolah tanpa ada campur tangan Yayasan/Komite Sekolah untuk meningkatkannya menjadi S (strength) sedangkan T (threats) tetap menjadi batu sandungan bagi sekolah tanpa kemampuan untuk mengatasinya dan mengubahnya menjadi peluang emas (opportunities) menghadapi persaingan regional.
Akibatnya analisis SWOT hanya menjadi salah satu buku yang memenuhi almari Kepala Sekolah.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Kembali ke filosofi pendidikan. Akreditasi ditujukan untuk meningkatkan kualitas manajemen sekolah agar para guru mampu bersaing secara regional.
Untuk melangkah maju, para guru harus selalu mendokumentasikan capaiannya agar tidak terjadi duplikasi sehingga para guru dapat terus mengevaluasi diri (memetik pelajaran dari pengalaman proses pemelajaran sebelumnya), yaitu mampu mengukur hard competency dan soft competency yang ada dalam diri setiap siswa. Untuk membuat akreditasi menjadi satu langkah pendahuluan (prerequisite) dalam menuju sertifikasi ISO 9001, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Mendiknas (Permen) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS (manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :
- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru penanggung jawab tiap bidang
- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik
- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan
Jadi ada tiga jalan untuk memperbaiki kinerja sekolah dan memacu sekolah-sekolah kita agar tidak tetap adem ayem yaitu :
1. Menerapkan Permen No. 22, No. 23 dan No. 24 tahun 2006 tentang KTSP secara benar serta melengkapinya dengan Permen No. 19 tahun 2007 tentang MBS dengan sasaran meraih sertifikat ISO 9000. Bagaimana caranya? Pihak Yayasan/Komite Sekolah harus membuat laman (website) sekolah yang bersifat inter aktif dan memuat data guru, silabus serta PBK (penilaian berbasis kelas) seperti yang termaktub dalam PP no. 19 tahun 2005. Bila Yayasan/Komite Sekolah kurang mampu mengusahakan laman yang membutuhkan bandwidth yang besar dan secara akademik memenuhi kriteria sekolah on-line, maka Yayasan/Komite Sekolah dapat bergabung dengan Oracle Education Foundation untuk mengisi laman Think.com (laman komunitas pemelajaran inter aktif internasional dimana para guru, siswa dan orang tua dapat saling berinter aksi dengan komunitas pendidikan lain di seluruh dunia secara on-line) yang training-nya gratis dan penyediaan data base-nya tak terbatas.
2. Menjajaki langkah-langkah untuk memulai penerapan SKS (sistim kredit semester), sebab dengan persiapan menuju ke SKS, pihak Yayasan/Komite Sekolah dan sekolah dipaksa untuk memperbaiki manajemen persekolahan menuju pada penerapan moving class dan MBS. Dengan demikian, secara prinsipiil, cara pandang dan pola pikir (mindset) semua stakeholders akan berubah, dari menilai/menghakimi siswa (transformatif, generatif dan transmission) menjadi menghargai proses sekecil apapun partisipasi yang ditunjukkan oleh siswa (kognitivisme, behaviorisme dan konstruktivisme).
3. Mengadopsi kurikulum internasional seperti IB, Cambridge, GAC dll, sebab dengan diterapkannya kurikulum internasional ini, maka pola manajemennya juga harus disesuaikan dengan tuntutan pemerolehan akreditasinya yang mengacu pada pemenuhan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, bukan sekedar pengajaran yang bermutu.
Apapun jalan yang dipilih, sekolah-sekolah kita tidak boleh berhenti melangkah atau arus penutupan sekolah-sekolah Inpres yang sudah terjadi di desa-desa akan merambah juga ke sekolah-sekolah swasta/negeri yang selama ini dinilai bisa survive, kalah bersaing dengan sekolah-sekolah internasional yang makin menjamur di tanah air. Namun bila hal-hal di atas sulit diterapkan, pada bagian akhir tulisan ini, penulis menawarkan ”jalan baru” (Harap diingat, menurut klausul WTO bahwa sektor pendidikan di Indonesia termasuk sektor yang terbuka untuk modal asing).
BAB II
SOLUSI
Ada begitu banyak UU dan PP yang sudah dibuat, namun benang merah antara grand design pendidikan kita dan gap yang terjadi di lapangan tak pernah bisa dijembatani. Misalnya benang merah antara UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, PP no 19 th. 2007, dengan gap antara implementasi Permen No. 22, 23 dan 24 serta pencapaian ISO 9001 dan SBI (sekolah bertaraf internasional), untuk memahami arah dan kebijakan menuju pencapaian target MDGs dan Visi Indonesia 2030 nampak kusut dan disonriented. Maka dari itu, penulis menyodorkan konsep : back to educational philosophy dan menurut penulis, yang paling mudah diimplementasikan adalah Manajemen Kolaborasi yang mewujud dalam Sekolah On-line (Think.com)
1. MANAJEMEN KOLABORASI : aplikasi manajemen mutu pendidikan
Jika dilihat dari sejarahnya, perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumber daya manusia yang baru, yang demokratis, yang lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidak-pastian, mengelola kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama. (Julia M. Wondolleck dan Steven L. Yaffee : Making Collaboration Work, hal.14). Oleh sebab itu, pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai “jembatan” untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia. Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan sekat-sekat yang dibatasi geografi, kepentingan dan persepsi.
Lalu apa hubungan antara manajemen kolaborasi dengan HDI dan daya saing?
Merosotnya HDI dan daya saing Indonesia membutuhkan upaya pengelolaan sumber daya manusia yang baru, mulai dari regenerasi nilai-nilai pendidikan sampai kebutuhan akan kemudahan akses pada permodalan untuk para wira usahawan, mulai dari ketersediaan bahan pembelajaran yang berkualitas tapi terjangkau sampai pada gebyar lulusan yang mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan dll. Manajemen kolaborasi juga dibutuhkan dalam :
- mengelola ketidak-pastian (setelah Indonesia diserbu sekolah-sekolah internasional dan guru-guru asing seiring dengan arus globalisasi, what’s next?, setelah upaya pencegahan pengentasan kemiskinan pola kemitraan dan dukungan pada UMKM mengendur seiiring dengan ketatnya prosedur perbankan (sehingga makin banyak anak tak mampu bersekolah lagi), so what?),
- mengelola kerumitan dari dampak keputusan yang diambil (setelah Pemerintah lebih berpihak pada prestasi dan prestige instan (seperti Olimpiade Fisika) untuk mendongkrak citra kemajuan pendidikan, lalu dimana tempat filosofi pengelolaan pendidikan, nilai analisis dampak kesenjangan kualitas pendidikan di kota-kota dan desa-desa, dan hubungan antara seremonial dan gerakan anak asuh, masih adakah tempat bagi pembangunan berdimensi humaniora, serta
- membangun kesepahaman, dukungan dan kepemilikan bersama (masihkah pendidikan dianggap sebagai wahana investasi yang fokus pada laba?)
Dari uraian ini nampak jelas bahwa manajemen kolaborasi sangat berguna dalam membina pembelajaran kotinu dan dalam penerapan manajemen yang adaptif yang bekerja dalam skala luas (Gray, 1989), dua hal yang sangat dibutuhkan pengelolaan pendidikan dewasa ini.
Lalu mengapa penerapan manajemen adaptif diperlukan dalam mengatasi kemerosotan HDI dan daya saing? Karena pola manajemen yang sekarang diterapkan, terbukti tidak mampu mengangkat harkat semua stakeholders, misalnya penduduk miskin tetap tidak mempunyai akses ke dunia pendidikan atau pola pemberian bea siswa dan pola kemitraan jalan ditempat.
Maka dari itu, pendekatan kolaborasi dalam pengelolaan pendidikan merupakan “jembatan” untuk pengembangan ketrampilan lokal-termasuk ketrampilan untuk analisis masalah, perencanaan dan manajemen keuangan dan organisasi.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa manfaat manajemen kolaborasi untuk mengatasi kemerosotan HDI dan daya saing, menuju pada pencapaian MDGs, adalah :
- Analisis luas secara menyeluruh terhadap domain problem untuk memperbaiki kualitas solusi
- Kemampuan merespon lebih beragam
- Ditingkatkannya potensi untuk menemukan jalan keluar baru dan inovatif
- Prosesnya menjamin masing-masing kepentingan stakeholders dipertim-bangkan di dalam suatu kesepakatan
- Memperbaiki hubungan antar stakeholders
- Partisipasi meningkatkan penerimaan atas solusi (yang telah diputuskan) dan kemauan untuk melaksanakannya
- Mekanisme dan koordinasi tindakan di masa depan dapat ditetapkan
- Biaya yang terkait dengan metode lain dapat dihindari
- Berguna untuk membuka kembali negosiasi yang macet (dengan dunia perbankan atau dengan Departemen Koperasi & UKM) untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui pendidikan murah dan berkualitas
Keluaran yang diharapkan :
- Kemitraan swasta - komunitas pendidikan dengan pola baru
Dengan pola demikian dapat disusun kelembagaan pengelolaan kolaboratif yang relevan, dengan klarifikasi tanggungjawab dan hak-hak yang jelas. Dengan dasar visi, kesepakatan dan hasil monitoring, kita dapat melaksanakan review reguler dengan semua stakeholders, sehingga terbentuk jaringan pendukung yang luas menuju kemitraan dengan kelompok lokal yang lebih kuat sehingga tujuan MDGs dapat lebih terjamn capaiannya.
- Usaha bersama (joint venture) menuju pada terapan SKS
Keuntungan yang dicari adalah manajemen yang lebih tepat, lebih efisien dan lebih adil. Keuntungan-keuntungan ini menjadi konkrit untuk pengelolaan pendidikan bila :
- Usaha bersama ditujukan untuk pengembangan ekonomi dan sosial berbasis masyarakat
- Ditujukan untuk mendesentralisasi keputusan pengelolaan sumber daya manusia sehingga semua stakeholders merasa terlibat dan dilibatkan dalam pengelolaan pendidikan yang baik
- Mendorong kerjasama dan mengurangi konflik kepentingan melalui proses partisipatif
- Terbentuknya konsorsium untuk riset dan pengembangan
R & D adalah kekuatan dari dunia pendidikan. Kualitas lulusan harus dapat diangkat dari kegiatan litbang yang memberi nilai tambah (added value).
Untuk itu, sebagai pihak yang lemah, para penganjur pembangunan yang berkelanjutan perlu menemukan ”kekuatan penyeimbang” (countervailing) untuk menarik pihak-pihak yang lebih kuat untuk bernegosiasi.
Tantangan bagi pengelola pendidikan tidak hanya masalah teknis (kualitas lulusan, pemasaran dan permodalan) tapi menemukan sumber kekuatan yang dapat mereka gali untuk memperoleh legitimasi dan akses kepada isu-isu pokok, seperti pengentasan kemiskinan dan pembatasan kuota tenaga kerja. R & D adalah bagian yang memudahkan untuk berbuat kreatif dalam mencari cara alternatif untuk memaksimalkan keuntungan bersama sehingga gugus kendali mutu dapat diaudit.
Wujud dari implementasi manajemen kolaborasi sebagai aplikasi manajemen mutu itu adalah :
2. Sekolah On-line (Think.com)
Think.com merupakan situs e-learning yang sangat lengkap karena Think.com adalah situs pendidikan gratis yang dapat diakses oleh semua stake holders (para orang tua, guru dan siswa serta masyarakat umum) di seluruh dunia. Untuk itu Think.com dilengkapi dengan icon People dan Parent pages yang memungkinkan para guru , siswa dan orang tua serta masyarakat umum di seluruh dunia dapat saling berinteraksi. Dengan demikian Think.com merupakan kelas maya (virtual class) inter aktif (yang dilengkapi dengan mailinglist) yang sangat mendukung proses pemelajaran. Untuk mendukung terwujudnya kelas maya ini, Think.com juga dilengkapi dengan icon perpustakaan maya (digital library). Agar Think.com tidak sekedar menjadi kegiatan belajar-mengajar saja, tapi berkembang menjadi proses pemelajaran, maka Think.com juga dilengkapi dengan icon Projects yang memerlukan penerapan PBL (project based learning).
Think.com juga dilengkapi dengan mailinglist bagi para anggotanya sehingga proses pemelajaran dapat terpantau dengan baik. Jadi hasil pemelajaran bukan tujuan akhir dari Think.com
Apa keuntungan menggunakan Think.com? Band width tak terbatas, protected server, dapat diakses interaktif selama 24 jam, dan tertutup (bandingkan dengan Friendster yang terbuka atau dengan blog yang pasif). Dengan demikian para guru dapat secara aman menampilkan silabusnya dan PBK (penilaian berbasis kelas) maupun nilai rapor (Catatan Kompetensi), tanpa takut server akan hang atau di hack – bandingkan dengan SSCI (sistim sekolah cerdas Indonesia) dan SAS (sistim administrasi sekolah) yang kapasitasnya sangat terbatas dan tidak gratis.
Untuk menjamin agar PBL yang diterapkan oleh Think.com dapat sungguh-sungguh diimplementasikan di sekolah, maka Think.com juga mengadakan lomba PBL di tingkat nasional dan internasional yang dinamakan ThinkQuest, yang dapat diakses melalui icon ThinkQuest sehingga monitoring perkembangan dan kualitasnya dapat selalu dipantau setiap saat.
Proyek dalam Think.com
Project Based Learning (PBL) adalah suatu metodologi instruksional yang berbasis constructivism (pendekatan pemelajaran yang memerlukan kecakapan kognitif, psikomotor, afektif dan ketrampilan hidup (life skills) secara terukur). Oleh sebab itu PBL menciptakan pemerolehan pengalaman belajar yang mendalam (intens) dengan mendorong para guru dan siswa untuk mengikuti pendekatan inquiry sehingga para guru dan siswa selalu terhubung dengan isu-isu dan pertanyaan-pertanyaan yang up to date, yang berkaitan dan relevan dengan kehidupan mereka).
Dengan demikian PBL mengasah para guru dan siswa dalam hal :
- Kemampuan berpikir kritis (critical thinking)
- Kreativitas
- Kerja sama (teamwork)
- Pemahaman lintas budaya (cross-cultural understanding)
- Ketrampilan berkomunikasi
- Teknologi tepat guna
- Kemandirian belajar (self direction)
Berbagai keuntungan atau segi positif yang diperoleh dalam penerapan PBL dihasilkan dari struktur PBL yang sangat komprehensif, yaitu :
- Pertanyaan kunci (essential question)
- Disain proyek
- Rencana kerja
- Manajemen proyek
- Kilas balik (culminating products)
- Kajian (assesment)
- Evaluasi (grading)
Keselarasan dengan kurikulum baru (KTSP) dan SKS
Lalu apa hubungannya PBL dengan KTSP?
PBL adalah salah satu metode pemelajaran inter aktif yang terukur sehingga
Perumusan tugas (proyek) yang jelas akan memudahkan para guru merumuskan peta konsep, kata kerja operasional dan indikator pemelajarannya (langkah pertama, ke-2 dan ke-3 dari KTSP)
1. Karena model pemelajarannya terukur (constructivism) dan pola pendekatannya jelas (inquiry), maka para guru akan mudah menyusun Taksonomi Bloom dan Strategi Pemelajaran (langkah ke-4 dan ke-5 dari KTSP)
2. Adanya Kajian (assessment) dalam PBL persis sinkron dengan PBK (penilaian berbasis kelas) yang ada dalam langkah ke-15 KTSP
3. Evaluasi yang sangat terukur persis sesuai dengan Catatan Kompetensi (yang merupakan langkah ke-16 KTSP) – Describe how to combine assessment to create grades
4. Bila keseluruhan struktur PBL ini diikuti, maka para guru akan sangat mudah menyusun PTK (penelitian tindakan kelas) – (16 langkah penyusunan KTSP + PTK akan menjadi Dokumen II dari KTSP), karena keseluruhan struktur PBL ini akan mengukur :
- Tingkat pemahaman kognitif siswa (Do the students know the content?)
- Tingkat ketrampilan/psikomotor siswa (What is their skill level?)
- Tingkat afeksi dan ketrampilan hidup (life skills) – How well did they apply
their knowledge and skills as they prepared their products?
5. Dengan terselesaikannya Dokumen II KTSP, maka akan mudah bagi para guru untuk menyusun Dokumen I dari KTSP yaitu MBS (manajemen berbasis kelas) yang sesuai dengan visi dan misi sekolah, karena para guru sudah menyelesaikan langkah : Manajemen proyek dalam PBL yang juga sangat adaptif dan akomodatif untuk penerapan moving class. Dengan demikian, benang merah antara grand design pendidikan kita dan gap yang muncul di lapangan dapat terjembatani.
6. PBL yang terkandung dalam sekolah on-line (Think.com) sangat sesuai dengan pola aplikasi SKS karena PBL menggabungkan unsur-unsur disain proyek dan kemandirian belajar (self direction).
BAB III
KESIMPULAN
Manajemen kolaborasi penting untuk mengangkat pamor Visi Indonesia 2030 karena :
- Menjadikan hubungan antara proses dan pengambilan keputusan bersifat eksplisit
- Memusatkan perhatian pada kepentingan stakeholders
- Membangun kesatuan rasa terhadap tujuan, karena semua stakeholders memperoleh dan membangun kepercayaan melalui proses kolaboratif
- Mendukung institusi pengelolaan pendidikan dengan kekuatan tradisional dan lokal
- Membangun budaya pembelajaran yang meliputi saluran komunikasi yang jelas antar aktor yang relevan dalam pengelolaan pendidikan, dengan kesempatan umpan balik yang terdefinisi dan masukan yang berkaitan dengan situasi persaingan global
Bentuk spesifik manajemen kolaborasi yang operasional dalam dunia pendidikan kita dewasa ini adalah Sekolah On-line (Think.com), sebab melalui PBL, siswa dapat belajar berpikir kritis dalam ragam kultur yang berbeda sehingga aspek keterkaitan dengan humaniora, lingkungan dan moral serta etika tetap terjaga.
PBL yang terkandung dalam sekolah on-line (Think.com) sangat sesuai dengan pola aplikasi SKS karena PBL menggabungkan unsur-unsur disain proyek dan kemandirian belajar (self direction), menuju pada revitalisasi paradigma pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Gray, B, 1989
Collaborating : finding common ground for multiparty problems, Jossey-Bass Publishers, San Francisco , California , USA
Senge, Peter, 1990
The Fifth Discipline, Prentice Hall , New York , USA
Wondolleck, M, Julia dan Yanfee, L, Steven, 2000
Making Collaboration Work, Island Press , California , USA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar