1. Sekolah swasta mengalami diskriminasi struktural :
- Diskriminasi pada penerimaan siswa baru (Pendaftaran siswa baru di sekolah swasta harus menunggu selesainya pendaftaran siswa baru di sekolah negeri, sehingga sekolah swasta dikondisikan menjadi “buangan” anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri).
- Diskriminasi bagi keberlanjutan studi alumninya (Quota terbatas yang diberikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bagi lulusan sekolah swasta (lihat http://www.snmptn.ac.id)
- Diskriminasi pada pengembangan SDM-nya (Quota terbatas pada program sertifikasi dan diklat – hal itupun harus menunggu jatah setelah sebagian besar SDM di sekolah negeri selesai merampungkan progam sertifikasi dan diklatnya)
2. Sekolah swasta menjadi “anak tiri” karena kucuran dana dan fasilitasnya berbeda dari sekolah negeri – hanya sekolah negeri yang mendapat kelimpahan dana 20% APBN (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 44 ayat 1 juncto Pasal 49 ayat 3 dan ayat 4)
3. Pengembangan sekolah swasta terhambat dan kreativitasnya terpasung karena Permendiknas No.22, No.23, No.24 Tahun 2006 yang memungkinkan semua sekolah menerapkan kurikulumnya sendiri, dikebiri menjadi : semua sekolah wajib menerapkan kurikulum (KTSP) yang sudah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat. Di Prov. DKI Jaya, semua SMA wajib menggunakan kurikulum SAS (Sistim Administrasi Sekolah) yang dibandrol seharga Rp. 40 juta per SMA, dan di Prov. Jabar, semua sekolah wajib mengadopsi KTSP BIMTEK (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bimbingan Teknis) lengkap dengan Pengawas/Penilik Sekolah yang akan “memelototi” penyimpangannya.
Apa efek berikutnya?
1. Reputasi sekolah swasta menjadi terpuruk. Sekolah swasta dianggap tidak “pro poor“, stagnan dan ketinggalan jaman. Padahal hal ini memang “di-setting” karena sekolah negeri mendapat kucuran dana berlimpah untuk meningkatkan diri menjadi RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional), sedangkan sekolah swasta harus hidup dari dirinya sendiri (swadana dan swakelola hingga swasembada).
2. Kontribusi sekolah swasta di masyarakat mulai dipertanyakan karena lingkupnya yang eksklusif dan soliter, padahal hal ini ditimbulkan oleh dikotomi payung hukum, yang memungkinkan Pemkab/Pemkot menggratiskan sekolah negeri, tanpa mau mensubsidi sekolah swasta.
Dengan demikian, eksistensi sekolah swasta terancam – banyak sekolah swasta yang tutup, termasuk sekolah-sekolah perintis, seperti Perguruan Taman Siswa dan sekolah swasta berbasis keagamaan.
Lalu kenapa masih ada sekolah negeri yang reot dan kumuh? Karena Pemkab/Pemkot terlambat menganggarkannya atau Pemkab/Pemkot dengan sengaja mau melikuidasinya demi penghematan APBD, sebab penyelenggaraan pendidikan di lokasi itu mau diserahkan ke sekolah swasta (Pondok Pesantren, Madrasah, sekolah PGRI, atau prakarsa masyarakat yang lain) .
Perbedaan kedua antara sekolah negeri dan sekolah swasta adalah pada branding dan segmen pasarnya. Sekolah negeri sejak dulu menyandang beban sebagai produk unjuk keberhasilan paradigma Pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga branding sekolah negeri adalah sekolah unggulan serta segmen pasarnya adalah “siswa unggulan” (siswa yang pandai secara kognitif). Sedangkan sekolah swasta digempur dari dua arah, pertama : dari paradigma Pemerintah dalam memperlakukan sekolah negeri, dan kedua : melalui menjamurnya sekolah-sekolah internasional yang mengusung branding globalisasi dengan segmen pasar the haves yang mampu menunjang keberlanjutan sistimnya yang mahal. Padahal dengan pola segmentasi ini, sekolah swasta hanya kebagian remah-remah yang menyulitkan positioning-nya dalam persaingan pencitraan yang berujung pada kesulitan menopang sisi humanis dari wajah sekolah swasta. Akibatnya, sekolah swasta terpojok dalam stereotype bisnis dan eksklusif.
Dengan demikian, sekolah swasta tidak lagi berdaya tarik dan berdaya pikat, karena tidak didukung oleh sumber daya yang memadai.
Jadi apa beda antara sekolah negeri dan sekolah swasta?
- Sekolah swasta dianggap sebagai pesaing sekolah negeri, bukan mitra sekolah negeri.
- Maka sekolah negeri diarahkan menjadi “sekolah profesional” dengan dukungan sumber daya yang hampir tak terbatas, sedangkan sekolah swasta didorong untuk “jatuh bangun” sendirian, menjadi sekolah yang mencoba survive di era globalisasi ini, mencari terobosan baru agar tetap eksis dan “terhormat” di mata publik.
- Diskriminasi pada penerimaan siswa baru (Pendaftaran siswa baru di sekolah swasta harus menunggu selesainya pendaftaran siswa baru di sekolah negeri, sehingga sekolah swasta dikondisikan menjadi “buangan” anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri).
- Diskriminasi bagi keberlanjutan studi alumninya (Quota terbatas yang diberikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bagi lulusan sekolah swasta (lihat http://www.snmptn.ac.id)
- Diskriminasi pada pengembangan SDM-nya (Quota terbatas pada program sertifikasi dan diklat – hal itupun harus menunggu jatah setelah sebagian besar SDM di sekolah negeri selesai merampungkan progam sertifikasi dan diklatnya)
2. Sekolah swasta menjadi “anak tiri” karena kucuran dana dan fasilitasnya berbeda dari sekolah negeri – hanya sekolah negeri yang mendapat kelimpahan dana 20% APBN (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 44 ayat 1 juncto Pasal 49 ayat 3 dan ayat 4)
3. Pengembangan sekolah swasta terhambat dan kreativitasnya terpasung karena Permendiknas No.22, No.23, No.24 Tahun 2006 yang memungkinkan semua sekolah menerapkan kurikulumnya sendiri, dikebiri menjadi : semua sekolah wajib menerapkan kurikulum (KTSP) yang sudah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat. Di Prov. DKI Jaya, semua SMA wajib menggunakan kurikulum SAS (Sistim Administrasi Sekolah) yang dibandrol seharga Rp. 40 juta per SMA, dan di Prov. Jabar, semua sekolah wajib mengadopsi KTSP BIMTEK (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bimbingan Teknis) lengkap dengan Pengawas/Penilik Sekolah yang akan “memelototi” penyimpangannya.
Apa efek berikutnya?
1. Reputasi sekolah swasta menjadi terpuruk. Sekolah swasta dianggap tidak “pro poor“, stagnan dan ketinggalan jaman. Padahal hal ini memang “di-setting” karena sekolah negeri mendapat kucuran dana berlimpah untuk meningkatkan diri menjadi RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional), sedangkan sekolah swasta harus hidup dari dirinya sendiri (swadana dan swakelola hingga swasembada).
2. Kontribusi sekolah swasta di masyarakat mulai dipertanyakan karena lingkupnya yang eksklusif dan soliter, padahal hal ini ditimbulkan oleh dikotomi payung hukum, yang memungkinkan Pemkab/Pemkot menggratiskan sekolah negeri, tanpa mau mensubsidi sekolah swasta.
Dengan demikian, eksistensi sekolah swasta terancam – banyak sekolah swasta yang tutup, termasuk sekolah-sekolah perintis, seperti Perguruan Taman Siswa dan sekolah swasta berbasis keagamaan.
Lalu kenapa masih ada sekolah negeri yang reot dan kumuh? Karena Pemkab/Pemkot terlambat menganggarkannya atau Pemkab/Pemkot dengan sengaja mau melikuidasinya demi penghematan APBD, sebab penyelenggaraan pendidikan di lokasi itu mau diserahkan ke sekolah swasta (Pondok Pesantren, Madrasah, sekolah PGRI, atau prakarsa masyarakat yang lain) .
Perbedaan kedua antara sekolah negeri dan sekolah swasta adalah pada branding dan segmen pasarnya. Sekolah negeri sejak dulu menyandang beban sebagai produk unjuk keberhasilan paradigma Pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga branding sekolah negeri adalah sekolah unggulan serta segmen pasarnya adalah “siswa unggulan” (siswa yang pandai secara kognitif). Sedangkan sekolah swasta digempur dari dua arah, pertama : dari paradigma Pemerintah dalam memperlakukan sekolah negeri, dan kedua : melalui menjamurnya sekolah-sekolah internasional yang mengusung branding globalisasi dengan segmen pasar the haves yang mampu menunjang keberlanjutan sistimnya yang mahal. Padahal dengan pola segmentasi ini, sekolah swasta hanya kebagian remah-remah yang menyulitkan positioning-nya dalam persaingan pencitraan yang berujung pada kesulitan menopang sisi humanis dari wajah sekolah swasta. Akibatnya, sekolah swasta terpojok dalam stereotype bisnis dan eksklusif.
Dengan demikian, sekolah swasta tidak lagi berdaya tarik dan berdaya pikat, karena tidak didukung oleh sumber daya yang memadai.
Jadi apa beda antara sekolah negeri dan sekolah swasta?
- Sekolah swasta dianggap sebagai pesaing sekolah negeri, bukan mitra sekolah negeri.
- Maka sekolah negeri diarahkan menjadi “sekolah profesional” dengan dukungan sumber daya yang hampir tak terbatas, sedangkan sekolah swasta didorong untuk “jatuh bangun” sendirian, menjadi sekolah yang mencoba survive di era globalisasi ini, mencari terobosan baru agar tetap eksis dan “terhormat” di mata publik.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus